Tantangan Baru Pangan Dunia
Saat ini kondisi pangan dunia masih tidak terlalu menggembirakan, walaupun telah terdapat perbaikan signifikan dibandingkan tiga dasawarsa lalu. Jumlah orang lapar atau tepatnya yang menderita kekurangan kalori dan protein di dunia masih sekitar 900 juta orang, dan lebih dari 90 persen berada di negara-negara berkembang (berdasarkan data dari International Food Policy Research Institute-IFPRI, Desember 2005). Kondisi kelaparan di negara berkembang tersebut tentu sangat berkaitan erat dengan peta kemiskinan yang sampai sekarang menjadi persoalan tersendiri. Angka tersebut memang agak mengkhawatirkan dan mungkin menghalangi pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goal-MDG), untuk mengurangi jumlah orang miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015 (dari kondisi pada awal 1990-an, ketika ke-8 butir MDG pertama kali disepakati, termasuk oleh Indonesia). Produksi pangan, khususnya biji-bijian atau serealia dunia diperkirakan akan turun sekitar 0,9 persen, suatu angka yang patut diwaspadai (data FAO, 2005). Walaupun laju produksi pangan di Asia, Eropa, dan Amerika Tengah cukup besar, tapi laju penurunan produksi pangan di Afrika, Amerika Selatan, Oceania dan bahkan Amerika Utara yang juga besar telah membuat laju produksi pangan netto menurun. Kemudian, studi FAO lain tentang kecenderungan perdagangan pangan internasional tahun 2015/2030 menunjukkan bahwa negara berkembang akan berubah menjadi dari net exporter menjadi net importer komoditas pangan. Defisit perdagangan negara berkembang tercatat US$ 31 miliar, suatu keadaan neraca pangan yang benar-benar memprihatinkan. Pada tahun 1961/63 negara berkembang pernah mencatat surplus perdagangan sebesar US$ 6,7 miliar. Prestasi pada empat dekade yang lalu itu kemudian menurun secara perlahan tapi pasti, hingga sejak awal 1990-an negara berkembang menjadi net importer produk pangan. Bahkan, sejak tiga dasawarsa terakhir, pangsa impor pangan ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat dengan laju yang cukup cepat. Pada kelompok-kelompok negara kurang berkembang (less developed countries-LDC), nilai impor pangan meningkat dari 1 persen PDB pada 1970-an menjadi 4 persen PDB saat ini. Betapa besar devisa negara-negara kurang berkembang dan negara berkembang yang terkuras hanya untuk impor pangan. Tantangan Indonesia Apa makna kondisi di atas bagi Indonesia? Sesuatu yang paling jelas adalah bahwa tantangan ketahanan pangan telah sedikit bergeser, dari persoalan penyediaan pangan menjadi lebih kompleks karena dimensi semakin lebar, melibatkan liberalisasi perdagangan dan globalisasi. Pergeseran ini memang lebih kompleks karena Indonesia dipaksa harus mampu memecahkan stagnansi peningkatan produktivitas bahan pangan untuk menjamin ketersediaan pangan, sekaligus memecahkan efisiensi perdagangan dan distribusi pangan, khususnya yang bersifat pokok, serta jaminan aksesibilitas pangan bagi kelompok miskin dan rawan pangan. Pada skala dunia, Indonesia menghadapi tantangan perdagangan pangan yang tidak terlalu fair, tuntutan kerja sama ekonomi antarnegara ASEAN, yang memproduksi pangan pokok beras yang relatif homogen. Indonesia sebenarnya memiliki tujuan pembangunan ketahanan pangan yang sangat mulia, yaitu menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang pada tingkat rumah tangga, daerah, nasional sepanjang waktu dan merata melalui pemanfaatan sumber daya dan budaya lokal, teknologi inovatif, dan peluang pasar, serta memperkuat ekonomi pedesaan dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Dalam hal ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pemenuhan pangan men- jadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Bahkan secara eksplisit Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan telah menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah "kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau". Fenomena gizi buruk dan rawan pangan yang meledak kembali sejak tahun 2005 di NTB, NTT, dan kemudian di hampir seluruh daerah di Indonesia benar-benar menyentakkan masyarakat yang sedang bermimpi indah tentang globalisasi, perdagangan bebas, transparansi, HAM, dan sebagainya. Kita seharusnya belajar banyak dari kesalahan mengambil fokus kebijakan pemulihan ekonomi, yang terlalu mementingkan penyehatan atau rekapilatasi perbankan, restrukturisasi utang swasta, dan sebagainya. Strategi penyesuaian struktural sebagaimana dianjurkan Dana Moneter Internasional (IMF) sebagaimana disebutkan di atas ternyata harus dibayar mahal. Kelalaian pembenahan pendidikan dan pelayanan kesehatan dasar, telah membuat beberapa sarana dan prasarana fisik, serta kelembagaan masyarakat yang mendukung kebekerjaan sistem pendidikan dan kesehatan, tidak mampu menjalankan fungsinya. Sebenarnya, pemerintahan saat ini telah memiliki niat untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan sebagaimana tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009, walaupun sampai saat ini langkah nyata untuk mewujudkan niat tersebut masih belum terlihat jelas. Masalah Distribusi Dalam hal pangan pokok, khususnya beras, faktor musiman masih sangat dominan sehingga menghasilkan pola panen yang sangat khas. Sekitar 60 persen produksi beras di Indonesia terjadi pada saat musim panen raya pada bulan Februari-Mei yang menghasilkan surplus beras karena produksi jauh melebihi konsumsi. Sedangkan pada delapan bulan berikutnya, produksi beras Indonesia berada di bawah tingkat konsumsi secara nasional dan bahkan harus dipenuhi oleh beras impor karena Indonesia menghadapi permasalahan pola distribusi beras di pasar domestik yang cukup kompleks. Karena kekhasan seperti inilah, maka aspek stabilisasi harga pangan pokok menjadi begitu krusial dalam pencapaian tingkat ketahanan pangan. Pada masa lalu, Indonesia dapat mengandalkan lembaga parastatal, Bulog, untuk melaksanakan stabilitasi harga dan penyediaan pangan domestik. Akan tetapi, ketika Bulog diubah menjadi suatu BUMN Perum Bulog, maka setting kelembagaan atau kebijakan pangan yang khusus fokus pada stabilisasi harga pangan menjadi tantangan baru. Demikian pula, apabila pada masa lalu, pemerintah masih dapat mengandalkan program-program diversifikasi pangan yang lebih banyak dilakukan pemerintah, saat ini upaya diversifikasi pangan itu memerlukan langkah nyata yang lebih memiliki prospek keberhasilan yang tinggi. Tantangan lain yang tidak kalah strategisnya adalah skema desentralisasi ekonomi dan otonomi daerah, yang sampai saat ini masih agak abstrak dalam mendukung pencapaian tujuan ketahanan pangan. Terakhir, Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi tujuan pembangunan global (MDG), juga memiliki komitmen untuk mengurangi jumlah orang miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015 (dari jumlah sekitar 36 juta pada pertengahan 1990-an). Tantangan pencapaian tujuan MDG tersebut menjadi sangat serius ketika pada tahun 2006 ini, jumlah orang miskin bertambah menjadi lebih dari 39 juta orang. Langkah yang harus dilakukan untuk menjawab tantangan di atas adalah bahwa Indonesia perlu lebih serius dan terfokus melaksanakan strategi kemandirian pangan, kemandirian pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa, untuk mengembangkan dan memelihara cadangan pangannya masing-masing. Diversifikasi pangan yang berbasis kearifan dan budaya lokal harus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang sesuai dengan kondisi demografi Indonesia yang plural heterogen. Apabila serangkaian langkah di atas dapat dilaksanakan, maka tingkat ketahanan pangan di dalam negeri akan lebih baik. Demikian pula, Indonesia dapat dikatakan telah berkontribusi pada tingkat ketahanan pangan dunia, sekecil apa pun itu.