Badai Matahari
Karena itulah, para peneliti fisika Matahari dan para praktisi dalam bidang cuaca antariksa mengupayakan fenomena pemunculan lubang korona dipantau secara terus-menerus. Salah satunya adalah dengan menempatkan pesawat SOHO di titik stabil pada garis hubung Matahari-Bumi sejauh 1,5 juta km dari Bumi.
Telah
diketahui bahwa Matahari senantiasa meniupkan “angin Matahari” ke ruang
antarplanet. Dalam keadaan normal, kecepatan angin Matahari berkisar
300-400 km/detik. Namun, pada 18 Februari 2003 pukul 08:00 UT
(Universal Time) lalu, kecepatan angin Matahari di sekitar Bumi
mendadak melonjak dari 640 km/detik hingga mendekati 1.000 km/detik
dalam waktu singkat. Ini merupakan pertanda telah terjadi badai
antariksa. Apakah sumber penyebab badai antariksa?
Tertarik untuk
menguak misteri peristiwa itu, penulis mencoba melakukan analisa citra
satelit SOHO yang diambil dalam beberapa hari sebelum kejadian badai
antariksa. Ternyata, pada tanggal 13 Februari, suatu lubang korona di
daerah ekuator sedang melintas di titik tengah Matahari.
Karena
Matahari berotasi sebesar 14 derajat/hari, maka lubang korona itu
mencapai “posisi efektif” sekitar 2-3 hari kemudian. Posisi efektif
diartikan sebagai posisi yang mudah mengganggu lingkungan Bumi.
Pada
posisi efektif ini, garis- garis medan magnet dari lubang korona
menembus ruang antarplanet dan tepat terhubung dengan posisi Bumi.
Garis-garis medan magnet berbentuk seperti spiral ini berperilaku
bagaikan “jalan bebas hambatan”, sehingga materi dari lubang korona
dapat dengan mudah mengalir ke arah Bumi.
Dari pengamatan diketahui
bahwa lubang korona memancarkan materi ke ruang antarplanet dengan
kerapatan rendah. Oleh medan magnet Matahari, materi ini terus-menerus
diarahkan dan dipercepat sehingga kecepatannya pada posisi Bumi
mencapai 1.000 km/detik. Suatu kecepatan yang luar biasa.
Telah
diketahui bahwa jarak lurus Matahari-Bumi kurang lebih 150 juta km.
Dengan memperhatikan kelengkungan lintasan materi dari lubang korona ke
posisi Bumi dan kecepatan angin Matahari berubah dari 640 km/detik
menjadi 1.000 km/detik, maka dapat diperkirakan materi dipancarkan dari
lubang korona 2-3 hari sebelum badai antariksa.
Dari analisa data
SOHO dan GOES-14 diketahui bahwa beberapa hari sebelum peristiwa badai
antariksa tidak terjadi adanya ledakan dahsyat di Matahari. Hal ini
perlu dikonfirmasi ulang dengan data lain.
Penulis telah menghubungi Dr Maki Akioka dari Hiraiso Solar Observatory, Communications Research Laboratory, Jepang, untuk mengirimkan data Matahari beberapa hari sebelum badai terjadi.
Dari data tersebut
terbukti lagi bahwa memang tidak terjadi suatu ledakan dahsyat di
Matahari dalam kurun waktu yang dimaksud. Jadi dapat disimpulkan bahwa
lubang korona ekuator adalah penyebab terjadinya badai antariksa pada
18 Februari, yang ditandai dengan peningkatan kecepatan angin Matahari
secara drastis sementara kerapatan materinya menurun. Lubang korona di
kutub-kutub Matahari tidak mempengaruhi lingkungan Bumi.
Matahari
berputar pada porosnya sekali dalam 27 hari. Sering kali bentuk korona
secara global tidak banyak berubah dalam satu atau lebih rotasi
Matahari. Dengan berpedoman pada perilaku ini, tidak sulit memprediksi
pemunculan suatu lubang korona pada rotasi berikutnya.
Kini
masyarakat dunia dapat mengakses prediksi cuaca antariksa yang
diterbitkan setiap hari melalui situs-situs web yang dikelola oleh
beberapa badan dunia seperti NOAA di Amerika Serikat, CRL
(Communications Research Laboratory) di Jepang, serta institusi-
institusi serupa yang berlokasi di Beijing (Cina), Meudon (Perancis),
dan Melbourne (Australia).
Dalam kaitannya dengan cuaca antariksa,
Observatorium Matahari Watukosek mempunyai komitmen kuat untuk turut
serta dalam kegiatan internasional tersebut. Kegiatan yang telah
berlangsung sejak tahun 1987 adalah pengamatan “bintik Matahari” dan
menentukan tingkat aktivitas Matahari yang hasilnya ditampilkan pada
situs web (http://sby.centrin.net.id/~bsetia/).
Menurut kelompok penelitian Fisika Matahari Watukosek, Observatorium Matahari Watukosek mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai observatorium peringatan dini cuaca antariksa satu- satunya di ASEAN dalam 10 tahun mendatang. Karena itu, kerja sama dengan swasta, seperti operator satelit, para surveyor geomagnet, dan pemerintah daerah, perlu dirintis.
Dr Bachtiar Anwar Staf Peneliti LAPAN-Watukosek
Sumber: penapenjelajah.wordpress.com