Diplomasi Klaim Budaya
Pertama; pola yang terjadi sebagaima-na kasus sebelumnya, seperti klaim terhadap tari pendet, kesenian reog, batik, alat musik angklung, dan lainnya adalah akibat migrasi WNI ke luar negeri dengan membawa dan mengekspresikan budaya mereka di tanah baru. Ekspresi itu tentu saja sah, bahkan membanggakan karena menunjukkan ma-sih terkaitnya mereka dengan budaya Indonesia. Namun perlu diwaspadai jika ada langkah agresif negara lain dalam mengakomodasi ekspresi budaya itu untuk diklaim sebagai miliknya, seakan-akan ingin menunjukkan diri sebagai Melayu sejati. Ketegasan Pemerintah Karena itu, langkah serius yang perlu dilakukan juga bisa dimulai dari kebijakan makro seperti dalam perspektif ekonomi dengan menyediakan ruang/ peluang hidup yang nyaman bagi warga negara ataupun bagi ekspresi budaya. Langkah-langkah nyata dalam pelestarian dan pewarisan budaya harus menjadi bagian integral dari politik budaya na-sional. Kedua; sebagai langkah lanjutan, penegasan kepemilikan menjadi penting dilakukan. Kita bisa memulainya melalui ”pembukuan” agar ada database yang komprehensif terhadap aneka budaya kita. Kita patut mengapresiasi langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Komite Warisan Budaya Nasional yang tengah menggodok konsep registrasi budaya nasional, meskipun ada catatan dan beberapa kritik. Setelah terdata, semua harus ditegaskan melalui penyebutan dalam publikasi resmi cetak dan elektronik pemerintah, pameran, dan promosi budaya di luar negeri, hingga pendaftaran ke lembaga internasional seperti UNESCO. Sebagai contoh dalam sidang 29 Juni mendatang, badan di bawah PBB ini akan membahas 24 usulan aset warisan budaya dunia, termasuk salah satunya tentang subak (sistem irigasi sawah di Bali). Menurut Wakil Mendikbud hingga kini UNESCO sudah mengakui 13 warisan budaya Indonesia. Ketiga; jika terjadi klaim kepemilikan maka perlu langkah bilateral mela-lui protes diplomatik, atau langkah multilateral melalui forum internasional. Jika tahun 2009 pidato Presiden SBY menyindir, menyiratkan ketidaksenangannya atas klaim-klaim budaya Malaysia maka sudah saatnya ekspresi dipomatik itu ditingkatkan dalam dosis yang lebih tinggi. Butuh pemahaman sejarah dan penyediaan bukti-bukti hukum yang memadai untuk menghadapi pengelakan dan bantahan Malaysia. Semua pihak dan lini harus bersama-sama melakukan diplomasi total, dari dunia maya hingga langkah nyata. Hanya, ujung tombaknya tetap pada ketegasan pemerintah dalam komando diplomasi. (10) — Andi Purwono, dosen Hubungan Internasional, Dekan FISIP Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang gambar :http://masfebri.web.id