CSR: Ketulusan Perusahaan
CORPORATE Social Responsibility (CSR), dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebut sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Saat ini, masalah tersebut hangat diperbincangkan di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jateng, yang sedang membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) CSR. Tiga pertanyaan yang relevan adalah: apakah CSR merupakan kewajiban semua perusahaan? CSR merupakan komitmen semua perusahaan?
CSR merupakan kewajiban hanya bagi perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA)? Mengacu pada UU 40/2007, maka jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: CSR merupakan komitmen semua perusahaan, tapi merupakan kewajiban bagi perusahaan yang berkaitan dengan SDA. Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal I ayat 3 UU 40/2007 disebutkan, tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Jelas, menurut pasal tersebut, CSR merupakan komitmen, bukan kewajiban, bagi semua perusahaan. Komitmen adalah perjanjian untuk melaksanakan sesuatu (baca: Zain Badudu, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2001). Komitmen adalah janji, tidak ada unsur keharusan.
Adapun Pasal 74 (ayat 1) UU 40/2007 menyebutkan: Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jelas, CSR yang merupakan komitmen itu berubah menjadi kewajiban bagi perusahaan yang usahanya berkaitan dengan SDA. Apa perbedaan antara komitmen dan kewajiban dalam konteks CSR? Komitmen muncul dari kesadaran diri perusahaan, tidak ada unsur paksaan, adapun kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh perusahaan, dengan konsekuensi sanksi kalau perusahaan tidak melakukan kewajiban tersebut.
Jadi, tafsir dari UU itu adalah, CSR merupakan komitmen (bukan kewajiban) bagi perusahaan yang kegiatan usahanya tidak berkaitan dengan SDA. CSR merupakan kewajiban hanya bagi perusahaan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan SDA. Itu sebabnya, Raperda CSR sebaiknya dilandasi filosofi bahwa CSR merupakan komitmen perusahaan, tapi merupakan kewajiban bagi perusahaan yang usahanya berkaitan dengan SDA. Kalau Raperda tersebut bersifat memaksa atau mewajibkan semua perusahaan melakukan CSR akan berarti tidak sejalan dengan UU 40/2007. Bukan Keterpaksaan Secara ideal, CSR harus muncul dari kesadaran, dorongan tulus dari dalam (internal driven) perusahaan, karena menyadari dan meyakini bahwa CSR merupakan investasi demi pertumbuhan dan keberlanjutan usaha. CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost centre), melainkan sebagai sentra laba (profit centre) di masa mendatang (Wibisono, Yusuf, Membedah Konsep & Aplikasi Corporate Social Responsibility, 2007). Tidaklah baik kalau CSR dilakukan karena keterpaksaan; hanya karena faktor-faktor eksternal, misalnya karena tuntutan masyarakat, desakan lingkungan, atau mencari reputasi. Praktik CSR juga tidak elok, kalau hanya sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban karena ada regulasi, hukum, dan aturan yang mengharuskan.
Idealnya, Raperda CSR memang dimaksudkan untuk mendorong kemunculan kesadaran yang tulus pihak perusahaan agar peduli pada lingkungan. Itupun harus didasari pada prinsip-prinsip CSR yang benar, yaitu berkesinambungan (continuity), berkelanjutan (sustainability), dan pemberdayaan komunitas (community empowerment). Berkesinambungan dan berkelanjutan merupakan unsur vital dari CSR. Suatu kegiatan amal yang berdasar tren ataupun insidental, bukanlah CSR. CSR merupakan hal yang bercirikan pada perspektif jangka panjang, bukan instans, happening ataupun booming. CSR adalah mekanisme kegiatan yang terencana, sistematis, dan dapat dievaluasi.
Pemberdayaan komunitas merupakan faktor yang membedakan CSR dari kegiatan yang bersifat charity atau philantrophy. Tindakan-tindakan kedermewanan meskipun membantu komunitas, tapi tidak menjadikan komunitas itu mandiri. Salah satu indikasi dari suksesnya program CSR adalah adanya kemandirian yang lebih pada komunitas, dibandingkan dengan sebelum program CSR hadir (Rahman, Reza, Corporate Social Responsibility, 2009). Jadi, sesungguhnya CSR merupakan kebutuhan perusahaan, agar tetap eksis dan berkembang.
Pemahaman bahwa CSR merupakan kebutuhan inilah yang perlu disosialisasikan kepada perusahaan-perusahaan. Ada atau tidak ada peraturan yang mewajibkan, perusahaan seharusnya memiliki kesadaran untuk melaksanakan CSR. Kesadaran itu tidak perlu dipaksa oleh peraturan atau UU, melainkan muncul dari diri pemilik, pemimpin, dan segenap pengelola perusahaan. Dasar filosofi CSR adalah ketulusan perusahaan, bukan keterpaksaan karena berbagai faktor eksternal, termasuk Perda. Mungkin Perda itu diperlukan, tapi untuk memotivasi perusahaan agar secara tulus dan yakin bahwa CSR merupakan kebutuhan. (69)
Adi Ekopriyono, Direktur Eksekutif Budi Santoso Foundation, mengajar Etika Bisnis di FEB Untag Semarang.
Sumber : http://berita.suaramerdeka.com