Disayangkan, Pemahaman Normalisasi keliru

Dasarnya, ungkapnya, LSM bersangkutan menghitung biaya proyek secara akumulatif untuk normalisasi sejak 2010 hingga 2012 sudah menelan biaya lebih dari Rp 60 miliar. Hal itu sama saja biaya perkilometer  Rp 1 miliar, sehingga menimbulkan penilaian subjektif biaya terlalu mahal.

Padahal, tandasnya, proses timbulnya biaya untuk keperluan itu adalah berdasarkan penetapan hasil pemenang lelang dari petugas kepada rekanan penyedia jasa konstruksi. Dengan demikian, tentu sudah dihitung berapa batas keuntungan maksimal rekanan penerima jasa pekerjaan itu.

Selain itu, ujar H Samadi ST karena pekerjaan harus menggunakan alat berat, bisa dihitung berapa biaya operasional per unit eksavator dan boldozer setiap jam.

“Sebab, pelaksanaan pekerjaan terkait dengan waktu sehingga semua ada dasar aturannya. Tidak asal bekerja yang bisa diselenggarakan kapan saja, “ tegas dia.

Jujur

Samadi menekankan, jumlah alat berat yang diterjunkan ke lokasi untuk melaksanakan pekerjaan itu, tiap hari rata-rata 15 unit lebih kali berapa bulan. Dengan demikian, dalam menilai suatu pelaksanaan pekerjaan jasa seharusnya jangan hanya sekedar perhitungan subjektif dan jangan hanya menganggap sekedar berorientasi pada proyek.

Jika semua mau jujur, tutur H Samadi ST, untuk melakasanakan pekerjaan  normalisasi kali juwana itu tidak bisa mengerahkan ribuan pekerja dengan cangkul. Karena semua dikerjakan menggunakan alat berat, dalam menghitung biaya operasionalnya harus yang realistis.

Soal normalisasi harus diikuti penataan daerah aliran sungai (DAS), katanya, hal itu gampang diucapkan. Tapi praktiknya, selama ini banyak hambatan di lapangan. Salah satu diantaranya pola fikir masyarakat yang selama ini ada kecenderungan merusak daerah tangkapan air dikawasan hulu.

Akibatnya H Samadi ST, hutan yang seharusnya dilestarikan agar tidak terjadi penggundulan justru sebaliknya. Jika setiap kali DAS dilakukan penataan, perusakan warga pun mengikutinya. Dampak yang ditimbulkan adalah bukti kian sempit dan dangkal alur kali juwana.

Misalnya, ucapnya, pemerintah tidak melakukan normalisasi alur kali tersebut, maka limpasan air dari hulu sudah menggenangi area persawahan petani yang dapat tanaman padi, seperti di Kabupaten Kudus.

Apalagi, ungkap dia, jika normalisasi dampaknya dikaitkan dengan perahu nelayan, hal itu justru pernyataan asal asalan. Sebab, normalisasi mulai dari Desa Tluwah, Kedungpancing, Bumirejo, Doropayung, Kecamatan Juwana tidak bisa maksimal juga karena sikap warga.

Karena itu, soal tidak bisa menambatkan perahu, tentu hal lucu.

“Apalagi, banyak kapal penangkap ikan yang besar parkir di alur kali berada di hilir jembatan Juwana yang belum masuk tahapan normalisasi 2012 lalu,”tambah Samadi,(ad-57)

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda