Penulis Buku Dikuasai Nonsantri

Demikian disampaikan cendekiawan muslim Ulil Abshar Abdalla dalam seminar bertema "Meneruskan Tradisi Menulis di Pesantren" di pendapa Kebupaten Pati, Minggu (27/3). Acara tersebut juga menghadirkan sastrawan yang juga wartawan Suara Merdeka, Triyanto Triwikromo.

Ulil menjelaskan, sejak dulu para tokoh Islam lekat dengan tradisi menulis, termasuk pesantren. Namun, produktivitasnya saat ini lebih dominan kalangan perguruan tinggi daripada pesantren.

Dia mencontohkan tokoh Islam, Fahrudin Arrazi, yang hidup pada sekitar abad XIII. Hampir semua dialog dan debat dengan para ulama dari berbagai daerah selalu ditulis dan dibukukan oleh Fahrudin sehingga bermanfaat bagi generasi berikutnya.

Adapun untuk tokoh nasional, dia mengambil sampel eyang mertuanya, KH Bisri Mustofa. Kegemaran Ayah dari KH Mustofa Bisri (Gus Mus) itu membuat catatan kecil sebelum mengajar santrinya berbuah kitab fenomenal, yakni tafsir Alquran Al Ibris yang sampai saat ini masih laku keras dan menjadi rujukan penting.
Tergugah

Dalam diskusi yang dimoderatori pengurus Rabithoh Ma'ahid Islamiyah (RMI) Cabang Pati Jamal Makmur Asmani itu, Ulil berharap santri diseluruh Indonesia lebih tergugah untuk mengubah kondisi saat ini. Dengan begitu, dapat melanjutkan tradisi kiai pesantren terdahulu yang lekat dengan dunia kepenulisan dan mampu melampaui produktivitas penulis dari kalangan perguruan tinggi.

Triyanto Triwikomo menekankan kepada para santri dan pelajar yang hadir dalam seminar hasil kerja sama RMI Pati, Suara Merdeka, dan Diva Press itu, menulis adalah tugas eksistensialis, historis, dan teologis manusia. Eksitensialis menunjukkan keberadaan seseorang, historis adalah bukti sejarah, dan teologis merupakan bagian dari nilai ibadah.

Ketiga tugas tersebut perlu didukung dengan semangat kegembiraan kreatif. Tanpa ada unsur kesenangan, tidak akan menghasilkan teks tulisan yang baik.

Selain itu, dia juga mengingatkan untuk tetap "mengintip" ilmu sastra dalam karya tulisan, meskipun tidak menjadi patokan utama dalam setiap penulisan.

"Ilmu sastra dijadikan pembanding, bukan patokan utama dalam menulis. Yang terpenting, berani mencoba dan memunculkan semangat kegembiraan," tandasnya.

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda