Potret Buruk Hukum Indonesia, Lalu Apa?
Apabila nanti pada suatu ketika sejarah pengadilan di Indonesia ditulis, maka kita juga akan melihat betapa orang-orang yang penuh dedikasi ingin membersihkan penyakit-penyakit di pengadilan itu, malah jatuh bergelimpangan. Ambil saja contoh hakim agung Adi Andojo Soetjipto yang legendaris itu. Pada waktu ia berjuang melawan kolusi di Mahkamah Agung yang dilakukan oleh sejawatnya sendiri, justru malah Adi sendiri yang terpental. Jadi, di tengah-tengah potret hitam pengadilan kita, masih ditemukan orang-orang yang bersih dan berdedikasi, seperit hakim Adi Andojo dan jaksa Hendarman Soepandji yang terkenal dengan sikapnya yang lurus dan jujur. Tetapi apa arti segelintir orang tersebut berhadapan dengan sejumlah besar sumber daya manusia yang sudah rusak? Sekarang ini sudah mulai muncul tuntutan agar Jaksa Agung mundur saja. Ya, apalah arti seorang Hendarman di tengah-tengah jaksa-jaksa bermental tercela itu? Sekalipun pernah berjanji akan membentuk suatu satuan khusus yang terdiri dari jaksa-jaksa yang ’’untouchable’’, tetapi cita-cita itu sudah didahului munculnya jaksa-jaksa yang sebaliknya.
Tentunya kita masih ingat terjadinya perseteruan antara Kejaksaan Agung dan DPR, pada waktu seorang anggota DPR menuduh Jaksa Agung Abdul Rahma Saleh bagaikan ’’ustad yang ada di kampung maling’’.
Melihat tingkah-laku para pejabat yang ditayangkan, menjadi sah lah apabila kita bertanya-tanya, dari mana asal mereka itu? Pembelajaran hukum apakah yang telah mereka terima, sehingga melakukan tindakan yang tidak terpuji?
Sesudah menonton keadaan yang sudah begitu bobrok dalam dunia penegakan hukum di negeri kita, yang oleh Sebastian Pompe (2005) sudah disebut mengalami keambrukan (institutional collapse), kita boleh bertanya tentang bagaimana andil pendidikan hukum kita? Saya melihat, bahwa dalam kurikulum di fakultas-fakultas hukum di Indonesia, sepertinya segala sesuatu tampak ’’baik-baik saja’’, tidak sekisruh dan seburuk seperti terjadi di dunia realitas penegakan hukum.
Dengan tenang, misalnya, masih diajarkan sistem peradilan yang baik dan ideal, ’’due process of law’’ dan lain-lain. Komodifikasi hukum, korupsi, suap dan jual-beli perkara, belum memperoleh perhatian yang serius dalam pendidikan hukum kita. Yang diajarkan umumnya masih hukum yang ideal, sehingga para sarjana hukum kita umumnya tidak siap untuk menghadapi realitas yang sangat berbeda dari yang diajarkan di kelas.
Bertahun-tahun yang lalu saya sudah mengusulkan agar tidak hanya diajarkan ’’hukum yang baik’’, tetapi juga ’’patologi hukum’’ (penyakit-penyakit hukum). Saya usulkan agar dibuat matakuliah baru tentang patologi hukum. Di situ dibicarakan seluas-luasnya tentang mafia peradilan, bagaimana bisa terjadi, mengapa terjadi jual-beli hukum, bagaimana merosotnya kepercayaan rakyat terhadap hukum, bagaimana mengatasinya dan seagainya. Tetapi oleh beberapa teman gagasan itu dianggap terlalu ekstrem.
Sekalipun tidak menjamin terjadinya perubahan besar dalam praktik penegakan hukum, setidak-tidaknya para calon sarjana hukum itu, selama kuliah, telah diekspose terhadap praktik-praktik negatif yang terjadi dalam kenyataan dan bagaimana mereka tidak menjadi bagian dari jaksa, hakim, advokat dan polisi yang buruk.(76)
Tentunya kita masih ingat terjadinya perseteruan antara Kejaksaan Agung dan DPR, pada waktu seorang anggota DPR menuduh Jaksa Agung Abdul Rahma Saleh bagaikan ’’ustad yang ada di kampung maling’’.
Melihat tingkah-laku para pejabat yang ditayangkan, menjadi sah lah apabila kita bertanya-tanya, dari mana asal mereka itu? Pembelajaran hukum apakah yang telah mereka terima, sehingga melakukan tindakan yang tidak terpuji?
Sesudah menonton keadaan yang sudah begitu bobrok dalam dunia penegakan hukum di negeri kita, yang oleh Sebastian Pompe (2005) sudah disebut mengalami keambrukan (institutional collapse), kita boleh bertanya tentang bagaimana andil pendidikan hukum kita? Saya melihat, bahwa dalam kurikulum di fakultas-fakultas hukum di Indonesia, sepertinya segala sesuatu tampak ’’baik-baik saja’’, tidak sekisruh dan seburuk seperti terjadi di dunia realitas penegakan hukum.
Dengan tenang, misalnya, masih diajarkan sistem peradilan yang baik dan ideal, ’’due process of law’’ dan lain-lain. Komodifikasi hukum, korupsi, suap dan jual-beli perkara, belum memperoleh perhatian yang serius dalam pendidikan hukum kita. Yang diajarkan umumnya masih hukum yang ideal, sehingga para sarjana hukum kita umumnya tidak siap untuk menghadapi realitas yang sangat berbeda dari yang diajarkan di kelas.
Bertahun-tahun yang lalu saya sudah mengusulkan agar tidak hanya diajarkan ’’hukum yang baik’’, tetapi juga ’’patologi hukum’’ (penyakit-penyakit hukum). Saya usulkan agar dibuat matakuliah baru tentang patologi hukum. Di situ dibicarakan seluas-luasnya tentang mafia peradilan, bagaimana bisa terjadi, mengapa terjadi jual-beli hukum, bagaimana merosotnya kepercayaan rakyat terhadap hukum, bagaimana mengatasinya dan seagainya. Tetapi oleh beberapa teman gagasan itu dianggap terlalu ekstrem.
Sekalipun tidak menjamin terjadinya perubahan besar dalam praktik penegakan hukum, setidak-tidaknya para calon sarjana hukum itu, selama kuliah, telah diekspose terhadap praktik-praktik negatif yang terjadi dalam kenyataan dan bagaimana mereka tidak menjadi bagian dari jaksa, hakim, advokat dan polisi yang buruk.(76)
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda