Sejarah Kementerian Agama
Menurut salah satu sumber Islam mulai memasuki Indonesia sejak abad VII
melalui para pedagang Arab yang telah lama berhubungan dagang dengan
kepulauan Indonesia tidak lama setelah Islam berkembang di jazirah Arab.
Agama Islam tersiar secara hampir merata di seluruh kepulauan nusantara
seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam seperti Perlak dan
Samudera Pasai di Aceh, kerajaan Demak, Pajang dan Mataram di Jawa
Tengah, kerajaan Cirebon dan Banten di Jawa Barat, kerajaan Goa di
Sulawesi Selatan, keraj aan Tidore dan Ternate di Maluku, keraj aan
Banjar di Kalimantan, dan lain-lain.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan Belanda
banyak raja dan kalangan bangsawan yang bangkit menentang penjajah.
Mereka tercatat sebagai pahlawan bangsa, seperti Sultan Iskandar Muda,
Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim, Sultan
Agung Mataram, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Agung Tirtayasa,
Sultan Hasanuddin, Sultan Goa, Sultan Ternate, Pangeran Antasari, dan
lain-lain.
Pola pemerintahan kerajaan-kerajaan tersebut diatas pada umumnya selalu
memiliki dan melaksanakan fungsi sebagai berikut:
- Fungsi pemerintahan umum, hal ini tercermin pada gelar “Sampean Dalem Hingkang Sinuhun” sebagai pelaksana fungsi pemerintahan umum.
- Fungsi pemimpin keagamaan tercermin pada gelar “Sayidin Panatagama Kalifatulah.”
- Fungsi keamanan dan pertahanan, tercermin dalam gelar raja “Senopati Hing Ngalogo.” Pada masa penjajahan Belanda sejak abad XVI
sampai pertengahan abad XX pemerintahan Hindia Belanda juga “mengatur”
pelayanan kehidupan beragama. Tentu saja “pelayanan” keagamaan tersebut
tak terlepas dari kepentingan strategi kolonialisme Belanda. Dr.C. Snuck
Hurgronye, seorang penasehat pemerintah Hindia Belanda dalam bukunya
“Nederland en de Islam” (Brill, Leiden 1911) menyarankan sebagai
berikut:
“Sesungguhnya menurut prinsip yang tepat, campur tangan pemerintah dalam bidang agama adalah salah, namun jangan dilupakan bahwa dalam sistem (tata negara) Islam terdapat sejumlah permasalahan yang tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan agama yang bagi suatu pemerintahan yang baik, sama sekali tidak boleh lalai untuk mengaturnya.”
- Bagi golongan Nasrani dijamin hak hidup dan kedaulatan organisasi agama dan gereja, tetapi harus ada izin bagi guru agama, pendeta dan petugas misi/zending dalam melakukan pekerjaan di suatu daerah tertentu.
- Bagi penduduk pribumi yang tidak memeluk agama Nasrani, semua urusan agama diserahkan pelaksanaan dan perigawasannya kepada para raja, bupati dan kepala bumiputera lainnya.
- Soal peribadatan umum, terutama bagi golongan Nasrani menjadi wewenang Departement van Onderwijs en Eeredienst (Departemen Pengajaran dan Ibadah)
- Soal pengangkatan pejabat agama penduduk pribumi, soal perkawinan, kemasjidan, haji, dan lainlain, menjadi urusan Departement van Binnenlandsch Bestuur (Departemen Dalam Negeri).
- Soal Mahkamah Islam Tinggi atau Hofd voor Islamietische Zaken menjadi wewenang Departement van Justitie (Departemen Kehakiman). Pada masa penjajahan Jepang kondisi tersebut pada dasarnya tidak berubah. Pemerintah Jepang membentuk Shumubu, yaitu kantor agama pusat yang berfungsi sama dengan Kantoor voor Islamietische Zaken dan mendirikan Shumuka, kantor agama karesidenan, dengan menempatkan tokoh pergerakan Islam sebagai pemimpin kantor. Penempatan tokoh pergerakan Islam tersebut merupakan strategi Jepang untuk menarik simpati umat Islam agar mendukung cita-cita persemakmuran Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon.
- Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
- Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.Dengan demikian agama telah menjadi bagian dari sistem kenegaraan sebagai hasil konsensus nasional dan konvensi dalam_praktek kenegaraan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.