Obral Remisi untuk Koruptor

Ketentuan ini sebenarnya telah memperketat pemberian remisi bagi koruptor. Jika sebelumnya, menurut PP 32/1999, remisi dapat diberikan setelah menjalani enam bulan masa hukuman saja, sekarang para koruptor harus menjalani sepertiga masa hukuman jika hendak mendapatkan remisi.

Namun, inti persoalan remisi bagi koruptor bukanlah masalah ketatnya persyaratan. Tapi, substansinya lebih kepada eksistensi kebijakan tersebut. Dengan demikian, pertanyaanya adalah apakah remisi bagi koruptor perlu ada? Jika secara hukum remisi dapat diberikan kepada koruptor, apakah remisi wajib diberikan? Jawabannya tidak perlu.

Koruptor seharusnya tidak perlu mendapatkan remisi. Koruptor tidaklah sama dengan para terpidana kejahatan kriminal umum. Korupsi adalah kejahatan kriminal luar biasa (extraordinary crime). Bahkan, United Nations Convention Agaisnt Corruption (UNCAC) mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity). Pada kasus tindak pidana biasa, yang dirugikan hanya satu individu. Namun, korupsi memiliki dampak merugikan dalam skala yang sangat luas. Karena itu, cara-cara yang luar biasa patut diterapkan kepada koruptor. Salah satu bentuknya adalah menghapus remisi bagi koruptor.

Koruptor seharusnya diberi hukuman maksimal, tanpa remisi. Mereka sudah mengeruk uang negara yang menimbulkan kerugian bagi jutaan rakyat, sehingga tidak pantas mendapat keistimewaan. Memang, penjara bukanlah tempat untuk balas dendam. Namun, penjara juga bukan tempat seorang penjahat boleh menikmati keistimewaan, termasuk mendapat remisi. Menghukum seorang koruptor secara maksimal bukan hanya pembelajaran bagi terpidana itu sendiri, melainkan juga terutama bagi jutaan orang di luar tembok penjara agar mengurungkan niat merampok uang negara.

Hukuman penjara bagi koruptor tidak akan menimbulkan efek jera bila berbagai kemudahan terus diberikan. Apalagi, selama ini pengadilan selalu memberikan hukuman yang ringan bagi koruptor. Dengan menerima remisi, koruptor tidak perlu waktu lama untuk menghirup udara bebas kembali.

Oleh karena itu, penghapusan remisi bagi koruptor merupakan keputusan yang layak diterapkan. Alasan berkelakuan baik selama berada di penjara tidak dapat digunakan untuk memberikan remisi. Betapapun para koruptor memperlihatkan kelakuan baik selama di penjara, alasan tersebut tidak dapat menghapus kejahatan korupsi yang telah dilakukannya. Apalagi, biasanya motif mereka berkelakuan baik di penjara hanya untuk mengejar remisi.

Presiden Harus Batalkan

Komitmen antikorupsi yang baru saja diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan di hadapan anggota DPR dan DPD, tidak berarti apa-apa jika koruptor masih menikmati hak-hak istimewa. Dalam pidatonya presiden bahkan menjadikan korupsi sebagai musuh utama dalam memperjuangkan kemerdekaan di masa sekarang ini. Pidato tersebut akan kehilangan makna jika presiden tidak mengambil langkah nyata untuk mendukung setiap upaya pemberantasan korupsi.

Pemberian remisi jelas merupakan tamparan keras terhadap pidato presiden tersebut. Pesan presiden untuk tidak menoleransi tindakan korupsi tampaknya tidak ditangkap oleh Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Sehari setelah pidato presiden, Menteri Hukum dan HAM justru dengan mudahnya memberikan keringanan hukuman bagi koruptor. Tindakan ini jelas telah melecehkan presiden.

Oleh karena itu, presiden sebaiknya segera membatalkan keputusan Menteri Hukum dan HAM tersebut. Presiden harus menunjukkan konsistensi komitmen antikorupsinya sebagaimana dituangkannya dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Jika remisi tetap diberikan, berarti presiden mengingkari komitmennya sendiri dan menganggap korupsi sebagai kejahatan yang biasa-biasa saja. Dan, itu tentu sangat melukai hati nurani dan rasa keadilan rakyat. (*)

*) Oce Madril, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
>>>   [email protected]




Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda