Suku Bajau, Warga Negara yang Tidak Beridentitas
Menurut analisis politis Walhi, posisi suku Bajau dilemahkan karena pada umumnya mereka adalah warga yang tidak punya kewarganegaraan, bahkan identitas negara Indonesia, sementara mereka yang datang dari Malaysia tetapi bukan Warga Negara Malaysia, asalnya dari Filipina tapi juga tidak dapat dianggap sebagai Warga Negara Filipina. Mereka adalah orang-orang bebas yang hidup sebagaimana cara hidup nenek moyangny a. Perlakuan ke dua negara itu, selama ini tidak manusiawi. Jika mereka kedapatan berada di darat sejenak saja pun, mereka akan dideportasi ke Filipina setelah menjalani kurungan badan dan hukuman cambuk di penjara Malaysia.
Suku Bajau Pelau masuk ke Malaysia karena perbatasannya begitu dekat dan secara tradisional adalah wilayah perger akan mereka yang 'sah' menurut adat nenek moyangnya. Namun dengan adanya perlakuan dari Pemerintah Malaysia, mereka memilih tinggal di Indonesia. Orang Bajau Pela'u beredar di Kalimantan Timur, tepatnya bergerak di sekitar Pulau Balikukup, Tanjung Buaya-Buaya dan Desa Batuputih. Mereka memanfaatkan sumberdaya koral dan perairan Pulau Balikukup, termasuk untuk pasokan beras da n bahan makanan lainnya, air tawar, bahan bakar, pakaian dan peralatan rumah tangga bahkan buah-buahan pada musimnya.
Deportasi
Berdasarkan Telegram Kapolda Kaltim Nomor: TR/585/XI /2009 tanggal 5 November 2009 tentang Laporan Pengamanan dan Patroli Wilayah Perbatasan dan Surat Perintah Kapolres Berau Nomor SPRIN : 306/III/2010 tanggal 09 Maret 2010 tentang Perintah Pengamanan Warga Negara Asing (Philipina dan Malaysia), akibatnya Kepolisian menangkap 103 orang suku Bajau Pala’u di perairan Pulau Balikukup Kecamatan Batu Putih Kabupaten Berau. Mereka terdiri atas 34 laki-laki dewasa, 24 perempuan dewasa, dan 20 orang anak laki-laki dan 23 anak perempuan.
Hasil interogasi menyebutkan bahwa mereka memasuki wilayah Pulau Balikukup antara Agustus – November 2009, namun ada yang sudah tinggal di sekitar Pulau Balikukup selama 2 tahun, untuk mencari ikan dan sudah berinteraksi dengan penduduk sekitar untuk barter ikan dengan kebutuhan sehari-hari. Selain itu di antara 103 orang tersebut, sebanyak 90 orang mengaku sebagai Warga Negara Malaysia dan 13 orang mengaku sebagai Warga Negara Philipina, kesemuanya Suku Bajau dan berbahasa sehari-hari bahasa Bajau.
Sesuai hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Staf Kantor Imigrasi dan Liaision Officer Philipina dan Liaision Officer Malaysia bahwa manusia-manusia perahu yang diamankan oleh Polres Berau tersebut tidak memiliki dokumen keimigrasian sehingga baik LO Philipina maupun LO Malaysia menyatakan bahwa manusia-manusia perahu tersebut bukanlah Warga Negara Philipina dan Malaysia.
Pada Rabu, 7 April 2010 sekitar 15.30 Wita bertempat di Ruang Rapat Semama Setda Berau telah dilaksanakan Rapat Koordinasi Muspida Kab. Berau terkait rencana pemulangan Warga Negara Asing (manusia perahu), serta membahas Surat dari Kantor Imigrasi klas II Tarakan yang isinya bahwa penanganan kasus WNA Suku Bajau (status tidak jelas) tersebut tidak dapat dilakukan proses deportasi sesuai dengan UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian, sehingga dalam rapat tersebut disepakati sejumlah 103 orang Warga Negara Asing tersebut dikembalikan ke laut lepas (perbatasan perairan NKRI), sesuai dengan Berita Acara Kesepakatan Pemulangan Warga Negara Asing.
Sikap Komnas HAM
Atas sikap atau kebijakan ini, Komnas HAM menilai tindakan Pemda dan Polres Berau tidak bijak dan akan menimbulkan permasalahan pelanggaran HAM secara lebih serius.
Komnas HAM mengingatkan bahwa Pemerintah RI cq. Polri berkewajiban untuk melindungi HAM siapapun itu, terlepas dari status kewarganegaraan seseorang. Menurut Tim, suku Bajau Pelau diduga sangat kuat adalah warga negara Indonesia, dengan bukti ada kesamaan bahasa dengan Suku Bajau yang ada di Berau, mereka bisa berkomunikasi dan ada hubungan epistimologis, sosiologis dan kultural yang kuat.
Menurut tokoh masyarakat Bajo di Desa Batu Putih, Suku Bajau Pelau telah ada sejak abad 17 dan mereka yang hidup di perahu adalah suku asli yang masih mempertahankan tradisi nenek moyang mereka. Komnas HAM mengingatkan jika Suku Bajau Pelau dilarang untuk merapat padahal mereka butuh untuk makan, akses kesehatan dan sebagainya, serta berakibat adanya kematian maka akan menjadi permasalahan yang serius.
Komnas HAM mendesak Pemerintah cq. Pemkab Berau dan DPRD Kab. Berau untuk segera memperoses status sipil Suku Bajau Pelau dengan memberikan identitas kependudukan yang jelas, berkoordinasi dengan instansi terkait. Selain itu, secara bertahap merencanakan dan mengimplementasikan program pemberdayaan ekonomi, sosial, dan budaya bagi Suku Bajau Pelau sehingga mampu untuk meningkatkan taraf kehidupannya secara bermartabat.
Kepolisian juga dituntut untuk tidak melakukan tindakan represif dan mengutamakan tindakan persuasif terhadap Suku Bajau Pelau, selain itu menjamin agar pemenuhan hak untuk hidup, termasuk makan dapat diperoleh di perairan Indonesia.