Mengatasi Banjir dengan Kearifan Tradisional

Siklus Tertutup

Dalam teori hidrologi dikenal istilah siklus tertutup di mana dalam kurun waktu tertentu secara global sesungguhnya perputaran air adalah tetap dalam jumlah yang konstan. Bermula dari penguapan air di sungai, danau, dan lautan kemudian berubah menjadi awan lalu terjadi peristiwa presipitasi/hujan yang turun ke bumi. Di bumi air tersebut ada yang langsung menguap, ada yang terus mengalir menuju sungai dan bermuara di lautan lepas, dan ada juga yang masuk melalui pori-pori bumi mengisi kandungan air tanah.

Pada kondisi alami/naturalis, di mana alam memiliki kemampuan menyerap air layaknya sebuah spon, jumlah air yang masuk ke bumi lebih besar atau sama dengan jumlah air yang terus mengalir menuju laut lepas. Sehingga bukan saja alam berhasil mereduksi potensi timbulnya banjir tapi juga makin memperkaya kandungan air di dalam bumi.

Artinya, jika alam tidak/kurang mampu menyerap air hujan niscaya banjir makin membabi buta. Lalu, karena minimnya air yang meresap ke bumi jadilah kandungan air tanah pun lambat laun makin berkurang. Sehingga, di sini berlaku hubungan relasi yang berbanding lurus di mana makin dahsyat bencana banjir terjadi di musim hujan berarti kekeringan pun akan makin dahsyat pula terjadi di musim kemarau.

Sebagai catatan dari beberapa penelitian oleh Suripin dan Kodoatie tahun 2000 diperoleh kondisi keseimbangan air Indonesia sebagai berikut: volume air di udara yang jatuh sebagai hujan adalah 3.034.420 juta m®MDSU¯3/tahun (100%) tatkala tiba di bumi terdistribusi ke dalam 3 bagian besar yaitu; 1) Aliran mantap: tertampung di waduk, sungai, danau, daerah konversi, air tanah, cekungan, dll; 758.605 juta m®MDSU¯3/tahun (25%), 2) Kebutuhan domestik dan pertanian; 103.062 juta m3/tahun (3%), dan 3) Terbuang sia-sia langsung ke laut atau menyebabkan banjir di daerah rawan banjir; 2.172.753 juta m®MDSU¯3/tahun (72%). Jadi, hanya 1/4 bagian saja dari jumlah air potensial yang kita nikmati. Selebihnya merupakan air yang tidak termanfaatkan dan terkadang menyebabkan banjir di sebagian daerah dan di kala tiada hujan kita benar-benar defisit air.

Kondisi di atas mengingatkan pada pepatah lama–tikus mati di dalam lumbung–kita kaya dengan sumber air yang melimpah tapi akibat arah pembangunan yang tidak bersahabat dengan alam justru kita menderita oleh melimpahnya air tersebut.

Kearifan Tradisional

Tampaknya kita harus menggali dan mempelajari kearifan tradisional bangsa ini dalam menjaga kelestarian air. Karena nenek moyang kita telah membuktikan bagaimana harmonisasi dengan alam membuat alam begitu bersahabat dengan mereka.

Dr. Ing. Ir. Agus Maryono dalam bukunya mencatat ada beberapa kearifan tradisional yang telah dilakukan nenek moyang kita tapi sudah jarang ditemui lagi kini, antara lain: 1) Pembuatan konstruksi peresapan air yang dikenal dengan istilah “jagongan”. Konstruksi jagongan ini adalah galian tanah yang dibuat di sekitar rumah berukuran panjang 1–2 meter, lebar 2–3 meter, dan kedalaman 1–2 meter. Jagongan ini difungsikan menangkap air hujan sekaligus menimbun sampah organik sisa tumbuh-tumbuhan. 2) Pembuatan tanggul rendah berukuan 20–30 cm mengelilingi areal pekarangan masing-masing untuk menangkap air hujan agar meresap ke tanah terlebih dahulu sebelum mengalir ke selokan menuju sungai dan juga sebagai upaya mencegah areal pekarangan mereka terkikis air. 3) Pembuatan sistem terasering di ladang serta parit-parit dengan maksud menangkap air, meresapkan dan memperlambat kecepatan air sehingga mengurangi tanah tererosi; dan 4) Banyak menanam tanaman yang mampu menyerap air pada zona perakarannya seperti beringin, sengon alas, dan belibis di sekitar danau, sumber-sumber mata air, telaga, dan pinggiran sungai.

Maka, sudah sepatutnya kita berpikir untuk membangun dan menciptakan konstruksi yang mampu menahan, meresapkan air hujan yang cocok untuk diaplikasikan di kota, daerah, kawasan atau rumah. Penulis yakin upaya kreatif, inovatif, radikal terus-menerus dan didukung partisipasi seluruh lapisan masyarakat niscaya akan mampu memecahkan problematika kuantitas air ini.

Jika ada pepatah “muda menabung, tua beruntung”, dengan kita belajar dari kearifan tradisional seperti yang disebutkan di atas, maka pepatah itu menjadi bermakna “di musim hujan menabung air, di musim kemarau beruntung menambang air”.

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda