Menghadapi Problem Sosial
Empat teori problem sosial
Menurut teori pertama, problem sosial timbul karena disorganisasi dalam
masyarakat. Demikian kata buku Society Today yang diterbitkan Richard L
Roe. Disorganisasi itu akibat perubahan sosial, kultural, atau konflik
kultural. Ada tuntutan-tuntutan baru, tujuan-tujuan baru, dan bahkan
nilai-nilai baru. Lembaga-lembaga sosial kehilangan wibawa, norma-norma
tidak diindahkan, dan kekacauan meluas. Lacurnya, teori ini
kedengarannya antiperubahan karena menganggap yang ada sudah memadai.
Teori kedua melakukan pendekatan berbeda. Problem sosial timbul karena
ada individu-individu yang ukuran moral maupun sosialnya 'kurang'.
Mereka tidak mau dan tidak mampu mengikuti pola-pola normatif
masyarakat. Bukan naluri atau situasi kejiwaan mereka yang salah.
Mereka bersikap demikian karena subkultur mereka memberontak terhadap
lembaga-lembaga yang ada; mungkin sekali akibat rangsangan-rangsangan
yang datang.
Teori ketiga menyebut tentang konflik nilai-nilai. Masyarakat memakai
nilai-nilai yang saling berbeda atau bahkan bertentangan dalam
menghadapi suatu masalah bersama. Apa yang dianggap problem oleh suatu
kelompok dianggap sebagai kesempatan oleh kelompok lain. Ini terutama
terkait dengan sistem distribusi kekayaan, kekuasaan, dan prestise yang
ada. Mafia hukum, korupsi dan konflik antarpartai politik masuk teori
ketiga ini.
Orientasi keempat dan terakhir menganggap problem sosial sebagai
konsekuensi konflik pola-pola tingkah laku karena mekanisme pemersatu
kacau atau tidak mampu sehingga tingkat konflik melebihi kemampuan
sistem yang ada. Asumsi yang mendasari teori keempat ini: perubahan
sosial yang tidak terintegrasi menimbulkan problem sosial. Diperlukan
para pemimpin dan manajer yang terampil dan bijaksana untuk mengurus
perubahan dan akibatnya terhadap negara dan masyarakatnya.
Pemimpin perlu umpan balik
The Way of the Leader (1997) karya Donald G Krause, memuat rumusan
bagus tentang beda antara 'pemimpin' dan 'manajer'. Sekalipun hasil
karyanya itu memfokus pada kepemimpinan di bidang bisnis, tetapi
rumusan Kraus relevan untuk kepemimpinan pada umumnya. Dia mengatakan,
baik kepemimpinan maupun manajemen menghendaki sukses yang menyeluruh.
Namun ada beda antara keduanya. Kepemimpinan mensyaratkan ada kontrak
sosial antara pemimpin dan yang dipimpin. Sang pemimpin dituntut
memiliki kemauan dan kemampuan untuk menjalankan kekuasaan. Tetapi
hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin bersifat koperatif. Selain
itu, kekuasaan harus diberikan secara sukarela oleh yang dipimpin.
Kepemimpinan dilandasi oleh kesetujuan, ekspektasi, dan komitmen kedua
pihak.
Lain halnya dengan manajemen. Kekuasaan yang dimiliki sang manajer
terutama diperoleh dari posisi atau kepemilikan. Maka untuk berhasil,
manajemen tidak memerlukan faktor-faktor yang tersebut tadi. Tergantung
pada situasinya, manajemen bisa efektif tanpa ada kontrak sosial antara
manajer dan orang-orang di bawahnya, atau tanpa kesetujuan dari pihak
yang dipimpin. Namun, tentu saja, hasil praktik-praktik manajemen yang
baik menjadi lebih sempurna bila kekuasaan sebagai manajer dan
kekuasaan kepemimpinan digabungkan. Idealnya, para pemimpin sebaiknya
juga manajer yang baik. Sebaliknya, manajer sebaiknya memiliki
sifat-sifat kepemimpinan.
Salah satu yang juga menjadi persyaratan untuk menjadi pemimpin yang
baik adalah keterbukaannya menerima umpan balik; atau sebaliknya
memberikan umpan balik. Umpan balik membantu membangkitkan motivasi
kerja. Tanpa umpan balik, kita tidak akan pernah tahu apa konsekuensi
upaya dan kerja yang telah kita lakukan. Ini mematahkan semangat untuk
bekerja lebih baik karena berupaya atau tidak berupaya toh sama
hasilnya. Apresiasi yang sepadan atau celaan maupun hukuman yang
sepadan bisa menjadi sarana perbaikan, namun harus konsisten. Dengan
cara ini tanggung jawab individu sebagai pemimpin akan semakin tumbuh.
Apresiasi bisa berbentuk pengakuan atau kebebasan lebih besar untuk
menjalankan maupun mengambil keputusan. Yang sebaliknya juga bisa
terjadi. Penafsirannya bisa dibaca sendiri oleh pemimpin maupun yang
dipimpin.
Tantangan berat yang dihadapi para pemimpin adalah mendorong yang
dipimpin agar bersedia berbuat lebih dari sekadarnya. Sering ada asumsi
bahwa faktor biologis dan genetika memotivasi manusia. Mungkin itu
menyebabkan pihak-pihak tertentu sering mengatakan, "Orang-orang Melayu
malas bekerja." Kalau asumsi itu benar, apakah berarti motivasi tiap
orang untuk bekerja tidak bisa diubah?
Jurnal dwibulanan Business Horizons, terbitan Sekolah Bisnis
Universitas Indiana, AS, pernah memuat hasil penelitian Burt K Scanlan
yang menunjukkan, ada faktor-faktor lain yang sama penting dengan
faktor biologis, yakni faktor-faktor budaya, latar belakang keluarga
dan sosial-ekonomi; serta kekuatan-kekuatan lain yang ada di
lingkungannya. Yang disebut terakhir--termasuk keterampilan manajemen
dan kebijakan pemimpin--dapat membangkitkan suasana kerja yang baik.
Selain itu, tujuannya pun harus jelas. Tanpa tujuan yang jelas, sulit
bagi individu maupun kelompok untuk membayangkan, apa manfaat mereka
bekerja lebih keras kalau hasilnya tidak memadai; nasib mereka tidak
berbeda dari yang sebelumnya. Itu akan mematikan semangat kerja. Untuk
itu mereka memerlukan umpan balik dari para pemimpin.
Apakah benar kita mengalami krisis kepemimpinan? Tampaknya sistem
komunikasi yang lemah membuat kita tidak sepenuhnya tahu. Selain itu,
gesekan antarsubkultur dalam masyarakat pluralistik ini mempersulit
tumbuhnya para pemimpin yang mumpuni. Lagi pula mengubah sistem
feodalistis menjadi demokratis bukan hanya membutuhkan perubahan cara
pandang atau mindset, tetapi juga perlu waktu lama.