Armada Pati Unus & Hari Armada 2012

Seorang Tom Pires bahkan menuliskan dalam Summa Oriental, 1515, bahwa Anunciada (kapal Portugis terbesar di Malaka tahun 1511) sama sekali tidak menyerupai kapal bila disandingkan dengan Jung Jawa! Kesemua ini dilakukan hanya karena mendengar masukan intelijen bahwa bangsa Portugis memasuki Selat Malaka. Ini merupakan bukti bahwa kita pernah memiliki pemimpin-pemimpin yang mampu melihat ”kepentingan warganya” dengan mampu menghitung secara cermat akan untung rugi biaya bagi pembangunan kekuatan pertahanan untuk melakukan fungsi kemaritiman dari armada laut yang harus dibangunnya versus biaya yang akan berdampak pada kesultanan dan masyarakatnya jika ia tidak membangun armada laut yang mumpuni untuk melakukan fungsi kemaritiman dan ekonomi yang harus dijaga nun jauh hingga ke Selat Malaka. Ratu Kalinyamat pada 1550 mengirim 4.000 tentara Jepara dalam 40 buah kapal, memenuhi permintaan Sultan Johor untuk membebaskan Malaka dari bangsa Eropa. Armada Jepara ini kemudian bergabung dengan armada pasukan Persekutuan Melayu hingga mencapai 200 kapal perang. Pasukan gabungan tersebut menyerang dari utara dan berhasil merebut sebagian Malaka. Cerita tentang Ratu Kalinyamat memang tidak berakhir dengan digelari duchesse atau lord dari Kerajaan Inggris Raya, tetapi namanya ditulis dalam sejarah Portugis dengan julukan yang menggetarkan hati: Rainha de Jepara, Senora Pade Rosa se Rica” (Ratu Jepara yang penuh kekuatan dan kekuasaan). Hari ini kemampuan armada laut kita sangat jauh dari apa yang seharusnya kita miliki. Jika kita lihat Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan dan dibandingkan apple to apple dengan Kudus atau Jepara masa itu. Mungkin dengan memiliki pemimpin sekaliber Pati Unus atau Ratu Kalinyamat yang memiliki visi geopolitik dan geostrategi yang mumpuni, di hari armada 2012 ini kita seharusnya sudah mampu mengadakan kekuatan armada laut hingga mencapai kekuatan ideal ala Pati Unus, yaitu sebanyak 149.260 kapal (375 kapal x 398 kabupaten/ kota sesuai otonomi daerah) dengan kekuatan AL sebesar 149.260.000 personel. Artinya, dengan jumlah personel AL sebesar itu tanpa UU Kamnas sekalipun terbukti hampir setengah dari bangsa Indonesia akan otomatis berwawasan dan berkelakuan peduli bahari. Atau setidaknya, jika kita memiliki pemimpin yang berpandangan akan terbentuknya kerja sama pertahanan laut dengan negara kawasan dan cukup mampu berpikir seperti seorang Ratu Kalinyamat (minimum essential forces era abad ke-15), maka kita hanya memerlukan 15.000 kapal berikut 15.000.000 personel AL-nya. Samuel Huntington dengan jelas menyatakan bahwa negara yang dapat menyeimbangkan kekuatan China di kawasan hanyalah Indonesia dan Vietnam. Menurutnya, identitas kultural Indonesia yang pernah berdiri sebagai sebuah independent maritime empire dan kultur budaya Vietnam yang telah terbukti selama 5000 tahun unggul dari China, menjadikan kedua negara ini bersama India dan Jepang dapat memainkan peran penting dalam keseimbangan regional. Di Hari Armada 5 Desember 2012 ini, selayaknya kita semua merenungkan apakah kita sudah sepakat untuk menetapkan kekuatan armada AL kita sesuai komitmen yang diperintahkan negara kepada para Laksamana, perwira dan personelnya, di mana sebagai professional navy mereka harus memiliki kemampuan dari sea denial of local waterske kemampuan sea control of a distant seas. Tugas utama dari professional navy sesungguhnya adalah tugas pertahanan di samping tugas bantuannya dalam menanggulangi non traditional threats bangsanya. Untuk membangunnya sebagai professional navy, maka negara harus memenuhi ketersediaan dan kesiapan alutsista dan teknologi peperangan, pendidikan dan rekrutmen prajurit, peningkatan jumlah dan modernisasi peralatan alutsista, kesiapan operasional, peningkatan fasilitas pangkalan militer, perawatan dan perbaikan, serta terwujudnya susunan kekuatan yang mampu melaksanakan proyeksi kekuatan bersifat tempur yang bukan saja mencakup ke mana dan untuk apa kekuatan armada maritim tersebut digelar, tetapi juga mencakup berapa lama gelar tersebut dapat dilaksanakan. Hari ini kemampuan armada kita di laut hanya 5–10 hari dalam setiap 30 hari/bulan. Artinya ada sekitar 20 sampai 25 hari armada kekuatan maritim kita hanya sandar di pelabuhan dikarenakan masalah pengadaan bahan bakar yang tidak mencukupi (dipenuhi hanya sekitar 35 hingga 40% dari yang diajukan) untuk mereka dapat melakukan tugasnya baik di gugus tugas Armada Barat maupun di Armada Timur. Maka pertanyaannya, di era high-tech komunikasi dan banyaknya para pemimpin bergelar beragam doktor saat ini, lalu apa yang berjalan salah dari cara kita mengelola critical mass (wilayah, sumber daya dan penduduk) negeri ini? Sehingga posisi geopolitik dan kekayaan sumber daya yang kita miliki tidak mampu membangkitkan kita menjadi negara yang berkemampuan untuk menggelar armada armada laut yang diperlukannya, untuk kemudian menjadikan negeri ini negeri berkekuatan supra-raksasa seperti era Sriwijaya dan Majapahit atau berkemampuan maritim seperti Kesultanan Kudus dan Jepara sekalipun? Apakah itu terletak pada kesalahan kita sebagai warga negara yang begitu permisif pada kelalaian para pemimpin tingkat pusat dan lokal dalam konsep pandangan dunia dan perspektif geostrategi yang merupakan cara pandang dan memahami dunia dan perubahannya? Pada pemahaman tentang ancaman dan bagaimana kita mengonseptualisasikan isu pertahanan & keamanan itu sendiri? Atau pada strategi keamanan nasional (kamnas) dengan kemampuan mengidentifikasi perubahan untuk merumuskan struktur kekinian akan armada laut dan dirgantara yang seharusnya terbentuk untuk menjaga 3,2 juta km2 wilayah maritim dan 5.7 jta km2 dirgantara kita? Dianugerahi letak suprastrategis seperti ini, pepatah latin mengatakan Animis Opibusque Parati – persiapkan segenap pikiran, upaya dan sumber daya untuk menghadapi kemungkinan apa pun. Semoga jawaban pertanyaan di atas tidak terletak pada kedua belas lautan yang kita miliki dan hanya kita banggakan, tanpa kesadaran dan berkemampuan untuk melindungi, menjaga dan memanfaatkannya, sebagaimana nenek moyang kita di abad-abad silam melakukannya. CONNIE RAHAKUNDINI BAKRIE Pengajar di Universitas Indonesia dan Universitas Nasional Direktur Eksekutif Institute of Defense and Security Studies

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda