Komunikasi dalam Budaya
Para sosiolog dan antropolog menyarikan bahwa budaya merupakan proses konvensi atau kesepakatan berdasarkan pemikiran dan perasaan manusia dengan kumpulannya. Termasuk salah satunya ialah kesepakatan bahasa. Perlu ditekankan dalam pemaknaan bahasa di sini bukan saja perihal komunikasi verbal tetapi juga bahasa yang mengarah kepada non verbal. Secara jelas, mungkin kita tetap bisa hidup tanpa budaya dan bahasa, namun tidak sebaik sekarang.
Mungkin kita tetap bisa hidup di zaman batu karena budaya dan bahasa yang disepakati pada saat itu lebih sederhana daripada sekarang ini. Namun karena kita telah terbiasa dengan kemajuan budaya dan bahasa kita sehingga kalau sekarang kita diminta kembali ke zaman batu tentunya akan mengalami tekanan (stress).
Mengapa stress? Karena terjadi kesenjangan antara harapan kita yang ingin berkomunikasi dan berbudaya secara maju namun realitanya kalau kita kembali ke zaman batu, hal tersebut tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, fenomena akan selalu kembali merujuk kepada konteksnya (Albert Camus). Oleh karena pentingnya budaya dalam proses komunikasi sebagai salah satu determinan atau faktor penentu maka Burgon & Huffner (2002) menjelaskan bahwa budaya merupakan salah satu fondasi utama dalam proses komunikasi. Pernyataan ini mempunyai alas an bahwa budaya merupakan faktor pembentuk adanya bahasa yang disepakati dalam komunitas tertentu.
Sekali lagi, perluasan jenis bahasa ini termasuk bahasa verbal dan non verbal. Contoh bahasa yang terbentuk dengan kesepakatan budaya secara verbal ialah Bahasa Indonesia. Sedangkan contoh bahasa yang terbentuk dengan kesepakatan budaya secara non verbal dalam konteks budaya Indonesia ialah ‘anggukan’ yang berarti setuju atau ‘ya’. Mungkin akan berbeda kalau kita melihat dalam konteks budaya lain, seperti ‘anggukan’ di konteks budaya India berarti ‘tidak’ atau ‘nehi’ dan sebaliknya untuk ‘gelengan’ kepala. Sekali lagi semua terikat dalam suatu konteks budaya.
Bahasa dalam Lintas Budaya
Kita tidak dapat menafikan bahwa bahasa sangat terpengaruh oleh budaya.
Oleh karena zaman globalisasi ini maka memungkinkan budaya saling
bersinggungan. Persinggungan dan pertemuan budaya inilah yang
memungkinkan manusia memasuki alam lintas budaya. Menurut catatan
Burgon & Huffner (2002), beberapa perbedaan bahasa dalam lintas
budaya dapat terlihat dari;
- contoh: Perbedaan bahasa non verbal ‘anggukan’ dalam konteks budaya Indonesia dengan India, cipika-cipiki (touching) dalam konteks budaya timur dengan barat.
- Perbedaan contoh: intonasi yang meninggi di Jawa Timur akan dirasa intonasi ‘mendikte’ oleh orang yang mempunyai orientasi budaya Jawa Tengah atau Yogyakarta.
- contoh: kata Perbedaan pemaknaan bahasa/ kata ‘butuh’ dalam konteks budaya Indonesia dimaknai sebagai keperluan dan dalam konteks budaya Malaysia dimaknai sebagai alat kelamin.
- konteks budaya Jawa Timur cenderung lebih asertif Perbedaan diksi dalam menyampaikan pendapat daripada konteks budaya Jawa Tengah yang cenderung ‘unggah-ungguh’ sehingga diksinya pun berbeda. Contoh: leveling diksi penyebutan ‘kamu’ dalam konteks budaya Jawa Tengah yang berjenjang, yaitu ‘kowe’, ‘sampeyan’, ‘panjenengan’, ‘pangandika’.
Oleh:
M. Ghojali Bagus A.P., S.Psi.
Burgon & Huffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication.