SEJARAH KABUPATEN PATI
Untuk menelusuri Hari jadi Kabupaten Pati, Bupati KDH Tk. II Pati
membentuk Tim Penyusun dan penelitian Hari Jadi Kabupaten Pati dengan
Surat Keputusan No. 003.3/869 tanggal 19 November 1992.
Tim Penyusun dan Penelitian bersepakat bahwa untuk penelitian Hari Jadi Kabupaten Pati berpangkal tolak dari beberapa gambar yang terdapat pada lambang Daerah Kabupaten Pati yang sudah disahkan dalam Peraturan Daerah No.1 Th. 1971. Gambar yang dimaksud yang berupa:
“ KERIS RAMBUT PINUTUNG DAN KULUK KANIGARA”
Menurut cerita rakyat dari mulut ke mulut yang terdapat juga pada kitab babad Pati dan kitab babad lainnya dua pusaka itu merupakan lambang kekuasaan dan kekuatan yang juga merupakan simbol kesatuan dan persatuan.
Barang siapa yang memiliki dua pusaka tersebut, akan mampu menguasai dan berkuasa memerintah di pulau jawa. Adapun yang memiliki dua pusaka tersebut adalah Raden Sukmayana penggede Majasemi andalan Kadipaten Carangsoko.
Menjelang akhir abad ke XIII sekitar tahun 1290 Masehi di pulau jawa fakum penguasa pemerintahan yang berwibawa. Kerjaan Pajajaran mulai runtuh, Kerajaan Singosari surut, sedang Kerajaan Majapahit belum berdiri.
Di pantai utara Jawa Tengah sekitar Gunung Muria bagian timur muncul Penguasa lokal yang memangkat dirinya sebagai Adipati, wilayah kekuasaannya disebut Kadipaten.
Ada dua pusaka lokal di wilayah itu, yaitu:
1. Penguasa Kadipaten Paranggaruda, Adipatinya bernama “Yudhapati”. Wilayah kekuasaannya meliputi sungai Juwana ke selatan, sampai Pegunungan Gamping Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Grobogan. Mempunyai seorang putra bernama Raden Jasari.
2. Penguasa Kadipaten Carangsoko, Adipatinya bernama “Puspa Andungjaya”, wilayah kekuasaannya meliputi semua sungai Juwana sampai Pantai Utara Jawa Tengah bagian Timur. Adipati Carangsoko mempunyai seorang putri bernama Rara Rayungwulan.
Kedua Kadipaten tersebut hidup rukun dan damai, saling menghormati dan saling menghargai untuk melestariakan kerukunan dan memperkuat tali persaudaraan itu kedua Adipati tersebut bersepakat untuk mengawinkan putra putrinya itu. Utusan adipati Paranggaruda untuk meminang Rara Rayungwulan telah diterima, namun calon mempelai putri minta bebana agar pada saat pahargyan boja wiwaha daup (resepsi) dimeriahkan dengan pagelaran wayang dengan dalang kondang yang bernama “Sapanyana”.
Untuk memenuhi beban itu, Adipati Paranggaruda menugaskan panggede kemaguhan yang bernama Yuyurumpung agul-agul Paranggaruda sebelum melaksanakan tugasnya lebih dulu Yuyurumpung berniat melumpuhkan kewibawaan Kadipaten Carangsoko dengan cara menguasai dua pusaka milik Sukmayana di Majasemi. Dengan bantuan “Sondong Majeruk” kedua pusaka itu dapat dicurinya namun sebelum dua pusaka itu diserahkan pada Yuyurumpung, dapat kembali oleh Sondong Makerti dari Wedari. Bahkan Sondong Majeruk tewas dalam perkelahian dengan Sondong Makerti. Dan pusaka itu diserahkan kembali kepada Raden Sukmayana. Usaha Yuyurumpung untuk menguasai dan memiliki dua pusaka itu gagal.
Walaupun demikian Yuyurumpung tetap melanjutkan tugas untuk mencari dalang Sapanyana agar perkawinan putra Adipati Paranggaruda tidak mengalami kegagalan.
Pada malam pahargyan bojana wiwaha (resepsi) perkawinan dapat diselenggarakan di Kadipaten Carangsoka dengan Pagelaran Wayang oleh Ki Dalang Sapanyana. Di luar dugaan pahargyan baru saja dimulai, tiba-tiba mempelai putri meninggalkan kursi pelaminan menuju ke panggung dan seterusnya melarikan diri bersama Dalang Sapanyana. Pahargyan pekawinan antara “Raden Jasari” dan “Rara Rayungwulan” gagal total. Adipati Yudhapati merasa dipermalukan, Emosi tak dapat dikendalikan lagi. Sekaligus menyatakan permusuhan terhadap Adipati Carangsoka. Dan peperangan tak dapat dielakkan. Raden Sukmayana dari Kadipaten Carangsoka memimpin prajurit Carangsoka, mengalami kekalahan dan kemudian wafat. Raden Kembangjaya (adik ipar Raden Sukmayana) menerusakan peperangan. Dengan dibantu oleh Dalang Sapanyana, dan menggunakan kedua pusaka itu dapat menghancurkan prajurit Peranggaruda. Adipati Paranggaruda, Yudhapati gugur dalam palagan membela kehormatan dan gengsinya.
Oleh Adipati Carangsoka, karena jasanya Raden Kembangjaya dikawinkan dengan Rara Rayungwulan kemudian diangkat menjadi pengganti Carangsoka. Sedang dalang Sapanyana diangkat menjadi patihnya dengan nama “Singasari”.
Untuk mengatur pemerintahan yang semakin wilayahnya kebagian selatan, Adipati Raden Kembangjaya memindahkan pusat pemerintahannya dari Carangsoka ke Desa Kemiri dengan mengganti nama “Kadipaten Pesantenan”. Dengan gelar “Adipati Jayakusuma” di pesantenan. Adipati Jayakusuma hanya mempunyai seorang putra tunggal yaitu “Raden Tambra”. Setelah ayahnya wafat, Raden Tambra diangkat menjadi Adipati Pesantenan dengan gelar “Adipati Tambranegara”.
Dalam menjalankan tugas pemerintahan Adipati Tambranegara bertindak arif dan bijaksana menjadi Songsong Agung yang sangat memperhatikan nasib Rakyatnya, serta menjadi pengayom bagi hamba sahayanya. Kehidupan rakyatnya penuh dengan kerukunan, kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraannya semakin meningkat. Untuk dapat mengembangkan pembangunan dan memajukan pemerintahan di wilayahnya Adipati Raden Tambranegara memindahkan pusat pemerintahan Kadipaten Pesantenan yang semula berada di desa Kemiri munuju kearah barat yaitu, di desa Kaborongan, dan mengganti nama Kadipaten Pesantenan menjadi Kadipaten Pati.
Dalam prasasti Tuhannaru, yang diketemukan di desa Sidateka, wilayah Kabupaten Majakerta yang berada di Musium Trowulan. Prasasti itu terdapat pada delapan Lempengan Baja, dan bertuliskan huruf Jawa kuna. Pada lempengan yang ke empat antara lain berbunyi bahwa: ………………………………….Raja Majapahit, Raden Jayanegara menambah gelarnya dengan ABHISEKA WIRALANDA GOPALA pada 13 Desember 1323. Dengan patihnya yang setia dan berani bernama DYAH MALAYUDA dengan gelar RAKAYI. Pada saat pengumuman itu bersamaan juga dengan pisuwanan agung dari Kadipaten pantai utara Jawa Tengah bagian Timur termasuk Raden Tambranegara berada di dalamnya. Raja Jayanegara dari Majapahit mengakui wilayah kekuasaan para Adipati itu, dengan memberi status sebagai tanah predikan, dengan syarat bahwa para Adipati itu setiap tahun harus menyerahkan Upeti berupa bunga.
Bahwa Adipati Raden Tambranegara juga hadir dalam Pisuanan agung di Majapahit itu terdapat juga dalam Kitab Babad Pati, yang disusun oleh K. M. Sosrosumarto dan S. Dibyasudira, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1980. Halaman 34, Pupuh Dandanggula pada: 12 yang lengkapnya berbunyi: ……………………………… Tambranegara Pati “Sumewo” maring Majalengka Brawijaya kedua, Majalengka adalah Majapahit…………………………..
“……… Kratonnya ing satanah jawi angalih Majapahit, ingkang jumeneng Ratu Brawijaya ingkang kaping kalih, Ya Jaka pekik nama, Raden Tambranegara Sumewa maring, Kraton Majalengka ……….”
Bardasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa Raden Tambranegara Adipati Pati turut serta hadir dalam Pisowanan agung di Majapahit.
Menurut tradisi budaya pertanian (Kultur Agraris) kelompok masyarakat atau perorangan jika mengadakan kerja besar misalnya, melaksanakan pernikahan putranya, khitanan, mendirikan rumah, merehab rumah, atau pindahan ke lain tempat, selau mengusahakan tanggal yang baik. Dengan tujuan agar sesuatunya dapat berjalan dengan lancar, baik, selamat serta mendatangkan rejeki.
Hari dan tanggal yang baik itu jika sesuai musim panen padi yang jatuh pada bulan Juli atau Agustus pada tiap tahunnya. Kalau pisowanan agung yang dihadiri oleh Raden Tambranegara ke Majapahit pada tanggal 13 Desember 1323, maka diperkirakan bahwa pindahnya Kadipaten Pesantenan dari Desa Kemiri ke Desa Kaborongan dan menjadi Kabupaten Pati itu diperkirakan pada bulan Juli dan Agustus 1323.
Ada tiga tanggal yang baik pada bulan Juli dan Agustus 1323 itu yaitu: 3 Juli, 7 Agustus, dan 14 Agustus 1323.
Seminar Hari Jadi Kabupaten Pati yang diselenggarakan oleh Bapak Bupati KDH Tk. II Pati pada tanggal 28 September 1993 di Pendopo Kabupaten Pati yang dihadiri oleh para perwakilan lapisan masyarakat Kabupaten Pati, para guru sejarah SLTA se Kabupaten Pati, Konsultan Dosen Fakultas Sastra dan Sejarah Undip Semarang, secara musyawarah dan sepakat memutuskan bahwa tanggal 7 Agustus 1323 sebagai hari kepindahan Kadipaten Pesantenan di Desa Kemiri ke Desa Kaborongan menjadi Kabupaten Pati, menjadi momentum HARI JADI KABUPATEN PATI. Dengan surya sengkala “KRIDANE PANEMBAH GEBYARING BUMI”, yang bermakna “Dengan bekerja keras dan penuh do’a kita gali Bumi Pati untuk meningkatkan kesejahteraan lahiriah dan batiniah”.
Tanggal 7 Agustus 1323 sebagai HARI JADI KABUPATEN PATI telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Pati Nomor: 2/1994 tanggal 31 Mei 1994
(sumber : Disbudparpora Kab. Pati)
Tim Penyusun dan Penelitian bersepakat bahwa untuk penelitian Hari Jadi Kabupaten Pati berpangkal tolak dari beberapa gambar yang terdapat pada lambang Daerah Kabupaten Pati yang sudah disahkan dalam Peraturan Daerah No.1 Th. 1971. Gambar yang dimaksud yang berupa:
“ KERIS RAMBUT PINUTUNG DAN KULUK KANIGARA”
Menurut cerita rakyat dari mulut ke mulut yang terdapat juga pada kitab babad Pati dan kitab babad lainnya dua pusaka itu merupakan lambang kekuasaan dan kekuatan yang juga merupakan simbol kesatuan dan persatuan.
Barang siapa yang memiliki dua pusaka tersebut, akan mampu menguasai dan berkuasa memerintah di pulau jawa. Adapun yang memiliki dua pusaka tersebut adalah Raden Sukmayana penggede Majasemi andalan Kadipaten Carangsoko.
Menjelang akhir abad ke XIII sekitar tahun 1290 Masehi di pulau jawa fakum penguasa pemerintahan yang berwibawa. Kerjaan Pajajaran mulai runtuh, Kerajaan Singosari surut, sedang Kerajaan Majapahit belum berdiri.
Di pantai utara Jawa Tengah sekitar Gunung Muria bagian timur muncul Penguasa lokal yang memangkat dirinya sebagai Adipati, wilayah kekuasaannya disebut Kadipaten.
Ada dua pusaka lokal di wilayah itu, yaitu:
1. Penguasa Kadipaten Paranggaruda, Adipatinya bernama “Yudhapati”. Wilayah kekuasaannya meliputi sungai Juwana ke selatan, sampai Pegunungan Gamping Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Grobogan. Mempunyai seorang putra bernama Raden Jasari.
2. Penguasa Kadipaten Carangsoko, Adipatinya bernama “Puspa Andungjaya”, wilayah kekuasaannya meliputi semua sungai Juwana sampai Pantai Utara Jawa Tengah bagian Timur. Adipati Carangsoko mempunyai seorang putri bernama Rara Rayungwulan.
Kedua Kadipaten tersebut hidup rukun dan damai, saling menghormati dan saling menghargai untuk melestariakan kerukunan dan memperkuat tali persaudaraan itu kedua Adipati tersebut bersepakat untuk mengawinkan putra putrinya itu. Utusan adipati Paranggaruda untuk meminang Rara Rayungwulan telah diterima, namun calon mempelai putri minta bebana agar pada saat pahargyan boja wiwaha daup (resepsi) dimeriahkan dengan pagelaran wayang dengan dalang kondang yang bernama “Sapanyana”.
Untuk memenuhi beban itu, Adipati Paranggaruda menugaskan panggede kemaguhan yang bernama Yuyurumpung agul-agul Paranggaruda sebelum melaksanakan tugasnya lebih dulu Yuyurumpung berniat melumpuhkan kewibawaan Kadipaten Carangsoko dengan cara menguasai dua pusaka milik Sukmayana di Majasemi. Dengan bantuan “Sondong Majeruk” kedua pusaka itu dapat dicurinya namun sebelum dua pusaka itu diserahkan pada Yuyurumpung, dapat kembali oleh Sondong Makerti dari Wedari. Bahkan Sondong Majeruk tewas dalam perkelahian dengan Sondong Makerti. Dan pusaka itu diserahkan kembali kepada Raden Sukmayana. Usaha Yuyurumpung untuk menguasai dan memiliki dua pusaka itu gagal.
Walaupun demikian Yuyurumpung tetap melanjutkan tugas untuk mencari dalang Sapanyana agar perkawinan putra Adipati Paranggaruda tidak mengalami kegagalan.
Pada malam pahargyan bojana wiwaha (resepsi) perkawinan dapat diselenggarakan di Kadipaten Carangsoka dengan Pagelaran Wayang oleh Ki Dalang Sapanyana. Di luar dugaan pahargyan baru saja dimulai, tiba-tiba mempelai putri meninggalkan kursi pelaminan menuju ke panggung dan seterusnya melarikan diri bersama Dalang Sapanyana. Pahargyan pekawinan antara “Raden Jasari” dan “Rara Rayungwulan” gagal total. Adipati Yudhapati merasa dipermalukan, Emosi tak dapat dikendalikan lagi. Sekaligus menyatakan permusuhan terhadap Adipati Carangsoka. Dan peperangan tak dapat dielakkan. Raden Sukmayana dari Kadipaten Carangsoka memimpin prajurit Carangsoka, mengalami kekalahan dan kemudian wafat. Raden Kembangjaya (adik ipar Raden Sukmayana) menerusakan peperangan. Dengan dibantu oleh Dalang Sapanyana, dan menggunakan kedua pusaka itu dapat menghancurkan prajurit Peranggaruda. Adipati Paranggaruda, Yudhapati gugur dalam palagan membela kehormatan dan gengsinya.
Oleh Adipati Carangsoka, karena jasanya Raden Kembangjaya dikawinkan dengan Rara Rayungwulan kemudian diangkat menjadi pengganti Carangsoka. Sedang dalang Sapanyana diangkat menjadi patihnya dengan nama “Singasari”.
Untuk mengatur pemerintahan yang semakin wilayahnya kebagian selatan, Adipati Raden Kembangjaya memindahkan pusat pemerintahannya dari Carangsoka ke Desa Kemiri dengan mengganti nama “Kadipaten Pesantenan”. Dengan gelar “Adipati Jayakusuma” di pesantenan. Adipati Jayakusuma hanya mempunyai seorang putra tunggal yaitu “Raden Tambra”. Setelah ayahnya wafat, Raden Tambra diangkat menjadi Adipati Pesantenan dengan gelar “Adipati Tambranegara”.
Dalam menjalankan tugas pemerintahan Adipati Tambranegara bertindak arif dan bijaksana menjadi Songsong Agung yang sangat memperhatikan nasib Rakyatnya, serta menjadi pengayom bagi hamba sahayanya. Kehidupan rakyatnya penuh dengan kerukunan, kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraannya semakin meningkat. Untuk dapat mengembangkan pembangunan dan memajukan pemerintahan di wilayahnya Adipati Raden Tambranegara memindahkan pusat pemerintahan Kadipaten Pesantenan yang semula berada di desa Kemiri munuju kearah barat yaitu, di desa Kaborongan, dan mengganti nama Kadipaten Pesantenan menjadi Kadipaten Pati.
Dalam prasasti Tuhannaru, yang diketemukan di desa Sidateka, wilayah Kabupaten Majakerta yang berada di Musium Trowulan. Prasasti itu terdapat pada delapan Lempengan Baja, dan bertuliskan huruf Jawa kuna. Pada lempengan yang ke empat antara lain berbunyi bahwa: ………………………………….Raja Majapahit, Raden Jayanegara menambah gelarnya dengan ABHISEKA WIRALANDA GOPALA pada 13 Desember 1323. Dengan patihnya yang setia dan berani bernama DYAH MALAYUDA dengan gelar RAKAYI. Pada saat pengumuman itu bersamaan juga dengan pisuwanan agung dari Kadipaten pantai utara Jawa Tengah bagian Timur termasuk Raden Tambranegara berada di dalamnya. Raja Jayanegara dari Majapahit mengakui wilayah kekuasaan para Adipati itu, dengan memberi status sebagai tanah predikan, dengan syarat bahwa para Adipati itu setiap tahun harus menyerahkan Upeti berupa bunga.
Bahwa Adipati Raden Tambranegara juga hadir dalam Pisuanan agung di Majapahit itu terdapat juga dalam Kitab Babad Pati, yang disusun oleh K. M. Sosrosumarto dan S. Dibyasudira, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1980. Halaman 34, Pupuh Dandanggula pada: 12 yang lengkapnya berbunyi: ……………………………… Tambranegara Pati “Sumewo” maring Majalengka Brawijaya kedua, Majalengka adalah Majapahit…………………………..
“……… Kratonnya ing satanah jawi angalih Majapahit, ingkang jumeneng Ratu Brawijaya ingkang kaping kalih, Ya Jaka pekik nama, Raden Tambranegara Sumewa maring, Kraton Majalengka ……….”
Bardasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa Raden Tambranegara Adipati Pati turut serta hadir dalam Pisowanan agung di Majapahit.
Menurut tradisi budaya pertanian (Kultur Agraris) kelompok masyarakat atau perorangan jika mengadakan kerja besar misalnya, melaksanakan pernikahan putranya, khitanan, mendirikan rumah, merehab rumah, atau pindahan ke lain tempat, selau mengusahakan tanggal yang baik. Dengan tujuan agar sesuatunya dapat berjalan dengan lancar, baik, selamat serta mendatangkan rejeki.
Hari dan tanggal yang baik itu jika sesuai musim panen padi yang jatuh pada bulan Juli atau Agustus pada tiap tahunnya. Kalau pisowanan agung yang dihadiri oleh Raden Tambranegara ke Majapahit pada tanggal 13 Desember 1323, maka diperkirakan bahwa pindahnya Kadipaten Pesantenan dari Desa Kemiri ke Desa Kaborongan dan menjadi Kabupaten Pati itu diperkirakan pada bulan Juli dan Agustus 1323.
Ada tiga tanggal yang baik pada bulan Juli dan Agustus 1323 itu yaitu: 3 Juli, 7 Agustus, dan 14 Agustus 1323.
Seminar Hari Jadi Kabupaten Pati yang diselenggarakan oleh Bapak Bupati KDH Tk. II Pati pada tanggal 28 September 1993 di Pendopo Kabupaten Pati yang dihadiri oleh para perwakilan lapisan masyarakat Kabupaten Pati, para guru sejarah SLTA se Kabupaten Pati, Konsultan Dosen Fakultas Sastra dan Sejarah Undip Semarang, secara musyawarah dan sepakat memutuskan bahwa tanggal 7 Agustus 1323 sebagai hari kepindahan Kadipaten Pesantenan di Desa Kemiri ke Desa Kaborongan menjadi Kabupaten Pati, menjadi momentum HARI JADI KABUPATEN PATI. Dengan surya sengkala “KRIDANE PANEMBAH GEBYARING BUMI”, yang bermakna “Dengan bekerja keras dan penuh do’a kita gali Bumi Pati untuk meningkatkan kesejahteraan lahiriah dan batiniah”.
Tanggal 7 Agustus 1323 sebagai HARI JADI KABUPATEN PATI telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Pati Nomor: 2/1994 tanggal 31 Mei 1994
NAMA-NAMA ADIPATI/BUPATI DAERAH
KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PATI
Dari Pemerintahan
Dari Pemerintahan
NO | NAMA |
JABATAN |
KETERANGAN |
1 | Raden Tambranegara | Adipati di Kabupaten Pesantenan dan Pati |
Sekitar tahun 1300 |
2 | Raden Tandanegara |
Adipati di Kabupaten Pati |
Tahun 1330 |
3 |
Kayu Bralit |
Adipati di Kabupaten Pati | Tahun 1511-1518 (de Grafi) |
4 |
Ki Agen Penjawi |
Adipati di Kabupaten Pati setelah gugurnya Arya Penangsang |
Tahun 1568-15... |
5 |
Raden Sidik Bergelar Djajakoesoema I |
Adipati di Kabupaten Pati | Tahun 1577-1601 |
6 |
Djajakoesoema II |
Adipati di Kabupaten Pati (Adipati Pragola) |
Tahun 1601-1628 |
7 |
Ki Arja Pagedongan/Penjaringan (Djajakoesoema II) |
Adipati di Kabupaten Pati (Adipati Pragola II) |
Tahun 1628-1640 |
8 |
Adipati Pragola II, pemerintahan kosong/tidak didirikan Adipati tetapi akan tetapi pemerintahan pecah menjadi 2 (dua) Katemenggungan dan 7 (tujuh) Kademengan, Yaitu : Katemenggunan : * Toemenggung Wetanan * Toemenggung Koelonan Kademangan : * Demang Tenggeles * Demang Selowesi * Demang Tjengkalsewu * Demang Glongsong * Demang Paselehan * Demang Margotoehoe * Demang Juwono |
||
9 |
Mangoen Oneng I (Lepek) |
Adipati di Kabupaten Pati |
s/d tahun 1670 (pakem) |
10 |
Mangoen Oneng II (Widjo) |
Adipati di Kabupaten Pati | Tahun 1678-1682 |
11 |
Toemenggung Tirtonoto Adik Mangoen Oneng |
Adipati di Kabupaten Pati | Tahun 1682-1690 |
12 |
Mengoen Oneng III (Abroenoto) |
Adipati di Kabupaten Pati (Putra Mangoen Oneng II) |
Tahun 1690-1701 |
13 |
Soemodipoera (Putra Pangeran Koedoes) |
Adipati di Kabupaten Pati | Tahun 1701-1718 |
14 |
Pangeran Koming (Pamegat Koming I) |
Adipati di Kabupaten Pati (Putra Soemodipoero) |
Tahun 1718-1720 |
15 |
Pangeran Kuning (Pamegat Sari II) |
Adipati di Kabupaten Pati (Wafat dan makamnya di Kudus) |
Tahun 1720 |
16 |
Pamegat Sari III (Raden Wiratmodjo II) |
Adipati di Kabupaten Pati (PAKEM, Hal 131, No. 16 zie sejarah 7/407) |
Dukuh Muktisari Desa Muktisari Desa |
17 |
Pangeran Aryo (Megat Sari III) |
Adipati di Kabupaten Pati (Zaman Deandels zie sejarah 9/407) |
Diasingklan ke Belanda dan Makamya di Surabaya |
18 |
* Sosrodiningrat * Mangunkusumo |
Bupati Pati Wetan Bupati Pati Kulon |
Tahun 1807-1808 |
19 |
Kiai Adipati Tjondroagoro |
Bupati Pati Pindahan dari Bupati Lamongan |
Tahun 1808-1812 |
20 |
Adipati Raden Tjondronagoro |
Bupati Pati dimakamkan di Desa Puri Pati |
Tahun 1812-1829 |
21 |
Raden Bagoes Mita bergelar Kandjeng Pangeran Ario Tjondro Adinegeoro |
Bupati Pati |
Tahun 1812-1829 Dapat dibaca pada prasasti berdirinya masjid Gambiran Pati |
22 |
Raden Bagoes Kasan Bergelar Raden Adipati Ario Tjondro Adinegoro |
Bupati Pati |
Tahun 1896-1904 |
23 |
Raden Toemenggong Prawiro Werdojo |
Bupati Pati |
Tahun 1904-1907 |
24 |
Raden Adipati Ario Soewondo |
Bupati Pati |
Tahun 1907-1934 Wafat 4 Juni 1934 |
25 |
K.G.P. Dipokoesoemo |
Bupati Pati (Enam bulan) |
Tahun 1934-1935 |
26 |
R.T.A Milono |
Bupati Pati kemudian menjadi Residen Pati |
Tahun 135-1945 Tahun 1945-1948 |
27 |
M. Moerjono Djojodigdo |
Bupati Pati |
Tahun 1945-1948 Tahun 1948 terjadi perebutan oleh PKI/Muso, mulai Desember 1948 ClashII Pd. Bupati Pati ditunjuk Sukemi Wedono Tayu |
28 |
Raden Soebijanto |
Bupati Pati |
Tahun 1950-1952 |
29 |
Raden Soekardji Mangoen Koesoemo |
Bupati Pati |
Tahun 1952-1954 |
30 |
Palal al Pranoto Palal al Pranoto |
Bupati Pati Kepala Daerah Swatantra |
Tahun 1954-1957 Tahun 1957-1959 |
31 |
M. Soermardi Soero Prawiro |
Pegawai Tinggi diperbantukan Pemda tingkat II |
Tahun 1957-1959 |
32 |
M. Soetjipto |
Bupati kdh. Pati |
Tahun 1959-1967 |
33 |
A.K.B.P Raden Soehargo |
Bupati Kdh. Pati |
Tahun 1959-1967 |
34 |
Kol. Pol.Drs. Edy Rustam Santiko |
Bupati Kdh.Pati |
Tahun 1973-1979 |
35 |
Kol. Inf. Panoedjoe Hidayat |
bupati Kdh. Pati |
Tahun 1971981 menjabat 18 bulan/meninggal dunia |
36 |
Drs. Soeparto Soewondo |
Residen Pati merangkap Pj. Bupati Kdh. tingkat II Pati |
s/d agustus 1981 |
37 |
Kol. Art. Saoedji |
Bupati Kdh. Tingkat II Pati |
6 Agustus 1981 sd September 1991 |
38 |
Kol. Kav. Sunardji |
Bupati Kdh. Tingkat II pati |
September 1991 s/d September 1996 |
39 |
Kol. Art. H. Yusuf Muhammad |
Bupati Kdh. Tingkat II Pati |
September 1996 s/d September 2001 |
40 |
H. Tasiman, SH Drs. Kotot Kusmanto |
Bupati Pati Wakil Bupati |
September 2001 s/d September 2006 |
41 |
H. Tasiman, SH Kartika Sukawati, SE. MM |
Bupati Pati Wakil Bupati |
September 2006 September 2006 s/d Sekarang |
(sumber : Disbudparpora Kab. Pati)
0 Komentar