Normalisasi Juwana, Efektifitas Proyek Nihil
Paket tahun pertama (2010) senilai Rp 7,2 miliar hanya di kerjakan senilai Rp 3,45 miliar setelah ditendarkan. Nilai itu untuk mengeruk alur sepanjang 4,745 kilometer antara desa Gadingrejo, kec.juwana hingga desa Ngastorejo, kec.jakenan.
Pengerukan alur sungai yang jauh di bawah nilai pagu juga terjadi pada paket ke 2 (2011). Dari pagu Rp 8,3 miliar, hanya di realisasikan Rp 5,74 miliar setelah lelang. Direncanakan, paket ini untuk pengerukan alur desa Sugiharjo kec. pati hingga desa Penambungan kec. margorejo sepanjang 6 kilometer.
Paket pertama pagu dananya sesuai pengajuan, meski pekerjaanya jauh di bawah nilai itu. Sedangkan paket ke dua belum sesuai yang di harapkan lantaran pengajuan Rp 66 miliar (2011 dan 2012), tahun ini hanya di alokasikan Rp 8,32 miliar (setelah tender Rp 5,74 miliar).
Sementara untuk paket tahun ke tiga (2012) belum jelas alokasinya. Dan di perkirakan tidak jauh berbeda dengan paket sebelumnya sehingga jauh dari estimasi Rp 66 miliar.
Normalisasi....
keragaman normalisasi tuntas dan efektif di tahun berikutnya menyelimurti warga sekitar sungai, utamnya petani yang selama ini menggarap sawah di kanan dan kiri alur. Mengingat dari pengalaman 2 th berjalan alokasinya di bawah Rp 10 miliar, padahal pengajuan untuk 2013 hampir sebanyak paket ke 3 (2012), yakni Rp 65,745 miliar.
Pengajuan iitu berdasarkan desain yang di jukan balai besar wilayah sungai (BBWS) pemali juwana ke pemerintahan pusat.
Dari total 4 paket tersebut anggaran yang di ajukan mencapai Rp 259.945.000.000. Desain itu belum termasuk pembangunan floodway, kolam retensi, dan bangunan pelengkap lainnya.
Dari realisasi anggaran, di pandang masyarakat yang langganan menjadi korban banjir jauh dari harapan. Belum lagi mencakup teknis pengerukan yang di prioritaskan pada alur yang sempit dan pling dangkal, bukan dar alur yang rendah (muara) menuju ke atas.
Jaringan masyarakat peduli sungai juwana (jampi sawan) yang sejauh ini masuk dalam tim sosialisasi normalisasi sungai tersebut posisinya lebih cenderung sebagiai pelengkap administrasi.
Masukan yang diberikan seperti di anggap angin lalu, sehingga efektivitas penanganan banjir sngai juwana tidak terwujud.
Ketua Jampi Sawan Sunhadi mengku, selama terlibat dalam tim realisasi normalisasi sungai juwana tahap pertama, pihaknya hanya sebatas sebagai pendamping. Sejumlah masukkannya tidak pernah di perhatikan, sehingga pengerukan masih kerap menimbulkan potensi di lapangan.
Menurut dia, tim hanya menyentuh kalangan elit masyarakat desa, seperti kades, dan perangkatnya, serta tokoh masyarakat.
Namun informasi tentang persiapan pengerukan maupun desainnya tidak sampai ke seluruh masyarakat tepi sungai.
"Warga di anggap sudah tahu dan itu yang membuat pengerukan tidak efektif. Itu dapat dilihat dari pengadangan sebagaian warga ketika alat berat hendak mengeruk salah satu alur. Tidak itu saja, pembuangan tanah kerukan ke tanah warga juga menjadi persoalan tersendiri," jelasnya.
Kedua masalah itu, menurut dia hanya sebagian kecil yang mengemuka. Belum ternasuk dampak buruk setelah sungai dikeruk. "Kalau pengerukan memperhatikan maskan masyaraat dan semangatnya adalah mengurangi dampak banjir, mungkin tidak seperti itu polanya. Tetapi celakanya sudah tahu timbul banyak persoalan, kinerja tim terdahulu tidak pernah dievaluasi dan langsung dipersiapkan untuk kerja tahun berikutnya," sesal warga Desa Tondomulyo, Kecamatan Jakenan ini.
Pihaknya mensinyalir, pemerintah menghindai alur yang selama ini lambirannya banyak dipenuhi bangunan dan bersertifikat. Kondisi tersebut banyak ditemui di alur dekat muara Juwana. Itu tercermin dari pengerukan dalam dua tahun terakhir di mana alur yang dipilih justru tidak muara. "Bicara soal normalisasi, seharusnya alur dan lambiran sungai disesuaikan dengan ukuran semula. KAlai yang bernasalah sengaja dihindari justru tidak akan menyelesaikan masalah dan hasilya seperti sekarang, ratusan hektare sawah tidak bisa ditanami karena terendam banjir," katanya.
Di Desa Tondomulyo dan Sidoarum Kecamatan Jakenan ada lebih dari 150 hektare sawah di tepi sungai yang terenam banjir berbulan-bulan. Kondisi tersebut lebih parah dibanding sebelum alur sungai dikeruk. Di luar itu, areal sawah seluas 150 hektare di Desa jambean Kidul, Kecamatan Margorejo juga terkna dampak serup. Luasan tersebut setahun lebih dibiarkan bero oleh pemiliknya karena terendam banjir luapan Sungai Juwana.
Anggota Komisi III DPRD, Sutikno ST yang kebetulan Warga Jambean Kidl engatakan, selama penanganan sungai terbesar di Pati itu tidak tuntas dan dananya dipecah per tahun dengan jumlah yang relatif kecil. maka banjir tidak aakan tertangani. Itu tidak lepas dari lobi pemkab yang kurang maksimal ke pemerintah pusat.
Pengerukan alur sungai yang jauh di bawah nilai pagu juga terjadi pada paket ke 2 (2011). Dari pagu Rp 8,3 miliar, hanya di realisasikan Rp 5,74 miliar setelah lelang. Direncanakan, paket ini untuk pengerukan alur desa Sugiharjo kec. pati hingga desa Penambungan kec. margorejo sepanjang 6 kilometer.
Paket pertama pagu dananya sesuai pengajuan, meski pekerjaanya jauh di bawah nilai itu. Sedangkan paket ke dua belum sesuai yang di harapkan lantaran pengajuan Rp 66 miliar (2011 dan 2012), tahun ini hanya di alokasikan Rp 8,32 miliar (setelah tender Rp 5,74 miliar).
Sementara untuk paket tahun ke tiga (2012) belum jelas alokasinya. Dan di perkirakan tidak jauh berbeda dengan paket sebelumnya sehingga jauh dari estimasi Rp 66 miliar.
Normalisasi....
keragaman normalisasi tuntas dan efektif di tahun berikutnya menyelimurti warga sekitar sungai, utamnya petani yang selama ini menggarap sawah di kanan dan kiri alur. Mengingat dari pengalaman 2 th berjalan alokasinya di bawah Rp 10 miliar, padahal pengajuan untuk 2013 hampir sebanyak paket ke 3 (2012), yakni Rp 65,745 miliar.
Pengajuan iitu berdasarkan desain yang di jukan balai besar wilayah sungai (BBWS) pemali juwana ke pemerintahan pusat.
Dari total 4 paket tersebut anggaran yang di ajukan mencapai Rp 259.945.000.000. Desain itu belum termasuk pembangunan floodway, kolam retensi, dan bangunan pelengkap lainnya.
Dari realisasi anggaran, di pandang masyarakat yang langganan menjadi korban banjir jauh dari harapan. Belum lagi mencakup teknis pengerukan yang di prioritaskan pada alur yang sempit dan pling dangkal, bukan dar alur yang rendah (muara) menuju ke atas.
Jaringan masyarakat peduli sungai juwana (jampi sawan) yang sejauh ini masuk dalam tim sosialisasi normalisasi sungai tersebut posisinya lebih cenderung sebagiai pelengkap administrasi.
Masukan yang diberikan seperti di anggap angin lalu, sehingga efektivitas penanganan banjir sngai juwana tidak terwujud.
Ketua Jampi Sawan Sunhadi mengku, selama terlibat dalam tim realisasi normalisasi sungai juwana tahap pertama, pihaknya hanya sebatas sebagai pendamping. Sejumlah masukkannya tidak pernah di perhatikan, sehingga pengerukan masih kerap menimbulkan potensi di lapangan.
Menurut dia, tim hanya menyentuh kalangan elit masyarakat desa, seperti kades, dan perangkatnya, serta tokoh masyarakat.
Namun informasi tentang persiapan pengerukan maupun desainnya tidak sampai ke seluruh masyarakat tepi sungai.
"Warga di anggap sudah tahu dan itu yang membuat pengerukan tidak efektif. Itu dapat dilihat dari pengadangan sebagaian warga ketika alat berat hendak mengeruk salah satu alur. Tidak itu saja, pembuangan tanah kerukan ke tanah warga juga menjadi persoalan tersendiri," jelasnya.
Kedua masalah itu, menurut dia hanya sebagian kecil yang mengemuka. Belum ternasuk dampak buruk setelah sungai dikeruk. "Kalau pengerukan memperhatikan maskan masyaraat dan semangatnya adalah mengurangi dampak banjir, mungkin tidak seperti itu polanya. Tetapi celakanya sudah tahu timbul banyak persoalan, kinerja tim terdahulu tidak pernah dievaluasi dan langsung dipersiapkan untuk kerja tahun berikutnya," sesal warga Desa Tondomulyo, Kecamatan Jakenan ini.
Pihaknya mensinyalir, pemerintah menghindai alur yang selama ini lambirannya banyak dipenuhi bangunan dan bersertifikat. Kondisi tersebut banyak ditemui di alur dekat muara Juwana. Itu tercermin dari pengerukan dalam dua tahun terakhir di mana alur yang dipilih justru tidak muara. "Bicara soal normalisasi, seharusnya alur dan lambiran sungai disesuaikan dengan ukuran semula. KAlai yang bernasalah sengaja dihindari justru tidak akan menyelesaikan masalah dan hasilya seperti sekarang, ratusan hektare sawah tidak bisa ditanami karena terendam banjir," katanya.
Di Desa Tondomulyo dan Sidoarum Kecamatan Jakenan ada lebih dari 150 hektare sawah di tepi sungai yang terenam banjir berbulan-bulan. Kondisi tersebut lebih parah dibanding sebelum alur sungai dikeruk. Di luar itu, areal sawah seluas 150 hektare di Desa jambean Kidul, Kecamatan Margorejo juga terkna dampak serup. Luasan tersebut setahun lebih dibiarkan bero oleh pemiliknya karena terendam banjir luapan Sungai Juwana.
Anggota Komisi III DPRD, Sutikno ST yang kebetulan Warga Jambean Kidl engatakan, selama penanganan sungai terbesar di Pati itu tidak tuntas dan dananya dipecah per tahun dengan jumlah yang relatif kecil. maka banjir tidak aakan tertangani. Itu tidak lepas dari lobi pemkab yang kurang maksimal ke pemerintah pusat.
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda