Ramadan dan Budaya Pasar
05 September 2010
Kesucian Ramadan
kerap kali diganggu oleh budaya pasar. Seolah teori ekonomi, supply
and demand, menjadi amunisi pamungkas bagi justifikasi tuntutan pasar.
Budaya pasar seolah seirama dengan tetabuhan yang meningkahi riuh
rendah tarian Ramadan. Masyarakat Muslim dirayu dan diajak untuk sibuk
dengan persiapan materialistik belaka, mulai dari penyediaan bahan
penganan sampai kebutuhan badaniah lainnya.
Ramadan
tak lagi dimaknai sebagai bulan pembakaran dosa dan perbaikan akhlak
untuk menjadi diri paripurna (insan kamil) dengan predikat muttaqin
(orang yang takwa). Doa telah kehilangan esensi permohonan kepada Sang
Khalik. Ungkapan kata maaf di antara kita sebatas basa-basi komunikasi.
Teknologi telekomunikasi sebagai bagian produk budaya pasar turut andil pula membuyarkan kekhusyukan Ramadan. Malam Ramadan yang semestinya diisi dengan Tarawih, tadarus, dan iktikaf diwarnai dengan program "telefon gratis ke semua operator", "gratis menelefon selama sahur", dan program
"ngobrol-ngobrol" gratis lainnya. Komunikasi verbalistik sekadar
ngobrol atau bergosip telanjur menjadi keniscayaan pada masyarakat
kita. Padahal, komunikasi islami pasti berdimensi amar makruf nahi
mungkar (mengajak yang baik, mencegah yang mungkar), saling mewasiatkan
yang benar dan mewasiatkan dengan kesabaran, sampaikan olehmu walau
hanya satu ayat, dan seterusnya. Syariat Islam melarang keras (baca :
mengharamkan) bila sampai adanya deviasi komunikasi (penyimpangan
komunikasi) berikut produk turunannya, seperti gibah, namimah, dan
fitnah. Trilogi deviasi komunikasi itu kini menjadi komoditas murahan
yang terbiasa "diperdagangkan" di sebagian acara infotainment.
Perselingkuhan
antara media elektronik (dalam hal ini televisi) dan berbagai produk
dengan alasan kebutuhan pangsa pasar potensial selama Ramadan membuat pemirsa terlena dengan dominasi program tawa canda (yang sejatinya dapat mematikan mata hati), sinetron dengan plot cerita yang dipaksakan dan nyaris seragam, serta
pengeksploitasian kekayaan sekaligus kemiskinan yang tampak hitam
putih, telah menjadi menu saji setiap hari di ruang publik. Sementara
berita hanyalah sebagai pelengkap penyerta informasi. Di bulan Ramadan ini pula, nyaris semua program
televisi menyesuaikan diri (atau tahu diri?). Para presenter pengisi
acara lain juga tak ketinggalan berubah wujud dengan menutup aurat ala
kadarnya. Barangkali terminologi (istilah) yang tepat untuk
menggambarkan acara televisi sekarang sebagai "mendadak islami", kendati
esensinya tetap sama, yaitu selera pemirsa, pangsa pasar, dan budaya
pasar itu sendiri.
Kekhusyukan ibadah Ramadan,
sebagaimana pakem ibadah lainnya (yang memerlukan kekhusyukan), seakan
menjadi sesuatu yang formalitas, rutinitas, dan terkesan statis. Oleh
karena itu, bagi pelaku budaya pasar, bagaimana suasana Ramadan
tersebut "dikreasi" sedemikian rupa sehingga lebih hidup, semarak,
ramai, dan ingar-bingar. Suara petasan dan kembang api tak ayal telah
menjadi "ikon" Ramadan. Pada titik ini, bulan Ramadan menjadi kehilangan "roh"-nya sebagai bulan yang penuh rahmat, berkah, dan magfirah serta garansi dari Allah bagi seorang Mukmin terbebas dari api neraka.
Deskripsi
ini bukanlah sikap sinisme pesimistik. Fenomena ini tak lain merupakan
konfigurasi anomali masyarakat kita yang tergiur dan tergiring dunia
materialistik, yang terlalu hubuddunya (cinta dunia) dan hedonistik.
Indikasi-indikasi spiritualisme ukhrawiyah telah menjadi etalase
manipulatif, bahkan semakin mengukuhkan eksistensi budaya pasar. Apa
boleh buat, budaya pasar telah menggurita begitu masif dan menjadi
virus peradaban manusia. Ataukah malah peradaban manusia itu terbentuk
dari budaya pasar? Wallahualam bissawab.
Opini Pikiran Rakyat, 28 Agustus 2010
Read more: http://artikel-media.blogspot.com/2010/08/ramadan-dan-budaya-pasar.html#ixzz0ycoRteyP
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda