Sejarah SAR Nasional
Kesimpulan dari tim tersebut adalah :
1. Perlu kesepakatan antara departemen-departemen yang memiliki fasilitas dan peralatan;
2. Harus ada hubungan yang cepat dan tepat antara pusat-pusat koordinasi dengan pusat fasilitas SAR;
3. Pengawasan lalu lintas penerbangan dan pelayaran perlu diberi tambahan pendidikan SAR;
4. Bantuan radio navigasi yang penting diharapkan untuk pelayaran secara terus menerus.
Dalam kegiatan survey tersebut, tim US Coast Guard didampingi pejabat – pejabat sipil dan militer dari Indonesia, tim dari Indonesia membuat kesimpulan bahwa :
1. Instansi pemerintah baik sipil maupun militer sudah
mempunyai unsur yang dapat membantu kegiatan SAR, namun diperlukan
suatu wadah untuk menghimpun unsur-unsur tersebut dalam suatu sistem
SAR yang baik. Instansi-instansi berpotensi tersebut juga sudah
mempunyai perangkat dan jaringan komunikasi yang memadai untuk kegiatan
SAR, namun diperlukan pengaturan pemanfaatan jaringan tersebut.
2. Personil dari instansi berpotensi SAR pada umumnya belum memiliki
kemampuan dan keterampilan SAR yang khusus, sehingga perlu pembinaan
dan latihan.
Peralatan milik instansi berpotensi SAR tersebut bukan untuk
keperluan SAR, walaupun dapat digunakan dalam keadaan darurat, namun
diperlukan standardisasi peralatan.
Hasil survey akhirnya dituangkan pada “Preliminary Recommendation” yang
berisi saran-saran yang perlu ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk
mewujudkan suatu organisasi SAR di Indonesia.
PERKEMBANGAN ORGANISASI BASARNAS
Berdasarkan hasil survey tersebut ditetapkan Keputusan Presiden Nomor
11 tahun 1972 tanggal 28 Februari 1972 tentang pembentukan Badan SAR
Indonesia (BASARI). Adapun susunan organisasi BASARI terdiri dari :
1. Unsur Pimpinan
2. Pusat SAR Nasional (Pusarnas)
3. Pusat-pusat Koordinasi Rescue (PKR)
4. Sub-sub Koordinasi Rescue (SKR)
5. Unsur-unsur SAR
Pusarnas merupakan unit Basari yang bertanggungjawab sebagai
pelaksana operasional kegiatan SAR di Indonesia. Walaupun dengan
personil dan peralatan yang terbatas, kegiatan penanganan musibah
penerbangan dan pelayaran telah dilaksanakan dengan hasil yang cukup
memuaskan, antara lain Boeing 727-PANAM tahun 1974 di Bali dan operasi
pesawat Twinotter di Sulawesi yang dikenal dengan operasi Tinombala.
Secara perlahan Pusarnas terus berkembang dibawah pimpinan (alm) Marsma
S. Dono Indarto. Dalam rangka pengembangan ini pada tahun 1975 Pusarnas
resmi menjadi anggota NASAR (National Association of SAR) yang
bermarkas di Amerika, sehingga Pusarnas secara resmi telah terlibat
dalam kegiatan SAR secara internasional. Tahun berikutnya Pusarnas
turut serta dalam kelompok kerja yang melakukan penelitian tentang
penggunaan satelit untuk kepentingan kemanusiaan (Working Group On
Satelitte Aided SAR) dari International Aeronautical Federation.
Bersamaan dengan pengembangan Pusarnas tersebut, dirintis kerjasama
dengan negara-negara tetangga yaitu Singapura, Malaysia, dan Australia.
Untuk lebih mengefektifkan kegiatan SAR, maka pada tahun 1978 Menteri
Perhubungan selaku kuasa Ketua Basari mengeluarkan Keputusan Nomor
5/K.104/Pb-78 tentang penunjukkan Kepala Pusarnas sebagai Ketua Basari
pada kegiatan operasi SAR di lapangan. Sedangkan untuk penanganan SAR
di daerah dikeluarkan Instruksi Menteri Perhubungan IM 4/KP/Phb-78
untuk membentuk Satuan Tugas SAR di KKR (Kantor Koordinasi Rescue).
Untuk efisiensi pelaksanaan tugas SAR di Indonesia, pada tahun 1979
melalui Keputusan Presiden Nomor 47 tahun 1979, Pusarnas yang semula
berada dibawah Basari, dimasukkan kedalam struktur organisasi
Departemen Perhubungan dan namanya diubah menjadi Badan SAR Nasional
(BASARNAS).
Dengan diubahnya Pusarnas menjadi Basarnas, Kepala Pusarnas yang semula
esselon II menjadi Kepala Basarnas esselon I. Demikian juga struktur
organisasinya disempurnakan dan Kabasarnas membawahi 3 pejabat esselon
II. Dalam perkembangannya keluar Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 80
tahun 1998 tentang Organisasi Tata Kerja Basarnas, yang salah satu
isinya mengenai pejabat esselon II di Basarnas, yaitu :
1. Sekretaris Badan;
2. Kepala Pusat Bina Operasi;
3. Kepala Pusat Bina Potensi;
Adanya organisasi SAR akan memberikan rasa aman dalam
penerbangan dan pelayaran. Sejalan dengan perkembangan moda
transportasi serta kemajuan IPTEK di bidang transportasi, maka
mobilitas manusia dan barang dari suatu tempat ke tempat lain dalam
lingkup nasional maupun internasional mempunyai resiko yang tinggi
terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan yang menimpa pengguna jasa
transportasi darat, laut dan udara. Penerbangan dan pelayaran
internasional yang melintasi wilayah Indonesia membutuhkan jaminan
tersedianya penyelenggaraan SAR apabila mengalami musibah di wilayah
Indonesia. Tanpa adanya hal itu maka Indonesia akan dikategorikan
sebagai “black area” untuk penerbangan dan pelayaran. Status “black
area” dapat berpengaruh negatif dalam hubungan ekonomi dan politik
Indonesia secara internasional. Terkait dengan maslah tersebut, Badan
SAR Nasional sebagai instansi resmi pemerintah yang bertanggungjawab di
bidang SAR ikut mempunyai andil yang besar dalam menjaga citra
Indonesia sebagai daerah yang aman untuk penerbangan dan pelayaran.
Dengan citra yang baik tersebut diharapkan arus transportasi akan dapat
bejalan dengan lancar dan pada gilirannya akan meningkatkan
perekonomian nasional Indonesia.
Dengan meningkatnya tuntutan masyarakat mengenai pelayanan jasa SAR dan
adanya perubahan situasi dan kondisi Indonesia serta untuk terus
mengikuti perkembangan IPTEK, maka organisasi SAR di Indonesia terus
mengalami penyesuaian dari waktu ke waktu. Organisasi SAR di Indonesia
saat ini diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 43 Tahun
2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan dan
Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 79 Tahun 2002 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kantor SAR. Dalam rangka terus meningkatkan pelayanan
SAR kepada masyarakat, maka pemerintah telah menetapkan Peraturan
Pemerintah No. 36 Tahun 2006 tentang Pencarian dan Pertolongan yang
mengatur bahwa Pelaksanaan SAR (yang meliputi usaha dan kegiatan
mencari, menolong, dan menyelamatkan jiwa manusia yang hilang atau
menghadapi bahaya dalam musibah pelayaran, dan/atau penerbangan, atau
bencana atau musibah lainnya) dikoordinasikan oleh Basarnas yang berada
dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Menindak lanjuti
Peraturan Pemerintah tsb, Basarnas saat ini sedang berusaha
mengembangkan organisasinya sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen
sebagai upaya menyelenggarakan pelaksanaan SAR yang efektif, efisien,
cepat, handal, dan aman.
Berdasarkan kajian dan analisa kelembagaan, sesuai dengan perkembangan
dan tuntutan tugas yang lebih besar, pada Tahun 2007 dilakukan
perubahan Kelembagaan dan Organisasi BASARNAS menjadi Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPND), yang diatur secara resmi dengan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2007 tentang Badan
SAR Nasional. Sebagai LPND, BASARNAS berada di bawah dan bertanggung
jawab langsung kepada Presiden.
Pada Perkembangannya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun
2009, sebutan LPND berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementerian
(LPNK), sehingga BASARNAS pun berubah menjadi BASARNAS (LPNK).
Sebagai LPNK, BASARNAS secara bertahap melepaskan diri dari struktur
Kementerian Perhubungan. Namun hingga Tahun 2009, pembinaan
administratif dan teknis pelaporan masih melalui Kementerian
Perhubungan. Selanjutnya per Tahun 2007 BASARNAS (LPNK) akan langsung
bertanggung jawab ke Presiden melalui Sekretariat Negara (Setneg).