Orang-orang berhasil tidak hanya dengan keras hati, melainkan mereka juga pekerja keras yang percaya pada kemampuan dirinya.

Optimalisasi Pendidikan Antikorupsi

Kampanye anti-korupsi secara kultural juga sering dikumandangkan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Upaya organisasi non-kepemerintahan tersebut patut diapresiasi, karena berhasil menumbuhkan kesadaran di masyarakat tentang pentingnya good governance yang ditandai dengan rendahnya tingkat korupsi. Tapi, lagi-lagi disayangkan bahwa LSM, dengan berbagai keterbatasannya, tidak mampu membuat dampak advokasi anti-korupsi meluas secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Sampai saat ini, kampanye good governance dan anti-korupsi hanya menjadi konsumsi segelintir orang, sifatnya elitis, tidak membumi, dan berhenti pada tingkat wacana.
Kampanye antikorupsi dalam bentuk seminar, workshop, semiloka, dan pelatihan seringkali diadakan di hotel, wisma, ataupun vila mewah dan menjadi konsumsi segelintir lapis masyarakat yang notabene kelompok menengah ke atas. Sedangkan dalam bentuk selebaran, pamflet, grafiti, dan stiker tempel, kampanye anti-korupsi berhenti pada masyarakat urban, dan hampir tidak menyentuh wilayah rural pedesaan.
“Optimalisasi” Pendidikan Antikorupsi
Sekali lagi, korupsi masih menjadi musuh nomor satu di Indonesia. Begitu akrabnya rakyat Indonesia dengan korupsi, bisa dikatakan sudah membudaya di Indonesia. Padahal korupsi adalah penyakit dan bukan budaya.
Maraknya kasus korupsi di Indonesia, kesadaran optimalisasi menanamkan nilai-nilai anti korupsi sejak usia dini, merosotnya nilai moral warga negara, optimalisasi penanggulangan korupsi melalui pendidikan, masalah korupsi hanya ditangani secara represif dengan menjerat koruptor ke penjara, sementara upaya-upaya preventif melalui pendidikan belum maksimal. adalah beberapa hal yang melatarbelakangi pentingnya “optimalisasi” dalam menerapkan pendidikan anti korupsi sejak usia dini.
Tujuan dari pendidikan anti korupsi antara lain: pertama, untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang korupsi baik kepada siswa, kepala sekolah, guru, dan staf administrasi, kedua, agar siswa kelak di kemudian hari tidak melakukan korupsi karena dapat merugikan orang lain dan korupsi di Indonesia sudah menjadi penyakit mental, ketiga, Sebagai upaya pencegahan atau preventif secara dini akan bahaya-bahaya korupsi dan menciptakan budaya antikorupsi yang dimulai dari sekolah, keempat, sebagai upaya untuk memperkuat dan pengamalan pendidikan agama dan PKn dalam kehidupan di sekolah dan masyarakat, keenam, mendidik generasi penerus yang memiliki sifat jujur, ketujuh, mendidik siswa untuk mempunyai pola hidup yang penuh tanggung jawab dan hati-hati baik dalam ucapan maupun tindakan, kedelapan, Sebagai upaya pendidikan ahklaq yang nyata dalam kehidupan siswa di sekolah.
Penulis berkeyakinan, dengan mengenalkan anti korupsi sejak dini diharapkan generasi mendatang bisa bersih dari korupsi, gerakan anti korupsi merupakan pembentukan moral. Jika pembentukan moral itu dilakukan sejak dini, ke depannya generasi mendatang enggan. Bahkan anti korupsi meski hanya Rp 1.000 rupiah. Karena korupsi sendiri tidak hanya terbatas pada mencuri uang, tetapi bohong, tidak disiplin dan tidak menepati janji juga merupakan bentuk lain dari korupsi.
Menurut Penulis, Korupsi adalah benalu sosial yang merusak struktur pemerintahan dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan. Sehingga perlu adanya pendidikan anti korupsi di sekolah dengan tujuan memotong arus budaya korupsi itu sendiri. Terkait dengan sulitnya secara praktik pemberantasan korupsi di Indonesia yang telah menjadi budaya dan penyakit sosial. Saya pikir saat ini, korupsi belum menjadi alat kepastian hukum bahwa pelaku korupsi adalah salah. Hal ini dibuktikan pada beberapa kasus korupsi, banyak para pelaku korupsi justru dibebaskan secara hukum. Kalaupun dihukum, hukuman yang diterima tak sebanding dengan tindakannya.
Penulis, mendesak pemerintah memasukkan materi pendidikan anti korupsi dalam kurikulum pendidikan bagi siswa TK hingga perguruan tinggi. Pasalnya, tindakan korupsi telah merambah seluruh sendi kehidupan di negeri ini, baik birokrasi, legislatif maupun sektor yang lain. Materi pendidikan anti korupsi, sudah menjadi kebutuhan saat ini. Begitu cepatnya proses pembangunan yang saat ini sedang berlangsung, diperlukan percepatan jika pemerintah pusat saat ini masih memiliki tujuan membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Melalui pembinaan yang bersifat persuasif secara perlahan siswa didik di sekolah akan mudah memahami maksud dan tujuan optimalisasi pendidikan anti korupsi sejak dini. Signifikansi pendidikan anti korupsi ini didasarkan pertimbangan bahwa pemberantasan korupsi mesti dilakukan secara integratif dan simultan yang mesti berjalan beriringan dengan tindakan represif terhadap koruptor. Karena itulah, pendidikan anti korupsi mesti didukung. Jangan sampai timbul keawaman terhadap korupsi dan perilaku koruptif. Pendidikan anti korupsi berisi tentang sosialisasi bentuk-bentuk korupsi, cara pencegahan dan pelaporan serta pengawasan terhadap tindak pidana korupsi. Pendidikan seperti ini harus ditanamkan secara terpadu mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Dari analisis terhadap perkembangan pendidikan anti korupsi di Indonesiasampai dengan saat ini, dapat dikatakan bahwa baik dalam tataran konseptual maupun dalam tataran praksis terhadap kelemahan paradigmatik yang sangat mendasar. Dan yang paling menonjol adalah kelemahan dalam konseptualisasi pendidikan anti korupsi, penekanan yang sangat berlebihan terhadap proses pendidikan moral yang behavioristik, ketakkonsistenan penjabaran dimensi tujuan pendidikan nasional ke dalam kurikulum pendidikan anti korupsi, dan keterisolasian proses pembelajaran nilai pancasila dengan konteks disiplin keilmuan dan sosial-budaya. Keadaan ini tampaknya disadari oleh para pakar dan pengambil keputusan pendidikan sebagai suatu tantangan yang perlu segera dijawab. Lebih-lebih lagi karena pada saat ini berbagai perubahan dalam koridor pendemokratisasian pendidikan, termasuk gagasan untuk mengembangkan paradigma baru pendidikan demokrasi mulai mengkristal, seperti yang dipikirkan oleh Tim peduli reformasi persatuan dan kesatuan bangsa, alih generasi, dan pemberdayaan generasi muda untuk masa depan, keadaan itu menuntut upaya pengembangan paradigma baru Pendidikan Anti Korupsi.
Perubahan sistem konstitusi dari demokrasi ke era reformasi membawa dampak yang luar biasa terhadap perkembangan moral suatu bangsa. Oleh karena itu tugas dan tanggung jawab guru bukan hanya membentuk anak agar menjadi pandai, akan tetapi guru juga berkewajiban membentuk jati diri anak bangsa agar mampu menanamkan watak dan prilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral yang baik dan bertanggung jawab.
Berkenaan dengan moral bahwa bangsa ini sedang dilanda krisis moral, peseta didik mendambakan sesosok figur yang mampu dijadikan tauladan baik dalam sikap maupun perbuatan, oleh karena itu guru berkewajiban memberikan contoh yang baik kepada peserta didiknya agar tidak terjadi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pemerintah berharap agar guru benar-benar menjadi figur yang dijadikan panutan oleh anak-anaknya dalam kehidupan yang nyata, di samping itu guru sebagai sosok terdepan dalam mengelola pendidikan ditingkat mikro diberikan wewenang penuh untuk berinovasi dalam upaya memberikan format terbaik kepada siswa agar pembelajaran berjalan dengan baik dan efisien sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Pendidikan anti korupsi ini akan berpengaruh pada perkembangan psikologis peserta didik. Setidaknya, ada dua tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan anti korupsi ini. Pertama, Untuk menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa. Melalui pendidikan ini, diharapkan semangat anti korupsi akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Sehingga pekerjaan membangun bangsa yang terseok-seok karena adanya korupsi di masa depan tidak ada terjadi lagi. Jika korupsi sudah diminimalisir, maka setiap pekerjaan membangun bangsa akan maksimal. Kedua, Menyadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan agung, melainkan tanggung jawab setiap anak bangsa. Pola pendidikan yang sistematik akan mampu membuat peserta didik mengenal lebih dini hal-hal yang berkenaan dengan korupsi termasuk sanksi yang akan diterima kalau melakukan korupsi. Orang-orang yang terlibat kasus korupsi juga bisa dikonsumsi dalam pembelajaran di sekolah sebagai “penjahat negara”, yang namanya bisa ditemukan di buku-buku pelajaran di sekolah. Dengan begitu, akan tercipta generasi yang sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi dan tahu akan sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi.
Tidak hanya itu, pendidikan anti korupsi yang dilaksanakan secara sistemik di semua tingkat institusi pendidikan, diharapkan akan memperbaiki pola pikir bangsa ini tentang korupsi. Bukankah selama ini sangat banyak kebiasaan-kebiasaan yang telah lama diakui sebagai sebuah hal yang lumrah dan bukan korupsi, dan termasuk hal-hal kecil?. Sering terlambat dalam mengikuti sebuah kegiatan, terlambat masuk sekolah, kantor dan sebagainya. Contoh lain, kebiasaan tidak mau repot. Ketika ditilang oleh polisi lalu lintas, tanpa pikir panjang dan tidak mau repot untuk sidang di pengadilan kemudian mengajukan tawar-menawar. Perbuatan ini banyak sekali ditemukan di jalan raya, dan menjadi lazim. Sehingga memang diperlukan edukasi bahwa perbuatan suap tersebut, termasuk korupsi yang merugikan negara. Di sinilah optimalisasi pendidikan anti korupsi yang diselenggarakan secara terpadu di semua tingkatan institusi pendidikan.
Tentang penulis:
Eko Supriatno SIP MPd, direktur Banten Religion and Culture Center (BRCC), dosen FISIP Universitas Mathla’ul Anwar Banten, ketua ICMI Orsat Labuan. Kontak person: 081385628075. Email: [email protected]

0 Komentar

    Tambah Komentar