Ketahanan Pangan Kearifan Lokal dan Investasi di Desa

Kearifan Lokal Pemerintah memiliki program ketahanan pangan salah satunya melalui diversifikasi produk makanan agar masyarakat tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok, namun harus berupaya mencari alternatif lain yang digunakan sebagai bahan makanan pokok. Pembangunan pertanian selama ini hanya bertumpu pada beras. Padahal kearifan lokal bisa saja menjadi jawaban tersendiri atas pemenuhan kebutuhan pangan. Dengan kearifan lokal, Indonesia bisa mewujudkan swasembada dan kemandirian pangan. Di tengah-tengah permasalahan dunia seperti krisis pangan dan energi, kita harus mencari apa yang bisa kita lakukan secara domestik untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi di dalam negeri. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah. Bahkan Indonesia bersama Kongo dan Brasil disebut sebagai Mega Biodiversity. Tidak ada cerita Indonesia kekurangan pangan kalau kita pandai mengelolanya. Mari kita kelola kembali, go local, back to nature, agar kita betul-betul bisa membangun ketahanan pangan. Swasemba dan kemadirian bukan ilusi. Kita bisa mewujudkan mimpi ini.   Besarnya potensi alam, kultur masyarakat agraris, dan kearifan masyarakat lokal sangat memungkinkan pelaksanaan investasi di pedesaan.  Peranan dan eksistensi masyarakat lokal, bagaimanapun, tidak mungkin diabaikan. Masyarakat lokal di pedesaan dengan kulturnya yang mendarah daging telah melahirkan kearifan lokalnya masing-masing. Kearifan lokal ini telah dibangun selama berabad-abad seiring dengan perjalanan hidup sehingga merupakan intisari dari kompilasi pengalaman hidup yang panjang dan diwariskan turun temurun.   Salah satu upaya nyata untuk meningkatkan percepatan gerakan penganekaragaman konsumsi pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan mengembalikan pola penganekaragaman konsumsi pangan yang telah mengakar sebagai kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat sejak dahulu. Masyarakat, terutama yang tinggal di perdesaan memiliki tradisi dan pola konsumsi aneka ragam sumber makanan yang sangat mendukung dalam upaya peningkatan ketahanan pangan daerah.   Di daerah pedesaan yang masyarakatnya sebagian besar hidup dari pertanian, maka kearifan lokal tersebut juga terinternalisasi secara sadar dalam tata cara bertani. Kehidupan sehari-hari masyarakat petani pun tidak lepas dari kearifan lokal pertanian tersebut. Dapat dikatakan bahwa tata cara bertani yang berlandaskan pada kearifan lokal tersebut merupakan bentuk-bentuk local genius. Misalnya, pada masyarakat petani tradisional di beberapa wilayah Pulau Jawa dan di Pulau Bali, masih sangat mempercayai pengaruh pemilihan hari-hari tertentu sebagai hari-hari yang paling baik untuk melakukan penyemaian benih, mengolah lahan sawah, pindah tanam, dan sebagainya. Di Bali, masyarakat petani juga mengenal tata kelola pengairan sawah secara tradisional yang disebut dengan Subak. Lumbung-lumbung desa yang hingga awal 1980-an masih banyak terdapat di setiap pedesaan di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi merupakan bentuk lain dari kearifan lokal untuk menjaga ketahanan pangan tersebut.   Lumbung Desa Saat ini, masyarakat umumnya tidak lagi mempunyai sistem lumbung untuk menyimpan bahan makanan. Akibatnya, ketahanan pangan masyarakat menurun. Hal ini terlihat dari kelaparan yang terjadi saat bencana menghancurkan rumah seperti kebakaran. Dalam beberapa hari setelah kebakaran, masyarakat korban bencana biasanya mengalami kelaparan karena tak punya simpanan pangan. Salah satu masyarakat Banten yang masih memiliki sistem lumbung padi yang hingga kini masih berjalan adalah masyarakat adat suku Baduy yang terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Kultur adat istiadat Suku Baduy masih sangat kental, termasuk dalam pengaturan kapan waktu tanam, kapan  waktu panen dan sebagainya. Hasil panen tersebut disimpan di lumbung padi untuk keperluan hidup sehari-hari sampai panen berikutnya. Hal ini mencerminkan bahwa dengan kesederhanaan dalam bercocok tanam, masyarakat Baduy tetap memiliki persediaan pangan sepanjang tahun. Masyarakat adat suku baduy memiliki ciri khas berkaitan dengan lumbung padi dimana lokasi lumbung padi yang terpisah dengan pemukiman.   Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian tanaman pangan, kearifan lokal ini dapat dijadikan pendamping dari ilmu-ilmu serta teknologi modern. Dengan demikian kearifan lokal ini dapat sekaligus menjadi jaring penyaring modernisasi yang dapat berdampak negatif bagi kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat, maupun merusak alam lingkungan.   Hal tersebut menjadi sangat penting dalam konteks perwujudan ketahanan pangan nasional. Mewujudkan ketahanan pangan nasional melalui peningkatan produksi komoditas pangan bukan berarti harus mengabaikan norma-norma sosial budaya, mengabaikan daya dukung dan kelestarian alam, serta memarginalisasi eksistensi masyarakat lokal. Ketahanan pangan nasional akan menjadi terlalu mahal ongkosnya bila harus mengabaikan ketahanan sosial budaya masyarakat pedesaan dan menimbulkan kerusakan alam.   Beras dan Beras Lagi Kebiasaan makan beras turut menurunkan ketahanan pangan masyarakat Indonesia. Kebiasaan makan beras melunturkan tradisi makan bahan pangan lokal yang dimiliki berbagai suku bangsa dan kelompok sosial. Padahal di masa lalu, berbagai suku bangsa dan kelompok sosial mempunyai beragam makanan pokok berbahan bahan pangan lokal seperti sagu, ubi-ubian, maupun jagung. Hal ini menunjukkan sudah berkembangnya diversifikasi pangan berdasarkan kondisi geografis. Akan tetapi, diversifikasi pangan secara tradisional ini tergeser oleh kebiasaan makan beras sehingga diversifikasi tereduksi menjadi keseragaman bahan pangan.   Kebiasaan makan beras menjadi beban pada ketahanan pangan Indonesia. Pada 1998-2000, Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia dengan jumlah impor mencapai empat juta ton. Hal ini sungguh sangat ironis dengan Indonesia sebagai negara agraris.   Pemerintah harus lebih mengedepankan penguatan sumber-sumber pangan lokal menjadi basis yang kokoh untuk menopang sub sistem ketahanan pangan, pertama, yaitu ketersediaan pangan, sebagaimana tantangan kedepan untuk mewujudkan kemandirian pangan Nasional berbasis keanekaragaman potensi pangan lokal. Pengembangan potensi kearifan lokal untuk pemenuhan pangan masyarakat kini kian memprihatinkan.   Di beberapa daerah pegunungan yang semula mengkonsumsi jagung atau singkong (berupa gaplek,tiwul) kini menganggap makanan tersebut hanya untuk orang miskin, tidak bergizi dan makanan rendahan. Padahal, bila dibandingkan kandungan gizi beras dan gaplek hampir sama, kalori yang terkandung dalam beras 360/100 gr, tidak jauh berbeda dengan sagu 355/100 gr, gaplek 338/100 gr. Kandungan karbohidrat beras hanya 78,9/100 gr, sedangkan sagu mencapai 355/100 gr. Hanya saja pada kandungan protein pada beras lebih tinggi dari sagu. Dengan kondisi tersebut seharusnya mampu menyiasati sumber-sumber pangan lokal menjadi makanan yang cukup memberikan nilai tambah.   Peningkatan nilai tambah satu produk pangan pada dasarnya tidak terlepas dari aplikasi teknologi yang tepat dan sistem manajemen yang baik, ini menjadi ironi, ketika jumlah industri pengolahan masih didominasi oleh industri kecil dan menengah dengan prosentase lebih dari 90% dibandingkan dengan industri besar sehingga produk pangan yang lebih terjangkau oleh masyarakat Indonesia merupakan pangan produksi industri kecil dan rumah tangga dengan teknologi minim.   Hal ini yang menjadi permasalahan, salah satunya adalah rendahnya penguasaan teknologi produksi yang tepat sehingga kualitas dan nilai tambah suatu produk pangan juga rendah. Swasembada beras adalah dongeng masa lalu negeri ini bahkan teknologi ini belakangan sering digugat. Swasembada pangan sekiranya dapat lebih relevan untuk membangun daya dukung kecukupan pangan seluruh masyarakat di masa depan. Bukan hanya terbatas pada swsembada beras, namun dalam hal ini dengan kapasitas produksi (GKG) 54 juta ton/tahun. Indonesia termasuk produsen beras terbesar ke-3 dunia (FAO). Dengan jumlah sebesar ini menurut hitungan untuk dikonsumsi Indonesia sendiri saja, bahkan Indonesia masih kekurangan beras, sehingga harus mencukupi kebutuhannya dengan import.   Investasi di Desa Aspek yang lebih mendesak adalah pembangunan ekonomi nasional harus berbasis pada pertanian dan desa sebagai lumbung pangan, yakni memperbesar investasi ke sekitar pertanian-pedesaan. Investasi pemerintah perlu lebih diperbesar ke sektor pertanian-pedesaan, dan investasi swasta perlu difasilitasi untuk mendorong investasi di sektor pertanian dan pedesaan. Perbankan nasional juga perlu mengubah paradigma dan perannya dari net fund rising menjadi net fund using di pedesaan.   Untuk memperbesar kapasitas ekonomi pedesaan, perlu perubahan pendekatan pembangunan dari pendekatan produksi pertanian ke pendekatan sistem agribisnis. Dengan pendekatan sistem agribisnis, adanya pengembngan industri hulu, industri hilir pertanian, dan sektor penyedia jasa seperti perkreditan, pelatihan-pelatihan SDM, dan jasa transportasi. Pengembangan industri hulu pertanian seperti pupuk dan benih dilakukan dengan orientasi pedesaan. Demikian juga industri pengolahan hasil pertanian dikembangkan di daerah pedesaan.   Upaya mendorong kalangan swasta untuk turut mewujudkan peningkatan produktivitas pangan perlu mendapatkan perhatian khusus. Masih sangat sedikit pihak swasta yang berminat melakukan investasi di sektor ini. Antara lain karena sektor ini memiliki sifat alamiah yaitu nilai tambahnya rendah, sedemian rupa sehingga lebih rendah dibandingkan nilai tambah di sektor-sektor lain. Sektor pertanian juga membutuhkan investasi dan modal kerja yang besar. Apalagi  faktor risiko yang melekat pada sektor ini juga cukup besar, mengingat sektor pertanian langsung berhadapan dengan alam berikut iklim yang sulit dikendalikan dan diantisipasi.   Untuk mencapai skala produksi yang ekonomis sehingga dapat tercapai nilai keuntungan yang layak, investasi di sektor pertanian harus dilakukan dalam skala yang besar dan luas. Hal ini bila tidak dilakukan dengan hati-hati justru dapat menimbulkan kerugian sosial budaya serta kerusakan lingkungan yang parah. Pembukaan lahan-lahan pertanian baru yang luas dapat merusak daya dukung dan kelestarian alam dan mengabaikan eksistensi masyarakat lokal. Melibatkan masyarakat lokal dengan menghargai kearifan lokal dapat diharapkan mencegah terjadinya perusakan lingkungan, sehingga peningkatan produktivitas pangan dapat berjalan secara berkesinambungan. (*)  

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda