Kebijakan Publik Nirkorupsi
Membuka Kontrol
Kebijakan publik yang nirkorupsi perlu dilaksanakan dengan mendasarkan pada ketentuan tata pemerintahan yang baik. Tata pemerintahan yang baik atau good governance adalah kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta, adanya saling kontrol yang dilakukan oleh pemerintahan (government), rakyat (citizen), atau civil society, serta usahawan (bussines) yang berada di sektor swasta (Ambar Teguh Sulistiyani, 2004: 21).
Sebelum menerbitkan kebijakan, pemerintah harus membuka diri terhadap masukan dari eksternal. Misalnya, dalam meminimalisir korupsi pengadaan barang dan jasa, kran informasi adanya tender dan lelang tidak boleh diselipkan di bawah meja atau hanya memuat secuil halaman di bagian tengah sebuah koran. Kritik dari lembaga swadaya masyarakat tentang adanya dugaan koruptif tidak perlu memerahkan telinga. Masukan dari luar penting untuk menciptakan pengawasan bagi pengadaan barang dan jasa. Lagi pula, banyaknya pengawasan akan semakin memperkecil potensi munculnya korupsi.
Kerja pemerintah mesti dilaksanakan dengan seminimal mungkin menghindarkannya dari tindak pidana korupsi. Cara yang dapat ditempuh adalah, pertama, mengenalkan dan memasukkan efek jera (efek pemaksa) dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kebijakan publik. Anggapan yang mengatakan bahwa sebuah kebijakan pemerintah tidak dapat dipidana semestinya diperbarui. Sudah saatnya, kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang dapat dibebani tangggung jawab hukum (dapat dipertanggungjawabkan).
Kedua, birokrasi (badan dan pejabat negara) mesti didorong untuk bersikap netral. Dalam hal ini, netral dari setiap pengaruh politik, kelompok politik, dan pengaruh pengusaha, serta pengaruh-pengaruh lainnya di luar ketentuan yang digariskan. Sikap netral penting ditekankan karena sudah bukan rahasia: birokrasi sering melakukan rekayasa dengan kekuasaan politik atau pemilik modal untuk menggarong uang negara (baik di pusat maupun di daerah).
Ketiga, melaksanakan pengawasan partisipatif. Selayaknya pejabat negara yang menerbitkan kebijakan publik harus mau diawasi. Pengawasan terhadap itu dapat ditempuh dengan cara, menggelar jaring aspirasi masyarakat sebelum kebijakan diterbitkan. Sehingga, ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat negara bersubstansi kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan, bukan kepentingan elit politik, serta bukan kepentingan pemangku modal.
Instrumen Hukum
Untuk menciptakan kebijakan publik yang menyejahterakan rakyat, hukum tata pemerintahan yang baik dapat dijadikan instrumen pengawasan. Paling tidak, hukum tata pemerintahan perlu memasukkan empat muatan agar bisa memihak ke rakyat. Pertama, dapat secara adil mengatur dan mengendalikan masyarakat. Kedua, memungkinkan warga masyarakat berpartisipasi dalam mengawal dan mengawasi pemerintahan. Ketiga, menciptakan ketentuan yang melindungi masyarakat. Keempat, menetapkan norma fundamental sebagai patokan filosofis dan teknis bagi bekerjanya birokrasi.
Selanjutnya, maksimalisasi muatan hukum tata pemerintahan dieksekusi dengan tak membuang prinsip pemerintahan yang baik, layak, dan bersih. Sehingga, perbuatan tercela pemerintah, seperti, perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad), perbuatan melawan undang-undang (onwetmatig), perbuatan yang tidak tepat (onjuist), perbuatan yang tidak bermanfaat (ondoelmatig), dan perbuatan menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir) tidak bisa masuk ke birokrasi. Dan, seterusnya dapat terwujud birokrasi yang dapat memberikan pelayanan prima ke rakyat.
Terakhir, untuk semakin menguatkan badan dan pejabat negara yang pro-rakyat tanpa korupsi, salah satu hal yang perlu dibenahi adalah menata sistem administrasi pemerintahan dan menegakkan efek pidana bagi setiap kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang.
–Hifdzil Alim (Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM; S2 Magister Ilmu Hukum UGM)