SABAR: KUNCI KECERDASAN EMOSIONAL
Ada dua hal yang harus dilakukan manusia agar ia dapat memenangkan per-tempuran agung itu, yaitu shalat dan sabar. Minta tolonglah kamu (dalam jihad akbar ini) dengan melakukan shalat dan sabar, sesungguhnya itu berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (QS Al-Baqarah 45).
Ada sebuah buku yang harus kita baca untuk melatih kesabaran. Buku yang ditulis oleh Daniel Goleman itu berjudul Emotional Intelligence (1). Menurut Goleman, para psikolog telah melupakan satu bagian penting dalam jiwa manusia yang bernama emosi. Psikolog jarang membicarakan emosi, padahal emosi itu sangat menentukan kebahagiaan dan penderitaan manusia. Emosi juga melindungi manusia terhadap bebagai bahaya. Emosi adalah hasil perkembangan evolusi manusia yang paling lama, dan emosi terpusat pada salah satu bagian otak manusia di bawah sistem yang sudah berkembang dalam evolusi semenjak evolusi mamalia terjadi.
Emosi sangat mempengaruhi kehidup-an manusia ketika dia mengambil keputusan. Tidak jarang suatu keputusan diambil melalui emosinya. Tidak ada sama sekali keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasionya karena seluruh keputusan manusia memiliki warna emosional. Jika kita memper-hatikan keputusan-keputusan dalam kehidup-an manusia, ternyata keputusannya lebih banyak ditentukan oleh emosi daripada akal sehat.
Emosi yang begitu penting itu sudah lama ditinggalkan oleh para peneliti padahal kepada emosi itulah bergantung suka, duka, sengsara, dan bahagianya manusia. Bukan kepada rasio. Karena itulah Goleman meng-usulkan selain memperhatikan kecerdasan otak, kita juga harus memperhatkan kecerdas-an emosi. Ia menyebutkan bahwa yang menentukan sukses dalam kehidupan manusia bukanlah rasio tetapi emosi. Dari hasil peneliti-annya ia menemukan situasi yang disebut dengan when smart is dumb, ketika orang cerdas jadi bodoh. Ia menemukan bahwa orang Amerika yang memiliki kecerdasan atau IQ di atas 125 umumnya bekerja kepada orang yang memiliki kecerdasan rata-rata 100. Artinya, orang yang cerdas umumnya menjadi pegawai kepada orang yang lebih bodoh dari dia. Jarang sekali orang yang cerdas secara intelektual sukses dalam kehidupan. Malahan orang-orang biasalah yang sukses dalam kehidupan.
Lalu apa yang menentukan sukses dalam kehidupan ini? Bukan kecerdasan intelektual tapi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional diukur dari kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri. Dalam Islam, kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri disebut sabar. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi dalam kecerdasan emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan. Ketika belajar orang ini tekun. Ia berhasil mengatasi berbagai gangguan dan tidak memperturutkan emosi-nya. Ia dapat mengendalikan emosinya.
Di dalam buku itu, diceritakan betapa fatalnya orang yang tidak memiliki kecerdasan emosional. Seperti dalam kisah nyata berikut ini: Pada satu saat, ada seorang anak meminta izin kepada orang tuanya untuk menginap di tempat kawannya. Sementara anak itu pergi, orang tuanya pergi untuk menonton opera. Tak lama dari itu, si anak kembali ke rumah karena tidak betah tinggal di rumah temannya. Pada saat itu, orang tuanya masih menonton opera. Anak nakal itu mempunyai rencana. Ia ingin membuat kejutan untuk orang tuanya ketika pulang ke rumah pada waktu malam. Ia akan diam di toilet dan jika orang tuanya datang, ia akan meloncat dari toilet itu sambil berteriak. Beberapa saat kemudian, orang tuanya pulang dari opera menjelang tengah malam. Mereka melihat lampu toilet di rumahnya menyala. Mereka menyangka ada pencuri di rumahnya. Mereka masuk ke rumah perlahan-lahan sambil membuka pintu untuk segera mengambil pistol dan lalu mengendap naik ke atas loteng tempat toilet itu berada. Ketika sampai di atas, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari toilet itu. Ditembaklah orang yang berteriak itu sampai lehernya putus. Dua jam kemudian anak itu meninggal dunia.
Saya bisa bayangkan betapa menyesal-nya kedua orang tua itu. Mereka bertindak terlalu cepat. Mereka mengikuti emosi takut dan kekhawatirannya sehingga panca indranya belum sempat menyampaikan informasi yang lengkap tentang orang yang meloncat dan berteriak itu. Terjadi semacam Closed Circuit. Mestinya mereka menganalisis dulu. Mereka lihat siapa orang itu. Itu menunjukkan kurang terlatihnya kecerdasan emosional. Tidak terbiasa bersabar. Mereka memperturutkan emosinya dalam bertindak. Orang ini dikategori-kan sebagai orang yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah.
Sebenarnya teori Daniel ini dapat disimpulkan dalam peribahasa Arab: man shabara zhafara, barang siapa yang bersabar, ia akan sukses. Hal ini bisa dikaitkan bahwa orang yang sukses dalam hidupnya adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi atau orang-orang yang sabar. Keadaan ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sukses dengan kecerdasan. Kecerdasan emosional bisa dibentuk dengan melatih kesabaran dan tekun dalam menempuh perjalanan sabar. Seperti itulah seorang sufi yang menempuh perjalanan menuju Allah. Ia tempuh berbagai bencana tetapi ia tetap sabar. Itulah cara mengembangkan kecerdasan emosional.
Orang-orang yang cerdas secara emosional adalah orang yang sabar dan tabah dalam menghadapi berbagai cobaan. Ia tabah dalam mengejar tujuannya. Orang-orang yang bersabar menurut Al-Quran akan diberi pahala berlipat ganda di dunia dan akhirat: Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al-Baqarah 157). Ada beberapa pahala yang akan diperoleh bagi orang yang bersabar yaitu shalawat (keberkatan yang sempurna), rahmat, dan hidayat.
Ada tiga jenis kesabaran; Pertama, sabar dalam menghadapi musibah. Kedua, sabar dalam melakukan ibadah. Ketiga, sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat.
Sabar dalam menghadapi musibah pahalanya lebih besar. Bahkan menurut Al-Quran, pahalanya diberikan tanpa perhitungan: Allah beri pahala kepadanya tanpa perhitungan (Az-Zumar 10). Sabar dalam menjalankan ibadah pahalanya lebih besar daripada sabar dalam menghadapi musibah. Dan sabar dalam menahan diri akan melakukan maksiat pahalanya jauh lebih besar daripada dua jenis sabar yang lainnya.
***
Ada sebuah riwayat tentang kesabaran yang diceritakan dalam kitab Jihadun Nafs (2) karya Ayatullah Mazhahiri: Dimasa Rasulullah, ada perempuan yang memiliki anak kecil. Perempuan ini seorang muslimah. Ia tidak bisa membaca dan menulis tapi ia mukmin yang sejati. Imannya memenuhi jantung dan hatinya. Keimanannya dibuktikan dalam kesabaran ketika menghadapi ujian.
Suatu hari anaknya itu sakit sementara suaminya sedang berada di tempat jauh untuk bekerja. Ketika suaminya bekerja, si anak kecil itu meninggal dunia. Istri itu duduk di samping anaknya dan menangis sejenak. Ia terjaga dari tangisannya. Ia menyadari bahwa sebentar lagi, suaminya akan pulang. Ia bergumam, “Kalau aku menangis terus menerus di samping jenazah anakku ini, kehidupan tidak akan dikembalikan kepadanya dan aku akan melukai perasaan suamiku. Padahal ia akan pulang dalam keadaan lelah.” Kemudian ia meletakkan anaknya yang sudah meninggal itu pada suatu tempat.
Tibalah suaminya dari tempat kerjanya yang jauh. Ketika suaminya hendak masuk ke rumah, istri itu menyambutnya dengan senyum ramah. Ia sembunyikan kesedihan dan ia sambut suaminya dengan mengajaknya makan. Ia basuh kaki suaminya itu. Suaminya berkata, ”Mana anak kita yang sakit?” Istrinya menjawab, “Alhamdulillah ia sudah lebih baik.” Istri itu tidak berbohong karena anak kecilnya sudah berada di surga yang keadaannya jauh lebih baik. Istri itu terus berusaha menghibur suaminya yang baru datang. Ia ajak suaminya untuk tidur hingga terbangun menjelang waktu subuh. Sang suami bangun, mandi, dan shalat qabla subuh.
Ketika ia akan berangkat ke mesjid untuk shalat berjamaah, istrinya mendekat sambil berkata, “Suamiku aku punya keperluan.” “Sebutkanlah,” kata suaminya. Sang istri menjawab, “Kalau ada seseorang yang menitipkan amanat kepada kita, lalu pada saatnya orang itu mengambil amanat tersebut dari kita, bagaimana pendapatmu kalau amanat itu kita tahan dan kita tidak mau memberikan kepadanya?” Suaminya men-jawab, “Pastilah aku menjadi suami yang paling buruk akhlaknya dan khianat dalam beramal. Itu merupakan perbuatan yang sangat tercela. Aku wajib mengembalikan amanat itu kepada pemiliknya.” Lalu istrinya berkata, “Sudah tiga tahun, Allah menitipkan amanat kepada kita. Hari kemarin, dengan kehendak-Nya, Allah mengambil amanat itu dari kita. Anak kita sekarang sudah meninggal dunia. Ia ada di kamar sebelah. Sekarang berangkatlah engkau dan lakukanlah shalat.” Suaminya pergi ke kamar untuk menengok anaknya yang telah meninggal.
Ia lalu pergi ke masjid untuk shalat berjamaah di masjid Nabi. Pada waktu itu Nabi menjemputnya seraya berkata, “Diberkatilah malam kamu yang tadi itu.” Malam itu adalah malam ketika suami istri itu bersabar dalam menghadapi musibah.
Dari cerita itu kita dapat menangkap bagaimana sang istri memperlakukan suami dengan sabar dan suami memperlakukan istri dengan sabar pula. Dalam istilah modern, kedua suami istri itu memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Biasanya keluarga seperti ini bisa bertahan lama.
***
Ada suatu riwayat lain tentang kesabaran: Dahulu di zaman Harun Al-Rasyid, terdapat seorang perdana menteri yang bernama Al-Asma’i. Suatu hari, ia pergi berburu ke padang pasir. Di satu tempat ia terpisah dengan kafilahnya. Ketika itu ia berada di tengah-tengah sahara dalam keadaan kehausan dan kepanasan. Lalu ia melihat ada sebuah kemah di tengah-tengah padang sahara. Ia berjalan mendekati kemah dan ia melihat di kemah itu ada seorang perempuan muda yang sangat cantik.
Perempuan itu sendirian. Ketika perempuan itu melihat Al-Asma’i mendekati kemah, ia mempersilahkannya untuk masuk ke kemahnya dan menyuruhnya untuk duduk di tempat yang agak jauh darinya. Al-Asma’i berkata kepadanya, “Tolong beri aku air minum.” Wajah perempuan itu berubah, ia berkata, “Sungguh, aku tidak bisa memberikan air kepadamu sebab suamiku tidak mengizin-kanku untuk memberikan air kepada orang lain. Tapi aku punya bagian makan pagiku yaitu susu. Aku tidak makan dan kau boleh meminumnya.” Lalu Al-Asma’i meminum susu itu dan perempuan itu tidak berbicara kepadanya.
Tiba-tiba ia melihat perempuan itu berubah wajahnya. Dari jauh ia melihat ada titik hitam mendekati kemah. Perempuan itu berkata, “Suamiku telah datang.” Perempuan cantik itu membawa air dan pergi keluar dari kemahnya. Ternyata suaminya yang datang itu adalah orang yang hitam, tua, dan berwajah jelek. Perempuan itu membantu kakek tua dari untanya lalu ia basuh dua tangan dan kaki suaminya dan dibawanyalah masuk ke dalam kemah dengan penuh penghormatan. Kakek tua itu sangat buruk akhlaknya. Ia tidak menegur sedikit pun kepada Al-Asma’i. Ia mengabaikan tamu dan memperlakukan istrinya dengan kasar. Al-Asma’i sangat benci kepadanya. Ia berdiri dari tempat duduknya dan pergi keluar kemah.
Perempuan itu mengantarkan Al-Asma’i keluar. Saat itu, Al-Asma’i bertanya kepadanya, “Saya menyesalkan keadaanmu. Kamu, dengan segala kemudaan dan kecantikanmu, sangat bergantung kepada orang seperti dia. Untuk apa kamu bergantung kepada dia? Apakah karena hartanya? Sedangkan ia orang miskin. Atau karena akhlaknya? Sedangkan akhlaknya begitu buruk. Atau kamu tertarik kepada dia karena ketampanannya? Padahal ia seorang tua yang buruk rupa. Mengapa kamu tertarik padanya?”
Wajah perempuan itu pucat pasi. Lalu ia berkata dengan suara yang sangat
keras, “Hai Asma’i! Akulah yang menyesalkan kamu. Aku tidak menyangka
seorang perdana menteri Harun Al-Rasyid berusaha menghapuskan
kecintaanku kepada suamiku dari hatiku dengan jalan menjelek-jelekkan
suamiku. Wahai Asma’i tidakkah kau tahu mengapa aku melakukan semua itu?
Aku mendengar Nabi yang mulia bersabda: Iman itu setengahnya adalah kesabaran dan setengahnya lagi adalah syukur.
Aku bersyukur kepada Allah karena Ia telah menganugerahkan kepadaku
kemudaan, kecantikan, dan akhlak yang baik. Aku ingin menyempurnakan
setengah imanku lagi dengan kesabaran dalam berkhidmat kepada suamiku.”
Jadi, perempuan di atas ingin menyempurnakan setengah keimanannya dengan
kesabaran setelah ia bersyukur akan kemudaan, kecantikan, dan kebaikan
akhlak-nya. Ia bersabar dengan jalan mengabdikan seluruh hidupnya kepada
suaminya. Jika ada orang yang bersyukur tapi ia tidak bisa bersabar,
imannya tidak sempurna. Karena ia kehilangan setengah imannya yang lain.
Hadis ini jangan dipandang dalam perspektif kaum feminis. Tapi
pandanglah sebagai kecintaan seorang istri yang dengan sabar berkhidmat
kepada suaminya.
Menurut Goleman, ketika kita meng-hadapi kesusahan, salah satu cara
untuk mengatasinya adalah dengan melihat kembali persoalan itu dari
sudut yang lain. Maksudnya, cobalah kita pahami dan tafsirkan persoalan
itu secara seksama. Carilah perspektif lain dalam memandang berbagai
masalah itu. Karena itu akan membawa kita kepada kondisi yang lebih kuat
dalam menghadapi musibah.
Allah swt menyediakan tiga pahala bagi mereka yang bersabar: kesejahteraan di dunia dan akhirat, rahmat dan kasih sayang Allah, dan petunjuk dalam menghadapi berbagai kesulitan yang dihadapinya. (lihat QS. Al-Baqarah 155-157).
1. Goleman, Daniel, Emotional Intelligence, Bantam Books, USA, 1996.
2. Al-Ustadz Mazhahiri, Jihad al-Nafs, Al-Mahijjah Al-Baidha. Beirut, 1993, hal. 69-70.
Manusia adalah maujud yang mencintai dan selalu mencari kesempurnaan mutlak. Secara fitrah, ia terdorong untuk mencarinya namun manusia sering salah jalan dan tersesat. Syaikh Al-Akbar, Ibn ‘Arabi mengatakan: Tak seorang manusia pun yang mencintai selain Tuhannya. Misalnya Majnun mengira dirinya mencintai Laila. Majnun tidak tahu dan tidak menyadari apa yang sesungguhnya terpendam dalam fitrahnya.
Naluri dan Fitrah
Seseorang tidak bisa dicela karena mencintai isterinya atau anaknya atau
bahkan harta kekayaannya. Cinta seperti itu adalah naluri yang lumrah
dan wajar (lihat QS. Ali Imran 14). Binatang pun memiliki naluri
kecintaan seperti ini yang terwujud dari sifat ke-Rahman-an Allah.
Karena itulah, orang yang mengorban-kan keluarga dan anak-anak yang dicintainya dipandang sebagai kekasih Allah.
Nabi Ibrahim as bersedia mengorban-kan anaknya, Ismail as betapa pun besar ke-cintaannya kepadanya. Sekiranya perasaannya terhadap anaknya sama dengan perasaannya terhadap seekor kambing, maka kesediaannya untuk mengorbankan anaknya tidaklah dinilai sebagai suatu keistimewaan; karena dalam pandangannya hal itu sama dengan mengor-bankan seekor kambing.
Demikian pula tindakan Sayyidus Syuhada, Imam Husein yang mengorbankan anak-anak, saudara, dan kaum kerabatnya di jalan Allah swt. Imam Husein dikenal sangat mencintai keluarganya. Kakeknya bersabda: Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, Allah tidak akan menaruh cinta kasihnya kecuali atas hati yang memiliki cinta kasih.
Cinta Yang Membelenggu
Jika kecintaan seseorang tumbuh dan menjadi berlebihan, maka kecintaan
yang seperti inilah yang tercela. Kecintaan kepada yang nisbi dan fana
secara berlebihan adalah bertentangan dengan fitrah manusia.
Plato mengatakan: Manusia pada mulanya akan mengejar setiap yang diinginkan dan dicintainya dengan dambaan dan harapan yang luar biasa. Namun ketika yang dicintainya itu sudah didapatkan, maka kecintaan dan kesukaannya akan segera berubah menjadi kebosanan dan kejenuhan.
Manusia tidak dapat selalu bersama dengan sesuatu yang fana. Karenanya, apabila manusia mencintai sesuatu yang nisbi secara berlebih-lebihan, maka cintanya ini tidak saja membutakannya, bahkan membelenggunya. Tak sadar ia telah menjadi budak dari kecinta-annya itu.
Cinta Yang Membebaskan
Sebaliknya, cinta yang mengikuti fitrah manusia akan membebaskannya atau
dengan kata lain telah menjadikannya merdeka dan terbebaskan. Imam Ali
as mengatakan: Manusia di dunia ini terbagi menjadi dua. Yang pertama
adalah mereka yang datang ke pasar dunia ini dan menjual dirinya hingga
menjadi budak. Yang kedua adalah mereka yang membeli dirinya di pasar
dunia dan menjadikannya merdeka. (Kitab Nahjul Balaghah).
Manusia yang menjatuhkan pilihan cintanya kepada Allah melebihi segala-galanya adalah manusia yang merdeka dan terbebas-kan. Ia menjadi tercerahkan. Manusia pecinta Tuhan tidak bisa didikte apalagi dibeli oleh harta bahkan kekuasaan sekali pun. Cinta yang membebaskan bukanlah cinta yang muncul dari perasaan-perasaan sentimental.
Cinta seperti inilah yang juga dimiliki oleh Uwais Al-Qarny, salah seorang sufi yang mencintai keluarga Nabi saw. Banyak hadis Nabi yang menyebutkan keutamaannya. Uwais adalah seorang yang hidup di zaman Nabi saw tetapi tidak pernah berjumpa dengan Nabi saw. Di dalam hadis Shahih Muslim, Nabi saw memujinya. Nabi bahkan menyuruh sahabat Umar bin Khaththab untuk memintakan doa kepada Uwais agar dosanya diampunkan Allah. Dalam akhir hadis tersebut diriwayatkan ketika Uwais setelah mendoakannya, Umar bertanya kepadanya, “Engkau hendak ke mana?” Uwais menjawab, “Ke Kufah.” Umar menawarkan surat katebelece kepadanya, “Apa tidak lebih baik kalau saya tulis surat berkenaan dengan engkau kepada Gubernur Kufah?” Uwais menolaknya dan berkata, “Saya lebih menyukai keadaan saya tidak dikenal orang.”
Mengenai keutamaan Uwais ini, Nabi saw pernah mengatakan tentangnya, “Dia tidak dikenal di bumi tetapi terkenal di langit.” Uwais adalah contoh seorang pecinta yang memiliki jenis cinta yang membebaskan. Cinta yang membuatnya tidak terikat kepada hal-hal duniawi. Cinta yang melepaskannya ke arah tujuan tercinta, Allah swt.
Alkisah, ada seorang sufi berkunjung kepada temannya yang juga sufi. Temannya itu kebetulan sedang sakit dan ia mengeluh tentang sakit yang dideritanya. Sufi yang datang menengok itu berkata, “Bukan seorang pencinta sejati bila ia mengeluhkan penyakit yang diberikan oleh kekasihnya.” Lalu sufi yang sakit itu menjawab, “Bukan seorang pecinta sejati bila ia tidak menikmati pemberian kekasih sejati.”
Dari cerita di atas kita dapat menarik pelajaran berharga bahwa hendaknya kita harus merubah persepsi tentang sakit yang pernah kita alami. Persepsi kita selama ini adalah menganggap sakit itu sebagai suatu penderitaan yang diberikan Allah kepada kita. Dari anggapan ini kita berkesimpulan bahwa Allah tidak mencintai kita lagi. Sikap yang bijak adalah menikmati keindahan sakit seperti yang dialami sufi tadi. Menikmati bukan berarti berdiam, pasrah tanpa tindakan, tapi merenung lebih dalam akan hakikat sakit yang diberikan oleh Allah. Proses perenungan ini akan meng-hasilkan nilai atau pandangan yang akan mendatangkan kenikmatan bagi kita. Dan kita akan tahu betapa nikmatnya merasakan cinta Allah dalam bentuk sakit.
Sufi itu juga mengajarkan kepada kita hendaknya tabah dalam menerima cobaan Allah. Penderitaan akan mengantarkan kita kepada posisi mendekati Allah dan membuka pintu kasih sayang Allah. Bukankah Imam Ja’far As-Shadiq as pernah berkata, ”Kalau seseorang berada dalam kesedihan, bergegaslah berdoa. Karena pada saat itulah Allah akan mengijabah doa orang itu.”
Rahmat Allah datang dan mendekat ketika kita sedang didera derita. Timpaan derita perlahan-lahan akan membuat hati kita menjadi lebih lembut dan dekat dengan Allah. Jika pada kondisi seperti ini kita berdoa, insya Allah Tuhan membuka pintu ijabah-Nya.
Kadang kita tidak tahan dengan penderitaan yang menimpa. Kita tidak sabar sehingga kita menganggap Allah tidak adil. Kita mencerca Allah dan berkata Allah sedang menjauhkan kasih sayang-Nya dari kita. Dalam ilmu jiwa, kita ini disebut sebagai orang yang memiliki kecedasan emosional yang rendah. Kesabaran atau emosi kita lemah. Kita tuding Allah dengan emosi kekesalan. Kita tidak menilai Allah dengan kelembutan cinta dan hati yang bersih. Tidak tahukah kita bahwa kasih sayang dan keadilan Allah sungguh lebih besar dari kasih sayang seorang ibu kepada anaknya?
Pernah suatu hari Rasul bersama para sahabat dalam perjalanan kembali dari perang melihat seorang ibu lari menyeruak ke tengah-tengah bekas pertempuran. Ia gelisah, di wajah-nya tersimpan kekhawatiran yang mendalam. Ia sedang mencari putranya. Ia berlari dihadang debu yang beterbangan disapu angin. Akhirnya ia menemukan putranya itu. Ia dekap putranya dengan kerinduan dan kecemasan. Diberinya-lah air susu. Matahari menyengat panas mengenai kulit anak itu. Dengan perlahan ibu itu menggerakkan tubuhnya, ia hadang sengatan matahari itu dengan punggungnya. Rasul menyaksikan kejadian itu, lalu ia berkata pada sahabat yang lain, “Lihat betapa sayangnya ibu itu kepada anaknya. Mungkin-kah ibu itu melemparkan anaknya ke api neraka?” Para sahabat menjawab, “Tidak mungkin, Ya Rasulallah.” Lalu rasul berkata, ”Kasih sayang Allah jauh lebih besar dari kasih sayang ibu itu.”
Rasul pernah didatangi oleh seorang sahabat. Ia berkata,”Ya Rasulallah harta saya hilang dan tubuh saya sakit.” Lalu Nabi berkata, ”Tidak ada baiknya orang yang tidak pernah hilang hartanya dan sakit badannya. Sesung-guhnya jika Allah mencintai hambanya ia akan coba hambanya dengan berbagai penderitaan.” Orang yang pernah kehilangan dan kesakitan menurut Rasul ada nilai kebaikan di dalamnya. Kebaikan bisa berarti akan tambah lembutnya hati dan mengantarkan kita untuk terus berdoa. Allah berfirman, ”Rintihan seorang mukmin lebih disukai Allah daripada gemuruh suara tasbih.”
Setiap saat kita mengalami penderitaan atau memerlukan sesuatu pada Allah. Doa adalah sarana utama untuk mencapai dan mengangkat keinginan kita itu. Jika kita menyelidiki doa-doa dalam wacana kehidupan manusia, ada keterkaitan yang erat antara doa dengan penderitaan.
Doa juga memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri ini menjadikan doa memiliki jenis atau tingkatan tertentu. Di sisi lain jenis doa menunjukkan tingkat perkembangan ruhani seseorang. Jenis doa itu adalah: Pertama, doa yang paling rendah tingkatannya yaitu doa yang berisi tentang sesuatu yang berhubungan dengan diri manusia yang sifatnya khusus. Seperti doa: Ya Allah kayakan aku, sehatkan badanku, dan bukakan pintu keberuntungan untukku. Isi doa itu berkenaan dengan kepentingan pribadi. Biasanya doa jenis ini bercirikan adanya kalimat perintah kepada Allah agar Dia berkhidmat kepadanya. Kebanyakan di antara kita menerapkan jenis doa seperti ini. Doa ini secara langsung mengidentifikasi tingkat ruhani kita yang masih rendah. Kita letakkan kepentingan kita di atas segalanya di hadapan Allah. Kita lupa bahwa mengagungkan Allah jauh lebih penting didahulukan daripada kepentingan pribadi.
Jenis doa yang kedua, adalah jenis doa yang menunjukan adanya pengakuan kehinaan diri dan mengagungkan Allah. Jenis ini seperti doa Nabi Yunus: Tiada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. (QS. Al-Anbiya 87) dan doa Nabi Adam: Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Al-Araf 23)
Doa jenis ketiga, adalah doa yang menunjukkan adanya cinta kasih hamba kepada Allah. Doa ini dipenuhi oleh jeritan rindu hamba kepada kekasihnya. Doanya berisi penyerahan total segala curahan jiwa yang ia khususkan untuk Allah saja. Jenis doa ini, seperti yang kita ketahui, banyak dilantunkan oleh bibir-bibir suci Ahli Bait Nabi. Simaklah doa Imam Zainal Abidin dalam Shahifah Sajjadiyyah, pada Doa Penempuh Jalan Tarikat: Ya Allah, untuk-Mu saja segala tercurah himmah-ku. Kepada-Mu jua terpusat hasratku. Engkaulah hanya tempat kedambaanku, tidak yang lain. Karena-Mu saja aku tegak terjaga, tidak karena yang lain. Perjumpaan dengan-Mu kesejukan hatiku. Pertemuan dengan-Mu kecintaan diriku. Kepada-Mu kedambaanku. Pada cinta-Mu tumpuanku. Pada kasih-Mu seluruh rinduku.
Isi doa di atas menunjukkan betapa kepentingan pribadi ia letakkan pada
tempat yang paling bawah dari kerinduan cinta dan keagungan kekasihnya,
Allah swt. Jelaslah bahwa orang seperti dia maqam ruhaninya sangat dekat dengan Allah.
Jenis doa kedua dan ketiga terkadang menyatu dalam satu doa. Di dalamnya
menunjukkan adanya pengakuan kelemahan dan kehinaan diri, pengagungan
kepada kekasihnya, dan cinta kasih seorang hamba yang ia khususkan tidak
kepada selain Allah. Hal ini dapat dilihat lagi dalam doa Imam
As-Sajjad dalam Shahifah Sajjadiyyah: Ya Allah, kepada-Mu
terpaut hati yang dipenuhi cinta. Untuk mengenal-Mu dihimpunkan semua
akal yang berbeda. Tidak tenang kalbu kecuali dengan mengingat-Mu. Tidak
tenteram jiwa kecuali dengan memandang-Mu. Engkaulah yang ditasbihkan
di semua tempat, yang disembah di setiap zaman, yang maujud di seluruh
waktu, yang diseru oleh setiap lidah, yang dibesarkan dalam setiap hati.
Ada orang di antara kita yang tidak pernah merasa menderita. Ia malu
mengakui penderitaannya di hadapan Allah. Ia merasa cukup akan keadaan
dirinya. Bahkan ia tidak menyeru Allah dalam kondisi yang
meng-khawatirkannya. Biasanya orang seperti ini hatinya keras membatu.
Orang seperti ini kalau berdoa tidak akan pernah khusyuk karena dirinya
selalu merasa cukup. Sikap yang paling baik adalah membiasakan diri kita
untuk mengakui kelemahan kita di hadapan-Nya dan belajar untuk lebih
dekat merasakan penderita-an orang-orang yang lapar, tertindas, yatim
piatu, dan orang yang terpenjara karena menegakkan amar makruf nahi munkar.
Melalui proses belajar inilah kita akan diantar ke arah lembutnya hati,
yang ketika berdoa Allah akan membuka pintu ijabah-Nya. Kita raih cinta
Allah lewat belajar berempati agar ketika kita berdoa, kita dapat
mengucapkan: Ya Allah, jadikanlah aku pecinta sejati kepada-Mu. Bukalah
tabir penutup cintaku pada-Mu dengan ampunan-Mu.
Kita berucap seperti ucapan yang ditulis dalam syair Ibnu Farid:
Bila aku mati karena cintanya, aku hidup
karena dia.
Lewat penyangkalan diri dan
melimpahnya kemiskinanku.
Inilah cinta, nafsuku bukan benda nyata.
Dan ia yang fana mesti memilih-nya jika
sedang tergila-gila.
Hidup adalah lamunan bebas, bagi cinta
adalah duka.
Mula-mula terasa sakit, lalu mati,
namun maut adalah milik nafsu cinta.
Ia hidup dimana kekasihku melimpahkan
berkah sebagai rahmat.
Jika perpisahan adalah upah yang
kuperoleh darimu.
Dan tiada jarak lagi antara kita,
kau sebut perpisahan sebagai persatuan.
Tiada penolakan selain cinta,
selama kau tak membencinya.
Dan rasa enggan, kesukaran apa pun
akan mudah dipikul.
Derita yang menyiksa kita terasa nikmat.
Ketakadilan yang diperbuat cinta adalah keadilan dan kesabaranku,
tanpa kau dan denganmu akan
menjadikan yang pahit terasa manis
bagiku.
Melihat tingkatan jenis doa di atas kita akan tahu dimana posisi kita. Karena dengan indikasi doa di atas, kita akan mengenal di mana tingkatan ruhani kita yang sedang kita pijak. Doa menunjukkan tingkat seseorang dalam mengembangkan potensi ruhani mendekati Allah. Jika seseorang sudah dapat mengembangkan potensi ruhaniahnya dengan baik, dengan menempatkan doa kita sebagai curahan kerendahan diri serta pengakuan akan keagungan Allah, maka cinta Allah akan mudah kita capai karena tingkat ruhani kita mengarah kepada-Nya lebih dekat. Dengan kata lain perlakukanlah Allah dengan doa-doa yang akan menebarkan cinta-Nya kepada kita.
sumber ilustrasi gambar: indraelbekhasi.wordpress.com