Solusi Hubungan Diplomasi Indonesia-Malaysia Dari Kacamata Komunikasi Antarbudaya
Simbol terpenting dari pesan adalah berupa ungkapan verbal atau kata-kata. Namun pesan juga dapat dirumuskan secara nonverbal melalui gerakan angota ubuh, penampilan, senyuman, tatapan mata dan sebagainya. 3. In which channel --- Media atau saluran komunikasi Merupakan alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. Saluran boleh jadi merujka kepada bentuk pean yang disampaikan kepada penerima, apakah saluran verba atau nonverbal. Saluran juga merujuk kepada cara penyajian apakah langsung (tatap muka) atau lewat media cetak (surat kabar, majalah) atau melalui media elektronik (tv, radio, telepon,dll). 4. To whom --- Penerima atau receiver Ering juga disebut sebagai sasaran, tujuan, komunikan, pendengar atau khalayak, yakni orang yang menerima pesan dari sumber. Berdasarkan pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan,persepsi dan budaya serta pola pikir dan perasaannya, penerima pesan ini menerjemahkan atau menafsirkan seperangkat simbol verbal dan atau nonveral yang ia terima menjadi gagasan yang dapat ia pahami. 5. And whit what effect --- Efek komunikasi Yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan atau gagasan tadi. Ffek bisa berupa pemahaman, penambahan pengetahuan atau perubahan sikap. 1.1. Urgensi Komunikasi Antarbudaya Dua cerita di atas merupakan contoh komunikasi antarbudaya, yakni komunikasi yang terjadi diantara orang-orang yang berbeda bangsa, ras, bahasa, agama, tingkat pendidikan, status sosial atau bahkan jenis kelamin. Ada dua kesamaan dalam cerita di atas yaitu bahwa ada kesulitan komunikasi yang dihadapi oleh para pelaku yang diakibatkan perbedaan kultural masing-masing. Di dunia ini tidak ada satu pun budaya yang sama dan sejenis meskipun ada pada satu area. Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan risiko yang fatal berupa disintegrasi dan bahkan peperangan seperti pada cerita di atas. Dewasa ini kesalahpahaman-kesalahpahaman seperti itu masih sering terjadi ketika bergaul dengan kelompok budaya yang berbeda. Problem utamanya adalah bahwa kita cenderung menganggap budaya kita sebagai suatu kemestian dan mempergunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya lain. Meskipun berbagai kelompok budaya semakin sering berinteraksi, bahkan dengan bahasa yang sama sekalipun, TIDAK BERARTI komunikasi akan berjalan mulus atau bahwa dengan sendirinya akan tercipta saling pengertian di antara keduanya. Hal ini juga yang mungkin menjadi penyebab seringnya terjadi ”gesekan” antara dua negeri serumpun yaitu Indonesia dan Malaysia, baik dalam persoalan perebutan hak karya cipta seni dan intelektual, masalah kabut asap, masalah tenaga kerja dan lain-lain. Masing-masing negara merasa yakin telah mengenal satu sama lain karena merasa telah ”serumpun” yaitu melayu, sehingga menganggap mudah segala hal. Padahal mekanisme komunikasi budaya tidaklah semudah itu. Tidak pernah ada dua budaya yang sama persis, meskipun dia ada di satu daerah yang sama. Tengoklah Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya. Meskipun semuanya tinggal di satu daerah, satu rumpun, bahkan mungkin bisa jadi ada pada daerah perbatasan antara dua wilayah. Namun, tidak ada dua budaya atau adat yang sama persis. Kesalahpahaman-kesalahpahaman antarbudaya di atas dapat dikurangi bila kita sedikitnya mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui prinsipprinsip komunikasi antarbudaya dan mempraktikannya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Lebih jauh, Litvin dalam Mulyana (2001:x) menyebutkan beberapa alasan pentingnya mempelajari komunikasi lintasbudaya, yakni : 1. Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan.2. Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman pengalaman anggotaanggota budaya tersebut meskipun nilai-nilai berbeda. 3. Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya. 4. Setiap individu dan atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri. 5. Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan polapola budaya mendasar yang berlaku. 6. Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain. 7. Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain, kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia. 8. Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tapi semakin berbahaya untuk memahaminya. 9. Pengalaman-pengalaman antarbudaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian. 10. Ketrampilan-ketrampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural. 11. Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbiter tidaklah menyusahkan atau memudahkan. 12. Situasi-situasi komunikasi antarbudaya tidaklah statik dan bukan pula stereotip. Karena itu, seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Ia harus disiapkan untuk menghadapi suatu situasi eksistensial. Dalam konteks ini, kepekaam, pengetahuan dan ketrampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan. II. Hubungan Diplomatik Indonesia-Malaysia dari Kacamata Komunikasi Antarbudaya Sebagaimana dikatakan di awal bahwa tidak pernah ada budaya yang sama persis, meskipun antara dua orang yang menggunkan bahasa yang sama dan tinggal di rumpun atau wilayah yang sama. Seperti halnya dalam interaksi masyarakat Indonesia dan Malaysia. Meskipun keduanya sama-sama satu rumpun yaitu melayu dan tinggal di wilayah yang sama yaitu Asia Tenggara, bukan berarti komunikasi di antara keduanya akan berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan. Ketika dua orang atau lebih dari budaya-budaya yang berlainan berkomunikasi, penafsiran keliru atas sandi merupakan pengalaman yang lazim. Komunikasi antar budaya dapat terjadi dalam konteks komunikasi manapun mulai dari komunikasi antara dua orang, komunikasi massa sampai komunikasi internasional. 2.1. Definisi Budaya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kebudayaan). Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi). Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, kita segera dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang.
Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan berbeda pula yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan. 2.2. Sarana Komunikasi Antarbudaya Dengan adanya inovasi teknologi dalam dua dekade terakhir ini, kehidupan kontemporer merupakan lautan hubungan sosial yang melingkar-lingkar. Di lautan tersebut kita harus melakukan hubungan antarbudaya yang semakin banyak. Peningkatan komunikasi antarbudaya telah berlangsung dengan berkembangnya jaringan penerbangan dan jaringan komunikasi elektronik. 2.3. Kendala terhadap Pemahaman Komunikasi Antar Budaya Interaksi antara orang-orang berbeda budaya telah menimbulkan lebih banyak salah pengertian daripada pengertian. Prinsip pertama adalah dari sisi aspek verbal dan nonverbal. Hal ini terkait dengan komunikasi sebagai suatu sistem sandi bersama. Kendala verbal berkaitan dengan perbedaan bahasa di kedua belah pihak yang berkomunikasi. Sedangkan faktor nonverbal berkaitan dengan gerak-gerik, penampilan, mimik muka, dan sejumlah isyarat tubuh lainnya. Misalnya bagi orang malaysia yang sangat santun, maka berpakaian rapi dan tertutup akan sangat dihargai. Prinsip kedua adalah kepercayaan dan perilaku yang berlainan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda untuk memberikan respons. Kendala lain terhadap pemahaman antar budaya diantaranya adalah : 1. Etnosentrisme Yaitu kecenderungan menghakimi nilai, adat istiadat, perilaku atau aspek-aspek budaya lain dan menggunakan kelompok kita sendiri dan adat istiadat kita sendiri sebagai standar bagi semua penilaian. Karena budaya ini tidak disadari, mungkin tidak terhindarkan bahwa kita menganggap kelompok kita sendiri, negeri kita sendiri, budaya kita sendiri sebagai yang terbaik, yang paling bermoral, yang lain tidak. Agaknya, hingga batas-batas tertentu, setiap kelompok mengajari anggotaanggotanya untuk menjadi etnosentris. Hal ini mempersulit komunikasi antarbudaya bahkan bila kedua pihak berinteraksi berusaha membuka pikiran mereka. 2. Penstereotipan (Stereotyping) Yakni suatu kecenderungan untuk memaksakan stereotip-stereotip pada kelompokkelompok orang, yang membatasi komunikasi kita dengan mereka. Hampir tidak mungkin bagi kita untuk tidak menstereotipkan sebuah kelompok yang tidak berhubungan dengan kita, lebih jauh lagi, tanpa hubungan pribadi, hampir tidak mungkin bagi kita untuk menghilangkan stereotip yang kita peroleh mengenai kelompok. 2.4. Efek Komunikasi Antarbudaya 2.4.1. Efek Terhadap Individu Meskipun komunikasi antarbudaya semakin mempengaruhi dunia tempat kita tinggal, kebanyakan ahli setuju bahwa hambatan-hambatan terhadap komunikasi dan pemahaman antarbudaya mungkin akan merupakan fajta bahwa sedikit komunikasi akan terjadi pada tingkat personal.
2.4.2. Efek Personal dan Efek Politis Kita tidak lagi secara terbatas menjadi anggota komunitas kita. Kita adalah warga dunia yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan politis, ekonomi dan sosial. 2.4.3. Efek Kultural Sejak zaman dahulu, budaya-budaya berubah karena saling berhubungannya antar anggota budaya yang satu dengan yang lain. Lalu karena komunikasi antarbudaya semakin lazim dan meluas, efek kontak budaya ini terjadi lebih cepat lagi. Pertukaran antarbudaya menimbulkan homogenisasi budaya, kecenderungan budayabudaya yang saling berhubungan untuk menjadi semakin mirip antara yang satu dengan lainnya. Homogenisasi budaya mengisyaratkan bahwa beberapa aspek suatu budaya akan mendominasi dan menghilangkan aspek-aspek budaya lainnya yang serupa.
III. Aplikasi Model Komunikasi (massa) Wesley dan MacLean Sebagai Alternatif Solusi dalam Hubungan Diplomatik Indonesia-Malaysia Tahun 1957, Bruce Wesley dan malcolm MacLean, keduanya teoretikus komunikasi merumuskan suatu model komunikasi yang mencakup komunikasi antar pribadi dan komunikasi massa, serta memasukkan umpan balik sebagai bagian integral dari proses komunikasi. Menurut kedua pakar ini, perbedaan dalam umpan balik inilah yang membedakan komunikasi antar pribadi dengan komunikasi massa. Umpan balik dari penerima bersifat segera dalam komunikasi antar pribadi, sementara dalam komunikasi massa bersifat minimal atau tertunda. Sumber dalam komunikasi antar pribadi lebih beruntung daripada dalam komunikasi massa dalam arti bahwa dalam komunikasi antar pribadi sumber dapat langsung memanfaatkan umpan balik dari penerima untuk mengetahui apakah pesannya mencapai sasaran dan sesuai dengan tujuan komunikasinya atau tidak. Dalam komunikasi massa, sumber, misalnya penceramah, calon presiden dalam debat kampanye plitik atau seorang menteri negara yang menyampaikan ide atau gagasannya melalui televisi, mereka tidak dapat secara langsung mengetahui bagaimana penerimaan pesannya oleh khalayak pemirsa. Umpan balik dapat diterima pengirim pesan dalam beberapa hari atau minggu kemudian. Dalam model Wesley dan Maclean terdapat lima unsur yaitu objek orientasi, pesan, sumber, penerima dan umpan balik. Sumber (A) menyoroti suatu objek atau peristiwa tertentu dalam lingkungannya (X) dan menciptakan pesan mengenai hal itu (X’) yang ia kirimkan kepada penerima (B). Pada gilirannya, penerima mengirimkan umpan balik (fBA) mengenai pesan kepada sumber. Hal ini seperti terlihat pada skema di bawah ini : X1 X1a X2 X3 X4 o o o Xoo Gb. Skema Komunikasi Model Westley dan maclean Westley dan MacLean menambahkah suatu unsur lain. C adalah gate keeper(penjaga gerbang) atau pemimpin pendapat (opinion leader) yang menerima pesan (X’) dari sumber media massa (A) atau menyoroti objek orientasi (X3 dan X4) dalam lingkungannya. Menggunakan informasi ini, penjaga gerbang kemudian menciptakan pesannya sendiri (X’’) yang ia kirimkan kepada penerima (B). Maka terbentuklah suatu system penyaringan, karena penerima tidak memperoleh pesan langsung dari sumbernya, melainkan dari orang yang memilih informasi dari berbagai sumber. Gate keeper (penjaga gerbang) atau opinion leader ini sangat penting menjadi jembatan penghubung sebagai penyaring informasi yang memberi suatu lingkungan yang berbeda dan memberikan suatu orientasi kepada penerima yang tidak berada dalam lingkungannya atau yang sebelumnya tidak ia perhatikan. Dalam konteks komunikasi massa, umpan balik dapat mengalir dengan tiga arah : dari penrima ke penjaga gerbang, dari penerima ke sumber media massa, dan dari pemimpin pendapat ke sumber media massa. Hal ini seperti tampak pada skema di bawah ini : fBA X3m X2 fBA X’ X1b X1 X1a X2 X’ X3 FBC X3C X4 o o X4 o Xoo Gb. Skema Model Komunikasi “Gate Keeper” Westley dan Maclean Westley dan MacLean tidak membatasi model mereka pada tingkat individu. Bahkan mereka menekankan bahwa penerima mungkin suatu kelompok atau suatu lembaga social. Menurut mereka, setiap individu, kelompok atau suatu system mempunyai kebutuhan untuk mengirim dan menerima pesan sebagai sarana orientasi terhadap lingkungan. Terkait dengan permasalahan hubungan diplomatik Negara Republik Indonesia dengan Negara Malaysia, maka model komunikasi Westley dan macLean ini sangat tepat untuk dijadikan sebagai salah satu solusi dari sisi komunikasi. Kedua Negara meskipun memiliki latarbelakang budaya yang hampir sama dan tinggal di wilayah yang serumpun pula, namun tetaplah merupakan dua negara, dua budaya yang memiliki karakteristik, sifat dan anutan nilai dan norma yang berbeda dan khas. Oleh sebab itu dalam proses komunikasi diantara keduanya diperlukan seorang gate keeper atau penjaga gerbang yang akan berperan sebagai penerjemah pesan. Ia akan menyaring pesan, ide gagasan yang disampaikan untuk kemudian dia sampaikan kembali dengan melalui proses penelaahan dan penyetaraan disesuaikan dengan khas budaya penerima. Ia akan menyampaikan pesan dengan cara dan metode yang bisa ditrima oleh penerima pesan. Dalam hal ini fungsi gate keeper ini bisa dipegang oleh para Menteri (atau apa pun namanya) di masing-masing negara tersebut sesuai dengan tema permasalahan yang dihadapi. Bila terkait dengan masalah TKI, berarti Menteri Tenaga Kerja (atau apapun namanya) yang menangani. Bila terkait dengan masalah seni dan budaya, berarti Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya (atau apapun namanya) yang menangani, dan sebagainya. Satu hal yang penting pula adalah frekuensi komunikasi diantara keduanya yang harus lebih intens, sehingga segala bias dan kerancuan yang mungkin ada bisa ditangani segera untuk selanjutnya diklarifikasi dan disampaikan kepada khalayak masing-masing negara menurut cara dan metode penyampaian yang disesuakan dengan latar belakang budaya, pendidikan serta nilai dan norma khalayak penerima pesan di negaranya. Bagaimanapun seorang menteri suatu negara akan sangat memahami karakteristik khalayak masyarakatnya sendiri. Hal ini dinilai jauh lebih efektif dibanding dengan penyampaian pesan yang seadanya dan mengalir begitu saja tanpa mempertimbangkan bahwa sebenarnya banyak faktor yang bisa menyebabkan pesan itu tidak sampai secara efektif dan malah bisa menimbulkan salah pengertian atau mungkin perpecahan. Semua permasalahan bisa diselesaikan dan dikomunikaskan. Namun, hubungan Indonesia dan Malaysia bisa mengalami kekakuan, sensitif, dan emosional, bila tidak diletakkan dalam kaidah, norma, atau aturan sebagai bangsa bersaudara, dalam menghadapi masalah. Indonesia dan Malaysia telah ditakdirkan sebagai bangsa yang bertetangga dan serumpun, sehingga setiap masalah yang ada idealnya dapat diselesaikan dengan mencari jalan yang baik, mencari persamaan, bukan perbedaan. Bila semua permasalahan in tidak terpecahkan juga, maka ada dua faktor yang dipastikan X2 X3m X’ fCA menjadi penyebab semua ini, yaitu kedua negara itu, Indonesia maupun Malaysia yang serumpun ini ternyata selama belum saling mengenal satu sama lain dengan baik. Faktor kedua adalah egosentris dan keserakahan semata.
sumber ilustrasi gambar: menujuhijau.blogspot.com
Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan berbeda pula yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan. 2.2. Sarana Komunikasi Antarbudaya Dengan adanya inovasi teknologi dalam dua dekade terakhir ini, kehidupan kontemporer merupakan lautan hubungan sosial yang melingkar-lingkar. Di lautan tersebut kita harus melakukan hubungan antarbudaya yang semakin banyak. Peningkatan komunikasi antarbudaya telah berlangsung dengan berkembangnya jaringan penerbangan dan jaringan komunikasi elektronik. 2.3. Kendala terhadap Pemahaman Komunikasi Antar Budaya Interaksi antara orang-orang berbeda budaya telah menimbulkan lebih banyak salah pengertian daripada pengertian. Prinsip pertama adalah dari sisi aspek verbal dan nonverbal. Hal ini terkait dengan komunikasi sebagai suatu sistem sandi bersama. Kendala verbal berkaitan dengan perbedaan bahasa di kedua belah pihak yang berkomunikasi. Sedangkan faktor nonverbal berkaitan dengan gerak-gerik, penampilan, mimik muka, dan sejumlah isyarat tubuh lainnya. Misalnya bagi orang malaysia yang sangat santun, maka berpakaian rapi dan tertutup akan sangat dihargai. Prinsip kedua adalah kepercayaan dan perilaku yang berlainan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda untuk memberikan respons. Kendala lain terhadap pemahaman antar budaya diantaranya adalah : 1. Etnosentrisme Yaitu kecenderungan menghakimi nilai, adat istiadat, perilaku atau aspek-aspek budaya lain dan menggunakan kelompok kita sendiri dan adat istiadat kita sendiri sebagai standar bagi semua penilaian. Karena budaya ini tidak disadari, mungkin tidak terhindarkan bahwa kita menganggap kelompok kita sendiri, negeri kita sendiri, budaya kita sendiri sebagai yang terbaik, yang paling bermoral, yang lain tidak. Agaknya, hingga batas-batas tertentu, setiap kelompok mengajari anggotaanggotanya untuk menjadi etnosentris. Hal ini mempersulit komunikasi antarbudaya bahkan bila kedua pihak berinteraksi berusaha membuka pikiran mereka. 2. Penstereotipan (Stereotyping) Yakni suatu kecenderungan untuk memaksakan stereotip-stereotip pada kelompokkelompok orang, yang membatasi komunikasi kita dengan mereka. Hampir tidak mungkin bagi kita untuk tidak menstereotipkan sebuah kelompok yang tidak berhubungan dengan kita, lebih jauh lagi, tanpa hubungan pribadi, hampir tidak mungkin bagi kita untuk menghilangkan stereotip yang kita peroleh mengenai kelompok. 2.4. Efek Komunikasi Antarbudaya 2.4.1. Efek Terhadap Individu Meskipun komunikasi antarbudaya semakin mempengaruhi dunia tempat kita tinggal, kebanyakan ahli setuju bahwa hambatan-hambatan terhadap komunikasi dan pemahaman antarbudaya mungkin akan merupakan fajta bahwa sedikit komunikasi akan terjadi pada tingkat personal.
2.4.2. Efek Personal dan Efek Politis Kita tidak lagi secara terbatas menjadi anggota komunitas kita. Kita adalah warga dunia yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan politis, ekonomi dan sosial. 2.4.3. Efek Kultural Sejak zaman dahulu, budaya-budaya berubah karena saling berhubungannya antar anggota budaya yang satu dengan yang lain. Lalu karena komunikasi antarbudaya semakin lazim dan meluas, efek kontak budaya ini terjadi lebih cepat lagi. Pertukaran antarbudaya menimbulkan homogenisasi budaya, kecenderungan budayabudaya yang saling berhubungan untuk menjadi semakin mirip antara yang satu dengan lainnya. Homogenisasi budaya mengisyaratkan bahwa beberapa aspek suatu budaya akan mendominasi dan menghilangkan aspek-aspek budaya lainnya yang serupa.
III. Aplikasi Model Komunikasi (massa) Wesley dan MacLean Sebagai Alternatif Solusi dalam Hubungan Diplomatik Indonesia-Malaysia Tahun 1957, Bruce Wesley dan malcolm MacLean, keduanya teoretikus komunikasi merumuskan suatu model komunikasi yang mencakup komunikasi antar pribadi dan komunikasi massa, serta memasukkan umpan balik sebagai bagian integral dari proses komunikasi. Menurut kedua pakar ini, perbedaan dalam umpan balik inilah yang membedakan komunikasi antar pribadi dengan komunikasi massa. Umpan balik dari penerima bersifat segera dalam komunikasi antar pribadi, sementara dalam komunikasi massa bersifat minimal atau tertunda. Sumber dalam komunikasi antar pribadi lebih beruntung daripada dalam komunikasi massa dalam arti bahwa dalam komunikasi antar pribadi sumber dapat langsung memanfaatkan umpan balik dari penerima untuk mengetahui apakah pesannya mencapai sasaran dan sesuai dengan tujuan komunikasinya atau tidak. Dalam komunikasi massa, sumber, misalnya penceramah, calon presiden dalam debat kampanye plitik atau seorang menteri negara yang menyampaikan ide atau gagasannya melalui televisi, mereka tidak dapat secara langsung mengetahui bagaimana penerimaan pesannya oleh khalayak pemirsa. Umpan balik dapat diterima pengirim pesan dalam beberapa hari atau minggu kemudian. Dalam model Wesley dan Maclean terdapat lima unsur yaitu objek orientasi, pesan, sumber, penerima dan umpan balik. Sumber (A) menyoroti suatu objek atau peristiwa tertentu dalam lingkungannya (X) dan menciptakan pesan mengenai hal itu (X’) yang ia kirimkan kepada penerima (B). Pada gilirannya, penerima mengirimkan umpan balik (fBA) mengenai pesan kepada sumber. Hal ini seperti terlihat pada skema di bawah ini : X1 X1a X2 X3 X4 o o o Xoo Gb. Skema Komunikasi Model Westley dan maclean Westley dan MacLean menambahkah suatu unsur lain. C adalah gate keeper(penjaga gerbang) atau pemimpin pendapat (opinion leader) yang menerima pesan (X’) dari sumber media massa (A) atau menyoroti objek orientasi (X3 dan X4) dalam lingkungannya. Menggunakan informasi ini, penjaga gerbang kemudian menciptakan pesannya sendiri (X’’) yang ia kirimkan kepada penerima (B). Maka terbentuklah suatu system penyaringan, karena penerima tidak memperoleh pesan langsung dari sumbernya, melainkan dari orang yang memilih informasi dari berbagai sumber. Gate keeper (penjaga gerbang) atau opinion leader ini sangat penting menjadi jembatan penghubung sebagai penyaring informasi yang memberi suatu lingkungan yang berbeda dan memberikan suatu orientasi kepada penerima yang tidak berada dalam lingkungannya atau yang sebelumnya tidak ia perhatikan. Dalam konteks komunikasi massa, umpan balik dapat mengalir dengan tiga arah : dari penrima ke penjaga gerbang, dari penerima ke sumber media massa, dan dari pemimpin pendapat ke sumber media massa. Hal ini seperti tampak pada skema di bawah ini : fBA X3m X2 fBA X’ X1b X1 X1a X2 X’ X3 FBC X3C X4 o o X4 o Xoo Gb. Skema Model Komunikasi “Gate Keeper” Westley dan Maclean Westley dan MacLean tidak membatasi model mereka pada tingkat individu. Bahkan mereka menekankan bahwa penerima mungkin suatu kelompok atau suatu lembaga social. Menurut mereka, setiap individu, kelompok atau suatu system mempunyai kebutuhan untuk mengirim dan menerima pesan sebagai sarana orientasi terhadap lingkungan. Terkait dengan permasalahan hubungan diplomatik Negara Republik Indonesia dengan Negara Malaysia, maka model komunikasi Westley dan macLean ini sangat tepat untuk dijadikan sebagai salah satu solusi dari sisi komunikasi. Kedua Negara meskipun memiliki latarbelakang budaya yang hampir sama dan tinggal di wilayah yang serumpun pula, namun tetaplah merupakan dua negara, dua budaya yang memiliki karakteristik, sifat dan anutan nilai dan norma yang berbeda dan khas. Oleh sebab itu dalam proses komunikasi diantara keduanya diperlukan seorang gate keeper atau penjaga gerbang yang akan berperan sebagai penerjemah pesan. Ia akan menyaring pesan, ide gagasan yang disampaikan untuk kemudian dia sampaikan kembali dengan melalui proses penelaahan dan penyetaraan disesuaikan dengan khas budaya penerima. Ia akan menyampaikan pesan dengan cara dan metode yang bisa ditrima oleh penerima pesan. Dalam hal ini fungsi gate keeper ini bisa dipegang oleh para Menteri (atau apa pun namanya) di masing-masing negara tersebut sesuai dengan tema permasalahan yang dihadapi. Bila terkait dengan masalah TKI, berarti Menteri Tenaga Kerja (atau apapun namanya) yang menangani. Bila terkait dengan masalah seni dan budaya, berarti Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya (atau apapun namanya) yang menangani, dan sebagainya. Satu hal yang penting pula adalah frekuensi komunikasi diantara keduanya yang harus lebih intens, sehingga segala bias dan kerancuan yang mungkin ada bisa ditangani segera untuk selanjutnya diklarifikasi dan disampaikan kepada khalayak masing-masing negara menurut cara dan metode penyampaian yang disesuakan dengan latar belakang budaya, pendidikan serta nilai dan norma khalayak penerima pesan di negaranya. Bagaimanapun seorang menteri suatu negara akan sangat memahami karakteristik khalayak masyarakatnya sendiri. Hal ini dinilai jauh lebih efektif dibanding dengan penyampaian pesan yang seadanya dan mengalir begitu saja tanpa mempertimbangkan bahwa sebenarnya banyak faktor yang bisa menyebabkan pesan itu tidak sampai secara efektif dan malah bisa menimbulkan salah pengertian atau mungkin perpecahan. Semua permasalahan bisa diselesaikan dan dikomunikaskan. Namun, hubungan Indonesia dan Malaysia bisa mengalami kekakuan, sensitif, dan emosional, bila tidak diletakkan dalam kaidah, norma, atau aturan sebagai bangsa bersaudara, dalam menghadapi masalah. Indonesia dan Malaysia telah ditakdirkan sebagai bangsa yang bertetangga dan serumpun, sehingga setiap masalah yang ada idealnya dapat diselesaikan dengan mencari jalan yang baik, mencari persamaan, bukan perbedaan. Bila semua permasalahan in tidak terpecahkan juga, maka ada dua faktor yang dipastikan X2 X3m X’ fCA menjadi penyebab semua ini, yaitu kedua negara itu, Indonesia maupun Malaysia yang serumpun ini ternyata selama belum saling mengenal satu sama lain dengan baik. Faktor kedua adalah egosentris dan keserakahan semata.
sumber ilustrasi gambar: menujuhijau.blogspot.com
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda