Memaknai Bulan Ramadhan

Kedua, ramadhan adalah bulan penghapusan dosa. Dahulu, para salafunash shalih, generasi terdahulu umat ini, jika ramadhan akan datang, mereka mengucapkan: marhaban bil muthahhir “selamat datang bulan penghapus dosa”. Mengapa? Karena selama sebelas bulan sebelum ramadhan telah banyak dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, dan ramadhan adalah kesempatan emas untuk memohon ampunan dari Allah. Ramadhan adalah sarana penghapusan dosa yang bersifat tahunan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: ”Dari ramadhan ke ramadhan, dari jum’at ke jum’at, dan dari sholat lima waktu ke sholat lima waktu yang lain, adalah sarana penghapusan dosa.” Dan tidakkah kita dengar sabda Rasulullah saw: “Barangsiapa yang berpuasa ramadhan atas dasar iman dan berharap-harap ridha Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” “Barangsiapa yang menghidupkan malam-malam ramadhan dengan sholat (tarawih) atas dasar iman dan berharap-harap ridha Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” “Barangsiapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar  dengan sholat (tarawih) atas dasar iman dan berharap-harap ridha Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” Ketiga, ramadhan adalah bulan kesabaran. Dengan ramadhan, kita dilatih untuk menjadi manusia yang sabar, artinya: yang bisa mengendalikan diri. Dan dengan kemampuan mengendalikan diri inilah, kita bisa berbeda dengan binatang. Jika ada seekor binatang mendapati makanan kesukaannya di tengah jalan, apa yang akan ia lakukan? Apakah ia akan menimbang-nimbang dulu: bolehkah makanan ini aku santap? Tentu ia akan langsung saja menyantapnya tanpa pernah berpikir boleh dan tidaknya, apalagi pantas dan tidaknya. Di bulan ramadhan, makanan dan minuman yang jelas-jelas halal saja tidak kita makan, meski kita sedang lapar dan sedang kehausan. Semata-mata karena perintah Allah. Jika makanan yang halal saja kita hindari, apalagi makanan yang haram? Dan dalam kehidupan kita sekarang ini, kita lihat betapa banyak orang – yang bahkan muslim – memakan yang haram. Yang diperoleh dengan menipu, mencuri, korupsi, manipulasi, penggelapan, bahkan merampok dan menodong. Di bulan ramadhan, istri yang jelas-jelas halal saja dijauhi. Maka apalagi wanita yang tidak halal? Sementara saat ini kita melihat betapa banyak orang – yang bahkan muslim – yang melakukan zina dengan wanita yang tidak halal baginya. Inilah ramadhan, yang akan melatih diri kita untuk sabar: bisa mengendalikan diri. Keempat, ramadhan adalah bulan untuk berbekal. Wa tazawwaduu fainna khairaz zaadit taqwaa (Dan berbekallah kalian. Maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa). Dan bulan ramadhan ini tidak lain adalah la’allakum tattaquun, untuk meraih derajat taqwa. Karena itu ramadhan semestinya dijadikan sebagai waktu khusus penyiapan bekal untuk sebelas bulan berikutnya sesudah ramadhan. Ini tidak ada bedanya seperti men-charge baterai ponsel kita. Karena itu, ramadhan yang benar adalah jika kebaikan dan ketaatan kita bisa terus berlanjut sesudah ramadhan. Dan itu adalah indikasi bahwa ramadhan kita diterima. Jangan sampai kita menjadi orang-orang ramadhani, yaitu penyembah bulan ramadhan, yang hanya baik ketika ramadhan saja. Begitu ramadhan lewat, kita tidak lagi menjadi baik. Sebaliknya, jadilah orang-orang yang rabbani, yaitu penyembah Rabb (tuhan kita), yaitu Allah swt. Sebagaimana Allah selalu ada, maka kita juga selalu baik meski ramadhan telah lewat. Kita semua adalah musafir, dengan tujuan negeri akhirat. Karena kita musafir maka kita perlu perbekalan. Wa tazawwaduu fainna khairaz zaadit taqwaa. Dan taqwa itu bisa kita peroleh dengan ibadah ramadhan (la’allakum tattaquun). Kelima, ramadhan bukanlah membalik siang menjadi malam, dan malam menjadi siang. Siang banyak tidur dan malam banyak makan. Siang menjadi malas, padahal dahulu banyak peperangan dan kemenangan dalam sejarah Islam yang justru terjadi di bulan Ramadhan, seperti kemenangan besar dalam Perang Badar Al-Kubra, Fathu Makkah (Pembebasan Kota Mekah), Ain Jalut, dan sebagainya. Boleh saja kita mengatur ritme pekerjaan agar tubuh bisa menyesuaikan diri, tapi tidak untuk bermalas-malas dan tidur-tiduran saja. Sayangnya, jutru banyak rumah tangga yang uang belanja untuk masaknya menjadi membengkak di bulan Ramadhan, padahal Ramadhan adalah bulan menahan diri dari makan. Yang betul adalah pengeluaran di bulan Ramadhan memang mestinya lebih banyak, tapi bukan pengeluaran untuk masak. Lalu untuk apa? Untuk berinfaq dan berzakat.

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda