Tantangan Program Deradikalisasi Terorisme
Tantangan Program Deradikalisasi
Seharusnya program deradikalisasi
menjadi program yanga diprioritaskan selain pendekatan keamanan dan
penegakan hukum (law enforcement).
Karena program deradikalisasi jika dijalankan dengan benar dan tepat
mempunyai karakteristik yang prevetif dan humanis. Sedangkan pendekatan
keamanan dan penegakan hukum lebih bersifat represif. Ditingkatkan Desk
yang menanggulangi Teroris (DNPT ) menjadi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) diharapkan akan lebih memberikan prioritas program deradikalisasi
ini.
Sebaliknya, program deradikalisasi yang dirumuskan dan diimplementasikan
secara tidak tepat, tentu tidak akan mencapai sasaran yang efektif dan
efisisien atau bahkan akan menjadi bumerang, sebagaimana yang
diperingatkan oleh Ketua Majelis Ulama KH Makruf Amien yang mengatakan
bahwa deradikalisasi yang salah justru akan memicu radikalisme ( Republika,
Senin 1 November 2010, hlm. 12). Bahkan pengamat seperti Noorhuda Ismail,
mempunyai sikap yang skeptis terhadapat konsepsi deradikalisasi dalam
perspektif mengubah pemikiran yang radikal. Dalam pandangannya yang lebih
penting bukan merubah pemikiran yang radikal melainkan membuat mereka mandiri
secara ekonomi dan menjauhkan diri dari kekerasan (disengagement from violence) (Republika, Rabu , 6 Oktober 2010,hlm
18).
Artikel ini menyetujui peringatan yang disampaikan oleh KH Makruf Amien
tetapi tidak sepenuhnya sependapat dengan perspektif Noor Huda Ismail,
walaupun setuju dengan upaya untuk menjauhkan para aktivis radikal dari
kekerasan. Argumen konspetualnya adalah, kemandirian ekonomi tidak mempunyai
korelasi positif dengan hilangnya motivasi untuk melakukan kekerasan. Tanpa
kesadaran untuk berhenti melakukan tindakan kekerasan, kemampuan ekonomi justru
akan memperkuat atau mendukung tindakan kekerasan secara langsung atau tidak
langsung. Buktinya adalah para teroris mendapat dukungan
finansiil dari anggota kelompok yang mempunyai kemapuan finansial yang
lebih.
Teologi Supermarket
Apakah keyakinan terhadap sebuah interpretasi agama yang radikal bisa dirubah? Jawabanya sudah pasti bisa. Keberhasilan atau kegagalan dalam merubah sebuah keyakinan dalam bentuk reinterpretasi reoriendasi reedukasi paham dan sikap radikal ditentukan oleh beberapa faktor seperti materi yang akan disosialisakan, cara atau saluran yang digunakan, aktor yang akan melakukan program deradikalisasi dan harapan yang realistis dari program ini. Dalam kaitan dengan materi, yang penting dipikirkan adalah cakupan yang konkret yang hendak disampaikan. Untuk itu perlunya kurikum yang cakupannya konkret, misalnya apakah hanya berkaitan dengan teologi teror atau mencakup keseluruhan faham politik aktivis radikal .
Dari sisi sistematika dan cara yang paling penting adalah seharusnya program deradikalilasi ini tidak hanya dilakukan secara lisan, sporadik, temporer, seperti para ulama memberikan pengajian atau caramah. Karena cara ini tidak akan efektifitas dan efisien atau sulit diukur. Metode lisan dalam bentuk diskusi atau dialog seharusnya dilengkapi dengan materi tertulis yang sistematis misalnya dalam bentuk modul sebagai bahan sosialisi yang sistematis dan nantinya bisa diukur. Dalam kaitan dengan aktor, yang paling penting adalah bagaimana para ulama NU ini bisa disambut, diterima, syukur-syukur dipercaya oleh para aktivis radikal yang akan menjadi target program deradikalisasi. Melibatkan ulama NU untuk melakukan program deradikalisasi tidak ada salahnya. Namun demikian, perlu juga diingat, bahwa NU dengan pemikiran yang toleran, moderat,plural selama ini bisa jadi sudah dipersepsikan oleh aktivis radikal sebagai orang lain (minhum) atau bahkan musuh,bukan ikhwan (minna). Tantangannya adalah bagaimana ulama tersbut mampu menunjukkan sikap yang simpatik dan empatik, sekalipun akan menyampaikan pemikiran yang berbeda, bukan sikap yang offensif dan bermusuhan.
Terakhir adalah menggantungkan harapan yang realistis bagi program ini. Secara ideal tujuan program ini adalah menggantikan paham radikal menjadi paham yang toleran. Perlu waktu yang lama, dan proses yang kontinyu untuk mencapai tujuan ini. Yang realistis adalah membuat sasaran antara untuk mencapai tujuan jangkan panjang itu. Jika tujuan jangka panjang itu lebih bersifat perubahan perilaku (motorik). Tujuan jangka pendek lebih bersifat kognitif, yaitu memberikan pemahaman interpretasi ajaran agama, selain yang dipercayai oleh para aktivis radikal tersebut. Sebaiknya agar tidak menimbulkan permusuhan dan antipati proses penyampainan itu dengan memberikan argumen terhadap interpretasi faham yang ingin disampaikan, tanpa terlebih dulu menyerang faham yang sedang dipercaya oleh para aktivis radikal. Jika dianalogikan dengan bisnis di supermarket, tugas para ulama yang menjalankan program deradikalisasi adalah mengiklankan produknya sendiri, bukan menjelek-jelekan produk lain. Biarkan interpretasi yang akan disampaikan secara kognitif berdampingan dengan interpretasi yang diyakini oleh para aktivis radikal, dan beri mereka kesempatan untuk melakaukan evaluasi. Karena perubahan perilaku tidak sepenuhnya ditentukan oleh kesadaran kognitif. Kalaupun akan dibuat program yang sarannya adalah menyerang, mengecam paham para aktivis radikal, harus dilakukan oleh aktor lain dan dalam forum lain. Dengan merencanakan program sosialisasi faham yang toleran secara komprehensif dengan memperhitungakan berbagai faktor tersbut diharapkan program deradikalisasi yang dicanangkan antara BNPT dan NU akan mecapai tujuan, yaitu merubah merubah pemahaman, sikap dan perilaku kekerasan para teroris dan aktivis radikal lainnya, walaupun perlu waktu yang tidak singkat.
sumber ilustrasi gambar: drestebangarces.com