Koalisi dan Oposisi Dalam UUD 1945
Sistem presidensial
Sejatinya UUD 1945 menganut sistem presidensial. Di antara ciri sistem presidensial adalah periode masa jabatan presiden yang pasti (fixed term), yakni lima tahun. Presiden tidak dapat dimakzulkan dalam masa jabatannya kecuali melanggar hal-hal yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 7A. Dalam sistem presidensial DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden, kecuali Presiden sendiri yang menjatuhkan dirinya sendiri melalui tindak pelanggaran hukum, perbuatan tercela, maupun tidak lagi memnuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden. Sebaliknya, Presiden tidak bisa membubarkan DPR. Keduanya tidak lebih tinggi atau lebih rendah satu sama lain, dan hanya bisa dibedakan dari perspektif fungsi dan kewenangannya.
DPR hanya berpendapat sesuai dengan hak yang dimilikinya bahwa presiden telah melanggar hukum dan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden tersebut. Adapun pemeriksaan, penyelidikan, dan keputusan atas pendapat DPR tersebut menjadi wewenang penuh Mahkamah Konstitusi (MK).
Bahkan seandainya MK membuktikan kebenaran pendapat DPR sekalipun, dan DPR mengajukan usulan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden, MPR dapat saja tidak memberhentikannya. Sebab, Presiden/Wakil Presiden masih diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan atas keputusan MK yang menyatakan Presiden telah terbukti bersalah. Penjelasan President/Wakil Presiden tersebut bisa saja diterima oleh MPR. Walhasil, dalam UUD 1945 sekarang ini kedudukan presiden secara politik sangatlah kuat. Pintu pemakzulan memang ada, tetapi jalannya sangat panjang dan berliku serta pintunya sangat kecil.
Walhasil, hubungan antara keduanya tidak didesain dalam pola koalisi atau oposisi, melainkan dalam relasi checks and balances. DPR tidak boleh menerima atau menolak RUU secara apriori yang diajukan pemerintah. Dalam fungsi anggaran DPR tidak dibenarkan menerima atau menolak secara arbitrer RAPBN yang diajukan Presiden. Dalam bidang pengawasan DPR tidak boleh secara apriori menutup mata terhadap apa yang dilakukan presiden/pemerintah. Hatta ketika Presiden tersebut datang dari partaipolitik yang sama! Kriteria penerimaan atau penolakan DPR hanyalah satu: berpihak kepada kepentingan rakyat ataukah tidak!
Sampai disini semuanya jelas dan terang benderang. Anggota DPR—partai politik induknya bergabung dalam koalisi pemerintahan maupun berada di luar pemerintahan—tugas konstitusionalnya menjalankan ketiga fungsi tersebut, terutama pengawasan. Meskipun berasal dari partai yang berkoalisi, angggota DPR tetap bertugas mengawasi presiden yang didukung koalisi. Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely! Siapapun dia, begitu memegang kekuasaan, yang berlaku adalah hukum kekuasaan: cenderung untuk korup! Dan karena itu harus diawasi!
Dalam konteks dan perspektif ini dalam sistem UUD 1945 koalisi partai-partai politik hanya bisa dilakukan di dalam satu lembaga negara, tidak bisa lintas lembaga negara. Partai-partai politik di DPR justru harus berkoalisi untuk melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Partai-partai politik yang berkoalisi yang menempatkan menteri di kabinet/pemerintahan harus berkoalisi untuk menjalankan roda pemerintahan.
Agak aneh kalau akhir-akhir ini wacana tentang koalisi dan oposisi mendominasi ruang publik kita. Padahal bagi anggota DPR sebenarnya nothing to do dengan sikap partainya. Meski partainya bergabung dalam kabinet, fungsi dan wewenang anggota DPR tetap seperti itu—menjalankan fungsi pengawasan.
Kader Partai Golkar, PAN atau Partai Demokrat yang menjadi menteri bertugas menjalankan pemerintahan. Yang menjadi anggota DPR bertugas menjalankan fungsi pengawasan. Tidak peduli meskipun yang diawasi adalah sesama kader dari partai yang sama. Walhasil, yang bergabung dalam kabinet bertugas menjalankan pemerintahan negara, yang bergabung dalam DPR bertugas mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam UUD 1945 tidak ada koalisi, tidak ada oposisi. Manis bukan?
Oleh : Hajriyanto Y Thohari
Opini Solo Pos 18 Mei 2010
DPR hanya berpendapat sesuai dengan hak yang dimilikinya bahwa presiden telah melanggar hukum dan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden tersebut. Adapun pemeriksaan, penyelidikan, dan keputusan atas pendapat DPR tersebut menjadi wewenang penuh Mahkamah Konstitusi (MK).
Bahkan seandainya MK membuktikan kebenaran pendapat DPR sekalipun, dan DPR mengajukan usulan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden, MPR dapat saja tidak memberhentikannya. Sebab, Presiden/Wakil Presiden masih diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan atas keputusan MK yang menyatakan Presiden telah terbukti bersalah. Penjelasan President/Wakil Presiden tersebut bisa saja diterima oleh MPR. Walhasil, dalam UUD 1945 sekarang ini kedudukan presiden secara politik sangatlah kuat. Pintu pemakzulan memang ada, tetapi jalannya sangat panjang dan berliku serta pintunya sangat kecil.
Walhasil, hubungan antara keduanya tidak didesain dalam pola koalisi atau oposisi, melainkan dalam relasi checks and balances. DPR tidak boleh menerima atau menolak RUU secara apriori yang diajukan pemerintah. Dalam fungsi anggaran DPR tidak dibenarkan menerima atau menolak secara arbitrer RAPBN yang diajukan Presiden. Dalam bidang pengawasan DPR tidak boleh secara apriori menutup mata terhadap apa yang dilakukan presiden/pemerintah. Hatta ketika Presiden tersebut datang dari partaipolitik yang sama! Kriteria penerimaan atau penolakan DPR hanyalah satu: berpihak kepada kepentingan rakyat ataukah tidak!
Sampai disini semuanya jelas dan terang benderang. Anggota DPR—partai politik induknya bergabung dalam koalisi pemerintahan maupun berada di luar pemerintahan—tugas konstitusionalnya menjalankan ketiga fungsi tersebut, terutama pengawasan. Meskipun berasal dari partai yang berkoalisi, angggota DPR tetap bertugas mengawasi presiden yang didukung koalisi. Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely! Siapapun dia, begitu memegang kekuasaan, yang berlaku adalah hukum kekuasaan: cenderung untuk korup! Dan karena itu harus diawasi!
Dalam konteks dan perspektif ini dalam sistem UUD 1945 koalisi partai-partai politik hanya bisa dilakukan di dalam satu lembaga negara, tidak bisa lintas lembaga negara. Partai-partai politik di DPR justru harus berkoalisi untuk melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Partai-partai politik yang berkoalisi yang menempatkan menteri di kabinet/pemerintahan harus berkoalisi untuk menjalankan roda pemerintahan.
Agak aneh kalau akhir-akhir ini wacana tentang koalisi dan oposisi mendominasi ruang publik kita. Padahal bagi anggota DPR sebenarnya nothing to do dengan sikap partainya. Meski partainya bergabung dalam kabinet, fungsi dan wewenang anggota DPR tetap seperti itu—menjalankan fungsi pengawasan.
Kader Partai Golkar, PAN atau Partai Demokrat yang menjadi menteri bertugas menjalankan pemerintahan. Yang menjadi anggota DPR bertugas menjalankan fungsi pengawasan. Tidak peduli meskipun yang diawasi adalah sesama kader dari partai yang sama. Walhasil, yang bergabung dalam kabinet bertugas menjalankan pemerintahan negara, yang bergabung dalam DPR bertugas mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam UUD 1945 tidak ada koalisi, tidak ada oposisi. Manis bukan?
Oleh : Hajriyanto Y Thohari
Opini Solo Pos 18 Mei 2010
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda