Kewirausahaan Berbasis Pesantren
Potensi besar pesantren tidak hanya dari
aspek sejarahnya sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia dan
memiliki ciri ke-Indonesiaan yang khas. Dari tahun ke tahun jumlahnyapun
terus bertambah secara signifikan. Berdasarkan data Departemen Agama,
pada 1977 jumlah pesantren sekitar 4.195 dengan jumlah santri sekitar
677.384 orang. Pada tahun 1981, tercatat ada sekitar 5.661 pesantren
dengan 938.397 orang santri. Pada tahun 1985 jumlah pesantren terus
mengalami kenaikan menjadi 6.239 dengan jumlah santri mencapai sekitar
1.084.801 orang. Sementara pada tahun 1997 Departemen Agama sudah
mencatat 9.388 buah pesantren dengan santri sebanyak 1.770.768 orang.
Hingga 2007, jumlah pesantren mencapai 14.647 dengan jumlah santri
3.289.141. Sayangnya, eksistensi dan kontribusi pesantren masih belum
optimal, masih dianggap sebelah mata, seperti dianaktirikan.
Pendidikan di pesantren umumnya lebih
memprioritaskan materi tentang agama dan akhlak namun minus keahlian
baik hardskill maupun softskill.
Akibatnya, lulusan pesantren yang jumlahnya cukup signifikan seringkali
menjadi gagap saat terjun ke masyarakat. Sulit mencari kerja dan
kalaupun bekerja, mayoritas dari mereka menjadi pekerja tidak
profesional. Seperti menjadi pedagang biasa di pasar-pasar tradisional.
Tidak sedikit pula yang menganggur. Padahal biaya dan waktu yang mereka
habiskan untuk menuntut ilmu di ponpes tidak sedikit. Bisa hingga
belasan tahun atau hampir sama dengan mereka yang mengenyam pendidikan
formal hingga lulus dari perguruan tinggi. Padahal, seperti yang lain,
para santripun akan menghadapi tantangan yang tak kalah kompleksnya di
era persaingan global.
Pendidikan entrepreneurship menjadi salah
satu langkah konkrit untuk lebih memberdayakan pesantren. Selain
semangat kemandirian yang sudah menjadi ciri khasnya, penting pula
mengajarkan berbagai keahlian dan semangat kewirausahaan kepada para
santri agar kelak setelah lulus mereka dapat meneruskan hidup dengan
bekerja secara profesional. Salah satu pesantren yang dapat dijadikan role model
dalam pengembangan pesantren sebagai entrepreneur school adalah
Pesantren Daruttauhid di Bandung, Jawa Barat. Di bawah asuhan Abdullah
Gymnastiar (Aa Gym), Daruttauhid berkembang sedemikian rupa dalam rangka
merespon perkembangan modernitas namun tetap eksis menyandang peran
tradisional pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam. Santrinya tidak
hanya dibekali dengan ilmu agama, namun juga beragam skill, semangat
entrepreneurship dan familiar dengan teknologi modern, khususnya bidang
informasi.
Secara umum, sistem pendidikan pesantren
yang berbasis boarding (asrama/mondok), memiliki potensi besar untuk
dikembangkan sebagai leader school sekaligus entrepreneur school.
Tinggal menambahi dan menyatukan pola pendidikan dan kurikulum yang ada
dengan kurikulum kepemimpinan dan kewirausahaan. Beberapa pesantren yang
dikembangkan dengan pola pendidikan modern terbukti mampu melahirkan
SDM-SDM yang bersaing. Persoalannya kemudian, pesantren juga menghadapi
sejumlah kendala klasik yang sama dengan dunia pendidikan kita pada
umumnya. Keterbatasan anggaran dan tenaga pengajar profesional.
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda