Piala Sudirman, Piala dari sang Pemersatu
Bersama Suharso Suhandinata, Sudirman yang lahir di Pematang Siantar 29 April 1922, dikenal sebagai ''Sang Pemersatu''. Keduanya turut mempersatukan organisasi Federasi Bulutangkis Dunia (World Badminton Federation/ WBF) dengan Federasi Bulutangkis Internasional (International Badminton Federation/IBF). Seperti ditulis buku Sejarah Bulutangkis Indonesia, Sudirman menyatukan dua induk organisasi bulutangkis itu pada Mei 1981. Perjalanan untuk menyatukan itu cukup panjang. Tarik ulur antara kedua belah pihak sangat besar. Tak ada pihak yang mau mengalah. Hingga akhirnya, atas kerja kerasnya, sejak 1979, Sudirman berhasil menyatukan WBF dan IBF menjadi satu nama IBF. Sudirman sempat ditawari menjadi Presiden IBF pada 1981 karena jasa itu. Namun, dia menolaknya. Sudirman ingin meyakinkan orang bahwa ke-inginannya mempersatukan WBF dan IBF sama sekali bukan untuk kepentingan pribadinya, melainkan untuk bulutangkis. Begitu tulusnya Sudirman mengembangkan bulutangkis hingga menjadi olahraga yang besar. Meskipun telah meninggal dunia pada 28 April 1986, nama Sudirman tidak tenggelam. Rekan-rekan seperjuangannya, seperti Suharso, mencetuskan ide agar kejuaraan beregu campuran diambil dengan nama Sudirman. Justian Suhandinata (anak Suharso) dan Titus K Kurniadi yang menjadi wakil Indonesia di IBF, terus memperjuangkan nama Sudirman di meja perundingan IBF. Sebelumnya, berbagai peno-lakan memang sempat mewarnai nama Sudirman. Itu karena, format kejuaraan beregu campuran sebetulnya sudah digelar di Eropa. Eropa sendiri sudah mengusulkan format itu menggunakan nama Piala Herbert Scheele. Scheele juga merupakan tokoh bulutangkis dunia asal Inggris. Justian dan Titus pun akhirnya berhasil memperjuangkan usulan Piala Sudirman yang kemudian disetujui oleh mayoritas anggota IBF. Namun, keputusan akhir dibicarakan lagi dalam sidang council IBF di Singapura 1988 sebelum Piala Thomas-Uber digelar di Kuala Lumpur. Suharso pun tampil kembali. Dia berbicara dengan Presiden IBF Ian Palmer ketika berada di Singapura. Alasan Suharso waktu itu jelas dan masuk akal. Suharso berargumentasi, bulutangkis sudah Piala Thomas untuk beregu putra dan Piala Uber untuk putri. Keduanya diambil dari nama-nama orang Eropa. Bila itu terjadi, tentu akan ada ketidakpuasan dari negara-negara lain, terutama Asia yang selalu mendominasi bulutangkis dunia. Sangat Kecewa Suharso juga akan sangat kecewa bila ada perpecahan seperti IBF-WBF. Palmer, Presiden IBF itu pun akhirnya menyetujui usulan tersebut. Palmer pun meyakinkan kepada Suharso bahwa keputusan final ada pada dirinya, sebagai Presiden IBF. Suharso sempat khawatir, suara-suara dari Eropa di IBF ingin agar nama kejuaraan beregu itu diambil dari ''benua biru'' itu. Indonesia menjadi tuan rumah kejuaraan itu untuk pertama kalinya sejak 1989. Indonesia mencetak sejarah dengan merebut gelar juara. Sejak saat itu, penyelengaraan Piala Sudirman selalu berbarengan dengan Kejuaraan Dunia. Namun, sejak 2003, kejuaraan itu dipisah pelaksanaannya. Indonesia juga diper- caya sebagai pembuat desain Piala Sudirman. Pembuatan desain itu disayembarakan. Tercatat, ada 207 peserta dari 20 provinsi dengan 217 desain. Panitia kemudian mengadakan babak prakualifikasi memilih 35 unggulan yang kemudian diserahkan kepada dewan juri untuk memilih 10 terbaik. Dari situ, satu yang terbaik akan dipilih. Pada 2 November 1988 dewan juri menentukan pemenangnya. Hasil karya Rusnandi, mahasiswa jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung akhirnya menjadi yang terbaik. Atas saran dewan juri, diadakan sedikit modifikasi bentuk. Biaya pembuatannya Rp 27 juta. Makna keseluruhan dari Piala Sudirman, adalah dalam menciptakan karya manusia yang terbesar dalam olahraga bulutangkis tidak dapat lepas dari perpaduan unsur kekuatan alami dan kemajuan teknis. Piala itu warnanya kuning emas dengan bentuk mahkota berupa replika Candi Borobudur. Nama kejuaraan dan juga piala itu sungguh indah dan bermakna bagi Indonesia. Namun sayang, keindahan mereka tidak se-indah dengan prestasinya. Dari sembilan kali penyelenggaraan sebelumnya, Indonesia baru sekali menjadi pemenang, yaitu pada 1989. Selebihnya, gelar dinikmati Tiongkok (lima kali) dan Korea (tiga). Jadi sekarang, bawalah bapakmu pulang, nak!(suarapembaruan.com)