Hari Oeang
(http://poskotanews.com) TANGGAL 30 Oktober ini kita memperingati Hari Oeang ke-68. Pada peringatan Hari Oeang tahun ini, Kementerian Keuangan mengusung tema menarik: Dengan Semangat Baru, Kita Selaraskan Gerak Kerja Kemenkeu untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat yang Berkeadilan.
Tentang Hari Oeang, mari kita tengok sejarahnya. Dulu, masa-masa awal kemerdekaan, tahun 1945 hingga 1949, Indonesia belum menggunakan mata uang rupiah, melainkan mata uang yang dikenal dengan sebutan ORI, singkatan dari Oeang Repoeblik Indonesia. Namun, penggunaan ORI secara sah baru dimulai sejak diresmikannya mata uang ini oleh pemerintah sebagai mata uang Indonesia, 30 Oktober 1946.
Setelah penerbitan ORI, mata uang yang resmi menjadi alat pembayaran di Nusantara ada dua, yaitu uang NICA dan uang ORI. Namun, di lokasi-lokasi tertentu yang relatif sulit dijangkau, uang Jepang masih cukup banyak digunakan. Oleh karena jangkauan pelayanannya masih terbatas, pemerintah mengizinkan daerah-daerah tertentu untuk menerbitkan uang sendiri. Uang-uang tersebut dapat ditukarkan dengan uang ORI setelah situasi dan kondisi memungkinkan.
ORI saat itu mulai bermasalah karena kondisi keuangan negara memburuk. Pemerintah mencetak semakin banyak uang untuk menambah kas negara. Suplai uang yang terlalu banyak berakibat inflasi merajalela. Nilai tukar ORI dari 5 Gulden NICA pada awal penerbitannya jatuh ke 0,3 Gulden NICA pada Maret 1947.
Kemudian, pada Konferensi Meja Bundar November 1949 saat Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam kerangka Republik Indonesia Serikat (RIS) bahwa Indonesia terdiri atas Jawa dan Sumatera serta 15 negara kecil lainnya, berbagai macam mata uang yang beredar itu pun semakin mengacaukan perekonomian. Betapa tidak? Saat itu ada ORI, ada uang NICA, ada uang Jepang, ada uang Belanda, juga ada uang yang diterbitkan oleh daerah-daerah tertentu secara terpisah.
RIS berusaha mengontrol kondisi ini dengan mengumumkan pelaksanaan Gunting Syafruddin, 19 Maret 1950. Selain itu, RIS juga sempat mencetak uang sendiri, tetapi pendeklarasian formal kemerdekaan Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950 membuat uang RIS jadi berumur pendek. Pemerintah Indonesia akhirnya menggunakan rupiah sebagai mata uang resmi sebagaimana pernah ditetapkan pada tanggal 2 November 1949.
Begitulah sejarah singkat tentang Hari Oeang, yang penetapannya dilakukan berdasarkan awal pemberlakuan ORI. Lebih dari sekadar memperingati Hari Oeang, kita berharap tema yang diusung oleh Kementerian Keuangan benar-benar bisa kita wujudkan. Ya, dengan semangat baru, kita selaraskan gerak kerja kita untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Artinya, apa pun gerak kerja kita, ketika di sana melibatkan uang maka uang harus bisa menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam kaitan itu, ada ungkapan menarik dari Benjam Franklin, salah satu pemimpin Revolusi Amerika, “Orang-orang yang berpendapat bahwa uang bisa melakukan apa saja maka kemungkinan besar mereka akan melakukan apa saja untuk memperoleh uang.”
Pertanyaannya, apakah iya uang bisa melakukan apa saja? Kalau iya, sangat mungkin seperti itulah apa yang ada di benak para koruptor, penipu, dan tindak kejahatan lain yang orientasinya untuk mengeruk uang. Kalau banyak orang punya pendapat seperti itu, maka sangat mungkin pula benar kata politikus AS lainnya, Adlai Stevenson, “Ada suatu masa ketika seorang dungu cepat kehilangan uangnya, sekarang hal itu terjadi pada setiap orang.”
Lantas bagaimana? Mungkin perlu kita camkan pesan Shakespeare, “Gunakanlah uang pada tempatnya!”
(Harmoko)