Metode pendidikan yang telah dicontohkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan
”3 ing” (ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani/memberikan contoh di depan, memberikan dorongan di tengah, dan
memberikan pengawasan di belakang) tidak lagi diunggulkan sebagai
pembentuk budi pekerti luhur. Banyak orang tua, guru, pemimpin telah
hilang figur keteladanannya.
Pelanggaran norma sudah bukan hal yang aneh, misalnya berperilaku tidak jujur mulai dari tingkat yang sederhana sampai yang kompleks. Orang tua dan guru saling tahu sama tahu mendukung anaknya agar saling menyontek dalam ujian atau ulangan, bahkan membuat trik agar anak melakukan hal tersebut dengan leluasa.
Di rumah, orang tua berbuat sesuka hati, di antaranya melakukan pelanggaran disiplin, suka berbohong, tidak mampu mengendalikan emosi, suka mengumpat dan perilaku buruk lainnya.
Perilaku pemimpin yang banyak melanggar norma, korupsi, manipulasi, pelecehan dan kekerasan seksual, serta pelanggaran hukum, sudah menjadi kebiasaan.
Simultan
Berbagai falsafah kearifan lokal lainnya, seperti menang tanpa tanding, kalah tanpa ngasorake, aja metani alane liyan, ana catur mungkur, mikul duwur mendem jero, lembah manah dan andap asor sudah mulai dipinggirkan dari peradaban manusia Indonesia. Ditambah peran media dengan berbagai informasi yang kurang mendidik dan kurang bertanggung jawab secara bebas menayangkan berbagai hal yang tidak semestinya menjadi konsumsi anak.
Pertanyaannya sekarang, sebaiknya dari mana pembangunan karakter dimulai? Dari pembangunnya atau dari anaknya? Jawabnya, tidaklah mungkin karakter dapat dibangun kembali secara sepihak, melainkan harus dilakukan secara simultan oleh pemerintah (dengan pembenahan sistem), orang tua, guru, masyarakat, serta media.
Selama ini yang menjadi sasaran pembangunan karakter adalah siswa/anak dan remaja. Sampai-sampai Mendikbud kebingungan dan akhirnya memasukkan pelajaran karakter ke dalam kurikulum di sekolah. Padahal para orang tua, guru dan pemimpin banyak yang lebih tidak berkarakter dibanding siswanya. (24)
—Dra Alif Mua’rifah SPsi MSi, Ketua Program Studi PGPAUD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Pelanggaran norma sudah bukan hal yang aneh, misalnya berperilaku tidak jujur mulai dari tingkat yang sederhana sampai yang kompleks. Orang tua dan guru saling tahu sama tahu mendukung anaknya agar saling menyontek dalam ujian atau ulangan, bahkan membuat trik agar anak melakukan hal tersebut dengan leluasa.
Di rumah, orang tua berbuat sesuka hati, di antaranya melakukan pelanggaran disiplin, suka berbohong, tidak mampu mengendalikan emosi, suka mengumpat dan perilaku buruk lainnya.
Perilaku pemimpin yang banyak melanggar norma, korupsi, manipulasi, pelecehan dan kekerasan seksual, serta pelanggaran hukum, sudah menjadi kebiasaan.
Simultan
Berbagai falsafah kearifan lokal lainnya, seperti menang tanpa tanding, kalah tanpa ngasorake, aja metani alane liyan, ana catur mungkur, mikul duwur mendem jero, lembah manah dan andap asor sudah mulai dipinggirkan dari peradaban manusia Indonesia. Ditambah peran media dengan berbagai informasi yang kurang mendidik dan kurang bertanggung jawab secara bebas menayangkan berbagai hal yang tidak semestinya menjadi konsumsi anak.
Pertanyaannya sekarang, sebaiknya dari mana pembangunan karakter dimulai? Dari pembangunnya atau dari anaknya? Jawabnya, tidaklah mungkin karakter dapat dibangun kembali secara sepihak, melainkan harus dilakukan secara simultan oleh pemerintah (dengan pembenahan sistem), orang tua, guru, masyarakat, serta media.
Selama ini yang menjadi sasaran pembangunan karakter adalah siswa/anak dan remaja. Sampai-sampai Mendikbud kebingungan dan akhirnya memasukkan pelajaran karakter ke dalam kurikulum di sekolah. Padahal para orang tua, guru dan pemimpin banyak yang lebih tidak berkarakter dibanding siswanya. (24)
—Dra Alif Mua’rifah SPsi MSi, Ketua Program Studi PGPAUD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
0 Komentar