Sebagai penyeimbang, saatnya sekarang kepedulian kepada para calon mahasiswa ditingkatkan. Mereka adalah anak bangsa dari negara yang dalam beberapa tahun terakhir terus meningkatkan gaji dan tunjangan para pegawai negerinya. Kini giliran mereka secara eksplisit mendapatkan alokasi memadai dari anggaran pemerintah. Bentuk yang paling mudah memang peniadaan UM ditiap PTN. Bagaimanapun, UM telah memunculkan hambatan psikologis, karena aspek ekonomi berbicara dalam kriteria penerimaannya.
MMenyandarkan penerimaan mahasiswa baru hanya melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) pantas menjadi solusinya. Pada 2012., Kemendiknas mencanangkan tak ada lagi UM. Bila memang demikian nantinya, motto "gantungkanlah cita-citamu setinggi langit" pada anak-anak kita layak digaungkan lagi. Ketika UM mulai digulirkan dulu, dan calon mahasiswa yang diterima lebih besar prop9orsinya dibandingkan dengan mereka yang lulus melalui seleksi nasional, predikat "negeri" pada PTN pun terasa samar.
PTN harusnya merupakan representasi pemerintah dalam hal pendidikan tinggi. Sama dengan lembaga berstatus netgeri pada strata dibawahnya. Itu mewujud dalam keberadaan proses seleksi yang tidak mempersyaratkan kemampuan finansial. Pedidikan memang membutuhkan biaya, tetapi sebagai institusi dibawah naungan negara, tentu harus sejalan dengan plitical will pemerintah. Maka, kesan ironis pun muncul saat porsi penerimaan dari UM lebih tinggi ketimbang SNMPTN pada era 20 persen APBN untuk pendidikan.
Dengan adanya tekad politis dan kebijakan fiskal yang telah tegas memprioritaskan pendidikan, tinggal kebijakan-kebijakan teknis yang diperlukan agar mekanisme UM tak lagi diadakan. Hanya dnegan teguran dari Mendiknas, beberapa PTN tahun ini telah membatalkan rencana UM. Ketika tekad penghapusan itu telah bulat dari atas dan masih ada waktu bagi pelaksanaannya, tentu diharapkan benar-benar terealisasi dan konsisten. Persoalnnya, konsistensi merupakan persoalan serius dinegeri ini.
MMenyandarkan penerimaan mahasiswa baru hanya melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) pantas menjadi solusinya. Pada 2012., Kemendiknas mencanangkan tak ada lagi UM. Bila memang demikian nantinya, motto "gantungkanlah cita-citamu setinggi langit" pada anak-anak kita layak digaungkan lagi. Ketika UM mulai digulirkan dulu, dan calon mahasiswa yang diterima lebih besar prop9orsinya dibandingkan dengan mereka yang lulus melalui seleksi nasional, predikat "negeri" pada PTN pun terasa samar.
PTN harusnya merupakan representasi pemerintah dalam hal pendidikan tinggi. Sama dengan lembaga berstatus netgeri pada strata dibawahnya. Itu mewujud dalam keberadaan proses seleksi yang tidak mempersyaratkan kemampuan finansial. Pedidikan memang membutuhkan biaya, tetapi sebagai institusi dibawah naungan negara, tentu harus sejalan dengan plitical will pemerintah. Maka, kesan ironis pun muncul saat porsi penerimaan dari UM lebih tinggi ketimbang SNMPTN pada era 20 persen APBN untuk pendidikan.
Dengan adanya tekad politis dan kebijakan fiskal yang telah tegas memprioritaskan pendidikan, tinggal kebijakan-kebijakan teknis yang diperlukan agar mekanisme UM tak lagi diadakan. Hanya dnegan teguran dari Mendiknas, beberapa PTN tahun ini telah membatalkan rencana UM. Ketika tekad penghapusan itu telah bulat dari atas dan masih ada waktu bagi pelaksanaannya, tentu diharapkan benar-benar terealisasi dan konsisten. Persoalnnya, konsistensi merupakan persoalan serius dinegeri ini.
0 Komentar