ADAPTASI DALAM KELUARGA SAKINAH


Urgensi Adaptasi Keluarga Sakinah

Orang yang pertama kali mengenalkan model konsep adaptasi adalah Suster Callista Roy (1969). Konsep ini dikembangkan dari konsep individu dan proses adaptasi dengan asumsi bahwa: manusia adalah keseluruhan dari bio-psikologi dan sosial yang terus-menerus berinteraksi dengan lingkungan; manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi perubahan-perubahan bio-psikososial; setiap orang memahami bagaimana individu mempunyai batas kemampuan untuk beradaptasi dengan memberikan respon terhadap semua rangsangan baik positif maupun negatif; dan setiap manusia memiliki kemampuan adaptasi berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan, maka ia mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik positif maupun negatif.

Dalam hubungannya dengan kehidupan rumah tangga sakinah, pastinya memerlukan proses adaptasi yang intens. Setiap pasangan memiliki tingkat keberhasilan yang berbeda-beda, tergantung bagaimana masing-masing memiliki kemampuan dalam menyesuaikan antara satu dengan lainnya. Ada yang cepat, lambat, bahkan gagal di tengah jalan karena ketidakmampuan keduanya atau salah satunya dalam menerima setiap perbedaan yang memang tidak mungkin disamakan. Pertanyaannya, sampai kapan proses adaptasi berlangsung? Yaitu, sampai ketika masing-masing telah menemukan titik temu dari setiap perbedaan dalam hubungan sosialnya. Jika masing-masing telah mengetahui peta perbedaannya, maka disinilah letak kemampuan orang diuji untuk merespon, memahami, menerima atau menolaknya.

Oleh karena itu, urgensi adaptasi dari seorang suami dan isteri yang menduduki peran penting dalam pembinaan keluarga sakinah dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu: Pertama, bahwa adaptasi adalah proses sosial yang harus disadari oleh setiap suami dan isteri. Tidak ada istilah “barang jadi”dan langsung pakai. Artinya, setiap orang memiliki kepribadian yang unik (khas), sehingga antara satu dengan yang lain perlu kerelaan untuk saling berbagi ego agar terjadi interaksi sosial yang dinamis dan produktif. Jika keduanya, atau salah satunya kuekueh dengan ego negatifnya, maka yang akan terjadi adalah pertarungan sosial dimana antara satu dengan yang lain saling mengalahkan. Ujung dari ini semua adalah pertengkaran dan perpecahan yang sangat tidak diinginkan. Intinya, adaptasi membutuhkan sikap legowo atau mau menerima atas segala keunikan personal.      

Kedua, dalam upaya mencapainya, adaptasi tidak secara otomatis dapat terjadi tanpa ada upaya masing-masing pihak untuk berkompromi demi tujuan bersama dalam membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah. Tentu, setiap proses itu tidak selalu berjalan linier, tetapi ada dinamika dan gejolak. Meminjam istilah psikologi, ada stimulus dan respon yang memiliki kualitas berbeda-beda bagi setiap orang. Oleh karena itu, agar proses adaptasi berhasil, diperlukan kemampuan dalam menggunakan ilmu, mengoptimalkan iman, mengendalikan ego, dan memanfaatkan pengalaman hidup. Maka teruslah belajar tentang kehidupan, janganlah berhenti untuk menjadi lebih baik.

Ketiga, dengan adaptasi, kita dituntut untuk tidak memiliki perasaan sempurna dalam diri kita, karena masing-masing orang membawa kelemahan dan kelebihannya. Syukurilah kelebihan apapun, meskipun kecil. Manusia diciptakan oleh Tuhan memang disebut sebagai “penciptaan terbaik” atau ahsan al-taqwim, namun manusia memiliki beban tugas yang tidak ringan untuk memelihara harmoni dalam kehidupan di dunia. Meski fitrah manusia adalah baik, namun di dalam dirinya memiliki potensi fujur (negatif) dan taqwa (positif). Sebagai makhluk yang ditugaskan sebagai khalifah di bumi, manusia telah diberi keleluasaan menggunakan kelebihan akal dan hatinya untuk digunakan secara optimal untuk memperoleh hasil yang sempurna (liyabluwakum ayyukum ahsanu amala, QS: al-Mulk: 2). Jika ada kesalahan, maka bersegeralah meminta maaf, bagi yang merasa “disalahi” dan sudah dimintakan maafnya, maka segeralah memaafkan. Wallahu a’lam bish-shawab■

(Thobib Al-Asyhar, Tim Penyusun Pidato Menag RI, Pemimpin Jurnal Psikologi Islam AN-NAFS, Pascasarjana UI, dan Kandidat Doktor Bidang Islamic Studies Konsentrasi Psikologi Islam, UIN Jakarta).

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda