Apa beda quick count dan exit poll?
Meski lebih presisi ketimbang survei pra-pencoblosan, hasil quick count setiap lembaga tetap berbeda. Biasanya, paling besar selisihnya 1 persen. Hal ini wajar mengingat quick count hanya mengambil sampel untuk memproyeksi hasil perolehan suara sebenarnya. Di sinilah timbul kesalahan (error). Margin of error bisa ditetapkan oleh masing-masing peneliti/lembaga dari seberapa banyak sampel TPS yang ia akan ambil. Semakin banyak sampel TPS yang diambil, semakin kecil margin of error sebuah hasil quick count. Semakin banyak sampel TPS tentu baik untuk meminimalisir kesalahan. Namun semakin banyak sampel juga akan memakan banyak biaya. Bayangkan, untuk Pilgub DKI ini saja terdapat 15.059 TPS. Sampel 10 persen saja sudah 1.505 TPS. Soal metode penarikan sampel, lembaga biasa menggunakan stratified random sampling atau multistage random sampling. Bagaimana dengan exit poll? Metode ini adalah polling terhadap hasil sebuah pemilihan yang dilakukan dengan cara menanyai pemilih setelah mereka keluar dari TPS. Berbeda dengan quick count yang menjadikan suara TPS sebagai sampel, exit poll menjadikan pemilih yang baru keluar TPS sebagai respondennya. Karena itu, exit poll lebih menargetkan data demografi pemilih, bukan memprediksi siapa yang bakal menang dalam pemilu atau pilkada. Data demografi yang dicari biasanya adalah usia, agama, suku, gender, tingkat pendidikan, pendapatan, latar belakang pilihan partai politik, afiliasi ormas keagamaan dan lain-lain. Dengan exit poll Pilpres 2009 misalnya, peneliti/lembaga bisa melihat dari latar belakang pendidikan apa mayoritas pemilih SBY-Boediono. Dengan data demografi itu, peneliti lebih mudah memberikan intrepretasi penyebab kemenangan atau kekalahan seorang calon, yang sebelumnya sudah diprediksi lewat quick count. (Dari berbagai sumber)