Harapan Baru Moratorium PNS

Kendati telat karena di tengah masa bakti kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang berakhir 2014, moratorium ini menyimpan secercah harapan baru bagi rakyat. Minimal ada langkah maju dari stagnasi berbagai proyek berorientasi kerakyatan. Penghematan dana belanja pegawai K/L hingga Pemda-pemda di Tanah Air, pastinya didapat dari tenggat 16 bulan tak menggaji PNS baru. Dana segar potensial bertambah, jika pemerintah konsisten merealisasikan pensiun dini bagi PNS tak produktif. Jumlah PNS di Indonesia saat ini spektakuler. Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara per Desember 2010, PNS mencapai 4,7 juta pegawai tetap, belum termasuk honorer. Konsekuensinya, uang negara tersedot gaji dan tunjangan PNS sampai Rp 180,82 triliun, atau 21,61 persen dari belanja pemerintah di APBN. Porsi anggaran yang sensasional dan naif dalam realitas buruk kualitas pelayanan PNS. Besarnya alokasi dana ini, ironis dibanding porsi anggaran pembangunan infrastruktur dan peningkatan daya saing bangsa yang hanya Rp 121,88 triliun, atau nomor tiga di bawah anggaran gaji dan tunjangan PNS. Akhiri Politisasi Lazimnya pemborosan uang negara bisa dicegah lima tahun lalu, jika pemerintah ramah kritik. Aneka dalih dan politisasi yang merujuk "pemerintah bisa" menanggulangi, faktanya berakhir moratorium penerimaan PNS juga. Pemerintah lempar handuk dari perencanaan dan pengelolaan PNS yang kacau. Gaji dan tunjangan PNS kian merongrong APBN dan APBD. Jika tahun 2006 PNS mencapai 3.725.311 orang, 2007 naik 4.067.201 orang, tahun 2008 jadi 4.083.360 orang, tahun 2009 meningkat 4.524.205 orang, tahun 2010 naik lagi 4.598.100 orang, dan 4,7 juta PNS tahun ini. Dana negara terkuras habis. Sejak tahun 2007 APBN tersedot Rp 90,43 triliun atau 17,91 persen dari belanja. Tahun ini melesat sampai Rp 180,82 triliun atau 21,61 persen dari belanja negara. APBN pun tinggal menyisakan 10 persen untuk pengembangan insfrastruktur. Keputusan moratorium ini wajib berlanjut untuk kejujuran dalam pengelolaan pemerintahan yang lain hingga daerah. Tak boleh lagi menjadikan PNS sebagai komoditas politik untuk melanggengkan kekuasaan, baik di pusat maupun daerah. Indikasi politisasi atas komoditas PNS mudah dijumpai di mana saja di Indonesia. Mulai PNS rendahan hingga tingkat eselon, cenderung menjadi tim sukses calon-calon incumbent yang haus kekuasaan. Risiko yang dibayar adalah, pemilihan umum tak jujur. Demokrasi Indonesia pun tercabik-cabik. Lazim kemudian kini terjadi disparitas anggaran belanja pegawai, bahkan di daerah-daerah teramat banyak menganggarkan sampai 74 persen untuk pos belanja pegawai. Ironisnya, Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengungkap fakta gemuknya PNS bukan jaminan pengabdian prima kepada rakyat. Di daerah-daerah yang anggaran belanja pegawainya di bawah 50 persen APBD, kualitas produktivitas kinerjanya tak kalah, bahkan lebih baik. Kita tunggu benefit penghematan dari pos belanja pegawai 16 bulan ke depan, dan pembuktian pemerintah memensiun dini 937.147 PNS renta. sumber ilustrasi gambar: www.pilar-news.com

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda