Pemilukada Sebuah Catatan dan Reformasi Pemilu
Pemilukada berarti pemilihan pemimpin-pemimpin didaerah, karena esensinya mengangkat isu-isu local dalam pemilihan dan mengakomodasikan suara masyarakat, tingkat grass-root dalam pemilihan. memang pada awalnya pemilu kada disebut dengan pilkada, pilkada dilakukakan pada tahun 2004 dan diganti menjadi pemilu kada pada tahun 2009, pemilu kada berawal dari kebijakan otonomi daerah UU no.22 tahun 1999. Namun itu bukan salah satu bagian saja masih kita ketahui dengan adanya pemilukada juga diakibatkan desentralisasi pemerintahan.
Jika kita meruntut dari awal, kita akan menemukan disaat penyelenggaraan itu berlangsung, kita semua mengetahui bahwa penyelenggaraan pemilu kada di lakukan oleh KPUD (komisi pemilihan umum daerah). KPUD itu sendiri bertugas menjaring Aktor-aktor local untuk bersaing mendapatkan kursi. Dan tugas dari KPUD juga melakukan pungutan suara.
Pemilukada juga merupakan ajang perebutan kekuasaan yang sah dalam demokrasi. Melalui pemilu rakyat di setiap daerah mendapatkan kedaulatan yang sepenuhnya. Suara terbesar dari rakyatlah yang akan menentukan pihak mana yang boleh memegang kekuasaan didaerah tersebut. Namun justru disanalah dilema demokrasi. Memang benar menjunjung tinggi suara terbanyak di suatu daerah, namun meminggirkan pihak minoritas. Pemilukada merupakan wahana kompetisi yang mengharuskan adanya pemenang di atas pihak yang kalah. Seperti halnya kita bisa lihat pemilukada juga merupakan mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui wakil-wakil yang terpilih atau partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi atau kesatuan masyarakat tetap terjamin. Manfaat pemilu ini berkaitan dengan asumsi bahwa masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan bahkan saling bertentangan, dan pertentangn itu semestinya diselesaikan melalui proses musyawarah.
pemilukada merupakan sarana memobilisasi, menggerakkan atau menggalang dukungan rakyat terhadap proses politik didaerah. Hal yang terakhir ini semakin urgen, karena belakangan masyarakat mengalami semacam alienasi dari proses pengambilan kebijakan pemerintah daerah. Atau, ada jarak yang lebar antara proses pengambilan kebijakan dan kepentingan elit lokal dengan aspirasi ditingkat akar rumput yang setiap saat bisa mendorong ketidakpercayaan terhadap partai politik dan pemerintahan daerah.
Ajang pemilukada memang merupakan pintu Rekrutmen elit politik pemerintahan dan aparat pelaksana dalam pembuatan rancangan dan pelaksanaan pembangunan. Maka dari itu setiap elit politik local yang terpilih nantinya harus mampu memenuhi harapan para konstituen didaerahnya. Karena itu kepemimpinan di daerah dan pendistribusian kekuasaan lokal haruslah berjalan efektif. Modal yang tak kalah pentingnya yang harus dimiliki oleh suatu rezim kepemimpinan didaerah adalah prinsip dan komitmen pemimpin yang menjadi elite local atau bisa disebut pemimpin daerah. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak dari dahulu sampai sekarang dan masa yang akan datang yang selalu menjadi kata kunci adalah sejauh mana prinsip dan komitmen ini mengkristal dan menjadi nilai kepribadian para elit lokal dan segenap aparatur negara bukan hanya segelintir pemimpin elit local saja. Hal tersebut menjadi penting karena penyebab adanya perubahan dan kemajuan dalam pembangunan. Konsistensi diri, integritas dan kreasi intelektual para elit penyelenggara negara dalam implementasi regulasi dan kebijakan di daerah untuk menangani faktor-faktor atau problem internal dan eksternal dalam pengelolaan suatu daerah menjadi faktor penentu keberhasilan yang diharapkan oleh segenap lapisan masyarakat local daerah.
Pemilukada dan realita dibaliknya
Persoalan selanjutnya adalah dimana basis pemilu local itu akan diletakkan. Ini mengingat daerah meliputi propinsi dan kabupaten/kota. Pemisahan semacam ini merupakan konsekwensi dari tingkatan-tingkatan pemerintahan yang masing-masing memiliki isu dan agenda politik yang berbeda. Kita semua harus mencermati bahwa sebuah bentuk pemilukada itu berlangsung juga merupakan suatu hal yang kita lihat,maka dari itu menilik dari berbagai sudut pandang yang sama kita tau bahwa Organisasi Lokal atau kita bisa sebut Organ local Begitu berpangaruh pada proses mobilisasi massa karena Hal seperti itu merupakan hal yang begitu wajar dan biasa.karena sudah ada demokrasi politik di setiap daerah.memang yang selalu kita soroti adalah selalu Partai Politik, yang nota bene merupakan Organisasi yang sering mengusung elit politik local dalam berkancah di arena perpolitikan setiap daerah. Seperti di ibaratkan Partai politik seperti Sebuah sungai besar yang dimana airnya mengalir dari sejumlah anak sungai yang besar maupun kecil. Kita semua Tahu bahwa dalam kehidupan Kepartaian , Aliran merupakan perwujudan dari pembentukan dukungan melalui mobilisasi massa[2].
pemilukada langsung pada gilirannya akan memberikan pendidikan politik kepada rakyat di aerah untuk memilih dan menetukan pemimpinnya sendiri tanpa adanya intervensi dari siapapun, termasuk pemerintah pusat dan/atau elite-elite politik di tingkat pusat. Apabila pemilihan kepala daerah langsung ini berjalan sebagaimana idealnya, maka pada gilirannya nanti akan memperkuat demokrasi di Indonesia serta akan menumbuhkembangkan demoktratisasi di tingkat lokal. Masyarakat sebagai pemilih mendapat perhatian yang khusus dari para calon kepala daerah, hal ini terjadi karena dalam sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kemenangan seseorang atau pasangan calon kepala daerah, sehingga kegiatan atau program para kandidat dalam rangka memenangkan pemilihan tersebut terkonsentrasi pada usaha mempengaruhi perilaku memilih di masyarakat daerah.[3]
Jika kita tilik dari sudut pandang pemilih ditingkat daerah maka, Perilaku pemilih dapat diurai dalam tiga pendekatan utama, masing-masing pendekatan sosiologi, psikologi, dan pilihan rasional. Pendekatan sosiologi atau Mazhab Columbia (The Columbia Scholl of Electoral Behavior),diprakarsai Paul Lazarsfeld (1944) menjelaskan bahwa, karakteristik dan pengelompokan sosial seperti umur, jenis kelamin, agama, dan lainnya sebagai faktor yang membentuk perilaku pemilih. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku dalam memilih selain faktor umum seperti status sosio ekonomi, agama, pengaruh keluarga, juga dipengaruhi oleh tiga hal utama. Pertama identitas partai, dalam suatu sistem demokrasi biasanya rakyat sudah mengelompokkan diri Kedua orientasi isu, terminologi ini digunakan untuk menggambarkan kecenderungan keberpihakan masyarakat pemilih terhadap isu-isu tertentu. Dukungan pemilih terhadap kandidat juga dipengaruhi oleh bagaimana kandidat menyikapi isu tersebut. Ketiga orientasi kandidat, terminologi ini digunakan untuk menggambarkan kualitas instrumental kandidat seperti kemampuan kandidat dalam diplomasi luar negeri, pembangunan ekonomi dan sebaginya menurut pandangan para pemilih serta menggambarkan kualitas simbolik kandidat tersebut berdasarkan sifat kesehariannya (bukan berdasar apa yang dilakukannya) seperti kerendahan hati, kesederhanaan, dan sebagainya. Keterwakilan rakyat terhadap tokoh sangat tergantung pada karakter (orientasi kandidat) dari tokoh ini sendiri dan analisa karakterisasi tokoh dapat menggunakan teori “the importance of individual and role variables”. Analisa ini mengarahkan kita bagaimana karakterisasi tokoh dapat mempengaruhi pengambilan keputusan atau bahkan tanpa terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan. Peran individu dalam momen sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari fungsi-fungsi individu (kualitas simbolik) mereka yaitu bakat, penampilan, dan latar belakang.[4]
Maka dapat diambil sebuah kesimpulan garis besar untuk menjadi suatu kesepakatan bersama mengenai pemilukada maka baiknya merombak managemen yang sudah ada dengan lebih bijak. Agar tercipta suasana aman dan nyaman dalam demokrasi