Memartabatkan Pekerja Sampah
Pertama, secara nasional tidak pernah ada kehirauan melalui political will yang sungguh-sungguh untuk memperjuangkan dan melindungi mereka. Negara ini tidak punya regulasi yang menghargai profesi mereka secara beradab.
Kedua, ketika sampah menjadi persoalan maka yang diributkan (di kota manapun di republik ini) adalah ketakutan akan adanya ancaman wabah penyakit yang akan menyerang kita, dan tidak mempersoalkan ancaman berbagai penyakit yang setiap hari dihadapi oleh para pekerja sampah.
Ketiga, pemerintah dan kita sesungguhnya dapat dan bisa berbuat untuk memanusiawikan mereka tetapi karena kita "belum pernah" menjadi pekerja sampah maka kita tidak pernah berempati dan memiliki rasa altruisme terhadap mereka. Bahkan banyak dari kita yang telanjur menganggap "jijik" terhadap jenis pekerjaan ini sebagaimana kita jijik terhadap sampah. Sebuah cara pandang yang terlalu bodoh ketika kita alpa bahwa pekerja sampah juga manusia. Mereka bukan binatang apalagi sampah.
Keempat, tidak usah heran kalau persoalan sampah akan terus menjadi problem serius setiap saat selama pemerintah tidak pernah terlebih dahulu mengurus pekerja sampahnya sebagai manusia, sebab selama ini pemerintah lebih sibuk bagaimana mengurusi sampah (sebagai benda mati) ketimbang mengusrusi mahluk hidup yang bernama pekerja sampah.
Sangat memilukan posisi tawar para pekerja sampah di hadapan siapapun apalagi di hadapan para pengambil kebijakan. Oleh karena itu, tidak terlalu salah kalau ada tesis yang menyatakan bahwa kualitas martabat pekerja sampah merupakan cermin sebenarnya dari tingkat peradaban para pengambil kebijakan.
Sebetulnya, jika pemerintah mau, artinya jika para pengambil kebijakan yang terkait dengan persoalan itu mau memartabatkan para pekerja sampah, tentu bisa dilakukan. Pemerintah sama sekali tidak memiliki alasan untuk tidak memperhatikan mereka. Aneka hasil kajian bagaimana mengelola sampah sudah sedemikian banyak. Cukup banyak pula pihak, institusi, para ahli, yang memberikan kontribusi pemikirannya untuk mencarikan solusi bagi persoalan yang satu ini.
Memang, produksi sampah di tiap keluarga harus ditekan seminimal mungkin, selain sampah harus dipilah terlebih dahulu; mana yang bisa didaur ulang mana yang tidak, mana organik, mana nonorganik, yang paling mungkin adalah setiap keluarga mengelola sampahnya sendiri-sendiri. Akan tetapi karena kita cenderung ingin terima jadi, inginnya nyaman dan bersih tetapi tidak mau tahu soal konsekuensi dari semua itu. Salah satu konsekwensi dari "ingin terima bersih dan nyaman" tiada lain adalah mulailah dengan tindakan memanusiakan para pekerja sampah sebagai gerakan sosial, jangan terlampau menunggu pemerintah.***
Penulis, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Unpad.
Opini PIkiran Rakyat 31 Agustus 2010
Read more: http://artikel-media.blogspot.com/2010/08/memartabatkan-pekerja-sampah.html#ixzz0ynumnflD
Kedua, ketika sampah menjadi persoalan maka yang diributkan (di kota manapun di republik ini) adalah ketakutan akan adanya ancaman wabah penyakit yang akan menyerang kita, dan tidak mempersoalkan ancaman berbagai penyakit yang setiap hari dihadapi oleh para pekerja sampah.
Ketiga, pemerintah dan kita sesungguhnya dapat dan bisa berbuat untuk memanusiawikan mereka tetapi karena kita "belum pernah" menjadi pekerja sampah maka kita tidak pernah berempati dan memiliki rasa altruisme terhadap mereka. Bahkan banyak dari kita yang telanjur menganggap "jijik" terhadap jenis pekerjaan ini sebagaimana kita jijik terhadap sampah. Sebuah cara pandang yang terlalu bodoh ketika kita alpa bahwa pekerja sampah juga manusia. Mereka bukan binatang apalagi sampah.
Keempat, tidak usah heran kalau persoalan sampah akan terus menjadi problem serius setiap saat selama pemerintah tidak pernah terlebih dahulu mengurus pekerja sampahnya sebagai manusia, sebab selama ini pemerintah lebih sibuk bagaimana mengurusi sampah (sebagai benda mati) ketimbang mengusrusi mahluk hidup yang bernama pekerja sampah.
Sangat memilukan posisi tawar para pekerja sampah di hadapan siapapun apalagi di hadapan para pengambil kebijakan. Oleh karena itu, tidak terlalu salah kalau ada tesis yang menyatakan bahwa kualitas martabat pekerja sampah merupakan cermin sebenarnya dari tingkat peradaban para pengambil kebijakan.
Sebetulnya, jika pemerintah mau, artinya jika para pengambil kebijakan yang terkait dengan persoalan itu mau memartabatkan para pekerja sampah, tentu bisa dilakukan. Pemerintah sama sekali tidak memiliki alasan untuk tidak memperhatikan mereka. Aneka hasil kajian bagaimana mengelola sampah sudah sedemikian banyak. Cukup banyak pula pihak, institusi, para ahli, yang memberikan kontribusi pemikirannya untuk mencarikan solusi bagi persoalan yang satu ini.
Memang, produksi sampah di tiap keluarga harus ditekan seminimal mungkin, selain sampah harus dipilah terlebih dahulu; mana yang bisa didaur ulang mana yang tidak, mana organik, mana nonorganik, yang paling mungkin adalah setiap keluarga mengelola sampahnya sendiri-sendiri. Akan tetapi karena kita cenderung ingin terima jadi, inginnya nyaman dan bersih tetapi tidak mau tahu soal konsekuensi dari semua itu. Salah satu konsekwensi dari "ingin terima bersih dan nyaman" tiada lain adalah mulailah dengan tindakan memanusiakan para pekerja sampah sebagai gerakan sosial, jangan terlampau menunggu pemerintah.***
Penulis, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Unpad.
Opini PIkiran Rakyat 31 Agustus 2010
Read more: http://artikel-media.blogspot.com/2010/08/memartabatkan-pekerja-sampah.html#ixzz0ynumnflD
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda