Beragama tapi krisis spiritualitas
Membumikan spiritualitas
Manusia kerap kali beragama tapi minus spiritualitas.
Padahal, esensi beragama sejatinya adalah spiritualitas.
Inti spiritualitas adalah bagaimana menjadi orang baik.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, spiritualitas
hakikatnya akan bermuara pada “tidak berbuat korupsi”.
Adapun landasan kecerdasan spiritualitas adalah kesadaran akan kehadiran Tuhan. Dalam setiap situasi, orang merasa selalu dilihat Tuhan dan merasakan kebersatuan dirinya dengan Tuhan. Kesadaran spiritual yang tinggi yang senantiasa menghadirkan Tuhan di dalam dirinya akan menekan perilaku-perilaku yang tidak baik, termasuk korupsi.
Ketika punya kesempatan korupsi, dia akan langsung ingat Tuhan. Jika melakukan perbuatan buruk, dia sadar akan mengecewakan Tuhannya yang senantiasa memperhatikannya dari waktu ke waktu.
John Naisbitt mengatakan pada abad ke-21 ini agama semakin kurang diminati orang, sebaliknya orang semakin berminat terhadap spiritualitas. Minat ini tentu saja didorong kebutuhan untuk mengisi spiritualitas kita yang semakin lama semakin kering karena percepatan kehidupan. Di sinilah terletak masalahnya: agama semakin terpisah dari spiritualitas padahal sebenarnya spiritualitas itulah inti dari keberagamaan seseorang.
Tuhan seolah-olah menyatu kepada orang yang telah mengalami mukasyafah (merasakan kehadiran Tuhan). Karakter dan kepribadian mereka dipenuhi sifat-sifat Tuhan, seperti mencintai, menyayangi, menolong dan tentu saja tidak berbuat korupsi.
Seseorang yang memiliki jabatan tinggi, wewenang dan kekuasaan di pemerintahan, selain harus memiliki kecerdasan intelektual, juga perlu memiliki kecerdasan spiritual. Jangan hanya beragama tanpa pelaksanaan spiritual. Agama hanya dijadikan simbol.
Tiga sudut pandang
Kita berharap segala bentuk perilaku koruptif yang semakin tidak terkendali oleh penyelenggara negara bisa ditekan sampai ke titik nol. Maka, sudah saatnya internalisasi spiritual pada diri penyelenggara negara perlu dilakukan secepat mungkin. Setidaknya ada tiga pendekatan (sudut pandang) spiritual yang perlu dimiliki para penyelenggara negara.
Pertama, dari sudut pandang spiritual keagamaan (relasi vertikal, hubungan dengan Yang Maha Kuasa). Sudut pandang ini akan melihat sejauh manakah tingkat relasi spiritual kita dengan Sang Pencipta. Hal ini dapat diukur dari segi komunikasi dan intensitas spiritual individu dengan Tuhannya. Wujudnya dapat terlihat dari pada frekuensi doa.
Apabila keharmonisan hubungan dan relasi spiritual keagamaan seseorang semakin tinggi, semakin tinggi pula kualitas kecerdasan spritualnya.
Kedua, dari sudut pandang relasi sosial-keagamaan. Sudut pandang ini melihat konsekuensi psikologis spiritual-keagamaan terhadap sikap sosial yang menekankan segi kebersamaan dan kesejahteraan sosial. Kecerdasan spiritual akan tercermin pada ikatan kekeluargaan antarsesama, peka terhadap kesejahteraan orang lain dan makhluk hidup lain, bersikap dermawan. Perilaku merupakan manifestasi dari keadaan jiwa maka kecerdasan spiritual dalam diri individu akan termanifestasi dalam perilakunya.
Dalam hal ini, kecerdasan spiritual akan terwujud dalam sikap sosial. Jadi, kecerdasan ini tidak hanya berurusan dengan ketuhanan atau masalah spiritual, namun akan mempengaruhi pada aspek yang lebih luas terutama hubungan antarmanusia.
Ketiga, dari sudut pandang etika sosial. Sudut pandang ini dapat menggambarkan tingkat etika sosial sebagai manifestasi dari kualitas kecerdasan spiritual. Semakin tinggi tingkat kecerdasan spiritualnya semakin tinggi pula etika sosialnya. Hal ini tercermin dari ketaatan seseorang pada etika dan moral, jujur, dapat dipercaya, sopan, toleran dan antiterhadap kekerasan.
Dengan hadirnya kecerdasan spiritual, kita sebagai rakyat biasa pada umumnya dan para penyelenggara negara pada khususnya dapat menghayati arti dari pentingnya sopan santun, toleran dan beradab. Hal ini menjadi panggilan intrinsik dalam etika sosial. Kita sadar ada makna simbolik kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari yang selalu mengawasi atau melihat kita di dalam diri kita maupun gerak-gerik kita, di mana pun dan kapan pun. Inti dari agama adalah moral dan etika.
Oleh :
Ahmad Ubaidillah Alumnus UIN Yogyakarta
Opini Solo Pos 7 Januari 2011
Adapun landasan kecerdasan spiritualitas adalah kesadaran akan kehadiran Tuhan. Dalam setiap situasi, orang merasa selalu dilihat Tuhan dan merasakan kebersatuan dirinya dengan Tuhan. Kesadaran spiritual yang tinggi yang senantiasa menghadirkan Tuhan di dalam dirinya akan menekan perilaku-perilaku yang tidak baik, termasuk korupsi.
Ketika punya kesempatan korupsi, dia akan langsung ingat Tuhan. Jika melakukan perbuatan buruk, dia sadar akan mengecewakan Tuhannya yang senantiasa memperhatikannya dari waktu ke waktu.
John Naisbitt mengatakan pada abad ke-21 ini agama semakin kurang diminati orang, sebaliknya orang semakin berminat terhadap spiritualitas. Minat ini tentu saja didorong kebutuhan untuk mengisi spiritualitas kita yang semakin lama semakin kering karena percepatan kehidupan. Di sinilah terletak masalahnya: agama semakin terpisah dari spiritualitas padahal sebenarnya spiritualitas itulah inti dari keberagamaan seseorang.
Tuhan seolah-olah menyatu kepada orang yang telah mengalami mukasyafah (merasakan kehadiran Tuhan). Karakter dan kepribadian mereka dipenuhi sifat-sifat Tuhan, seperti mencintai, menyayangi, menolong dan tentu saja tidak berbuat korupsi.
Seseorang yang memiliki jabatan tinggi, wewenang dan kekuasaan di pemerintahan, selain harus memiliki kecerdasan intelektual, juga perlu memiliki kecerdasan spiritual. Jangan hanya beragama tanpa pelaksanaan spiritual. Agama hanya dijadikan simbol.
Tiga sudut pandang
Kita berharap segala bentuk perilaku koruptif yang semakin tidak terkendali oleh penyelenggara negara bisa ditekan sampai ke titik nol. Maka, sudah saatnya internalisasi spiritual pada diri penyelenggara negara perlu dilakukan secepat mungkin. Setidaknya ada tiga pendekatan (sudut pandang) spiritual yang perlu dimiliki para penyelenggara negara.
Pertama, dari sudut pandang spiritual keagamaan (relasi vertikal, hubungan dengan Yang Maha Kuasa). Sudut pandang ini akan melihat sejauh manakah tingkat relasi spiritual kita dengan Sang Pencipta. Hal ini dapat diukur dari segi komunikasi dan intensitas spiritual individu dengan Tuhannya. Wujudnya dapat terlihat dari pada frekuensi doa.
Apabila keharmonisan hubungan dan relasi spiritual keagamaan seseorang semakin tinggi, semakin tinggi pula kualitas kecerdasan spritualnya.
Kedua, dari sudut pandang relasi sosial-keagamaan. Sudut pandang ini melihat konsekuensi psikologis spiritual-keagamaan terhadap sikap sosial yang menekankan segi kebersamaan dan kesejahteraan sosial. Kecerdasan spiritual akan tercermin pada ikatan kekeluargaan antarsesama, peka terhadap kesejahteraan orang lain dan makhluk hidup lain, bersikap dermawan. Perilaku merupakan manifestasi dari keadaan jiwa maka kecerdasan spiritual dalam diri individu akan termanifestasi dalam perilakunya.
Dalam hal ini, kecerdasan spiritual akan terwujud dalam sikap sosial. Jadi, kecerdasan ini tidak hanya berurusan dengan ketuhanan atau masalah spiritual, namun akan mempengaruhi pada aspek yang lebih luas terutama hubungan antarmanusia.
Ketiga, dari sudut pandang etika sosial. Sudut pandang ini dapat menggambarkan tingkat etika sosial sebagai manifestasi dari kualitas kecerdasan spiritual. Semakin tinggi tingkat kecerdasan spiritualnya semakin tinggi pula etika sosialnya. Hal ini tercermin dari ketaatan seseorang pada etika dan moral, jujur, dapat dipercaya, sopan, toleran dan antiterhadap kekerasan.
Dengan hadirnya kecerdasan spiritual, kita sebagai rakyat biasa pada umumnya dan para penyelenggara negara pada khususnya dapat menghayati arti dari pentingnya sopan santun, toleran dan beradab. Hal ini menjadi panggilan intrinsik dalam etika sosial. Kita sadar ada makna simbolik kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari yang selalu mengawasi atau melihat kita di dalam diri kita maupun gerak-gerik kita, di mana pun dan kapan pun. Inti dari agama adalah moral dan etika.
Oleh :
Ahmad Ubaidillah Alumnus UIN Yogyakarta
Opini Solo Pos 7 Januari 2011
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda