Sejarah Hari Kesaktian Pancasila
Direbut dalam 20 menit
Berdasarkan fakta sejarah, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat
(Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera bertindak cepat. Setelah
menerima laporan lengkap dari Pangdam Jaya Meyjen Umar Wirahadikusumah
karena pimpinan Angkatan Darat lumpuh karena penculikan-penculikan dan
pembunuhan maka untuk sementara pucuk pimpinan Angkatan Darat dipegang
oleh Mayor Jenderal Soeharto.
Operasi militer dimulai sore hari tanggal 1 Oktober 1965, pasukan RPKAD
di bawah pimpinan Komandannya Kolonel Sarwo Edhie Wibowo menerima
perintah untuk merebut RRI Pusat dan Pusat Telekomunikasi. Hanya dalam
waktu 20 menit kedua sarana telekomunikasi telah direbut kembali dari
tangan pemberontak G.30.S/ PKI. Melalui RRI Pimpinan Angkatan Darat
mengumumkan adanya penculikan 6 orang perwira tinggi dan perebutan
kekuasaan oleh G.30.S.
Pasukan-pasukan Batalyon 454/Para Divisi Diponegoro dan Batalyon
530/Para Divisi/Brawijaya yang berada di lapangan Merdeka berdiri di
pihak yang melakukan pemberontakan. Kedua pasukan ini didatangkan ke
Jakarta dalam rangka Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober 1965.
Pasukan-pasukan ini diinsafkan dari keterlibatan dalam pemberontakan,
sementara sisa batalyon 454 Diponegoro mundur ke Pangkalan Halim.
Waktu itu presiden Soekarno berada di Halim Perdanakusumah, melalui
kurir khusus disampaikan pesan agar Bung Karno meninggalkan Halim dan
menuju Istana Bogor, selanjutnya diperintahkan agar kesatuan-kesatuan
RPKAD, Batalyon 328/Kujang dan Kompi pasukan Kevelri merebut Halim
Perdanakusuma.
Menjelang sore tanggal 2 Oktober 1965 jam 15.00 Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma dapat dikuasai kembali tanpa kesulitan. Kecuali suatu
perlawanan kecil oleh Batalyon 454//Para Diponegoro ketika
pasukan-pasukan yang setia kepada pemerintah membersihkan kampong Lubang
Buaya yang menjadi pusat latihan Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Dalam pembersihan di Kampung Lubang Buaya atas petunjuk anggota polisi
yang ditawan oleh penculik dan berhasil meloloskan diri menunjukkan
sumur tua tempat jenazah perwira-perwira tinggi Angkatan Darat
diketemukan tanggal 3 Oktober 1965.
Difitnah dan dibunuh
Ketika dilangsungkan upacara pemberangkatan 7 jenazah Pahlawan Revolusi
korban kebiadaban aksi kontra Revolusi G.30.S/PKI ke tempat istirahatnya
yang terakhir, Menko Hankam Kasab Jendral Nasution mengatakan, “Hari
ini tanggal 5 Oktober Hari Angkatan Bersenjata tetapi kali ini dihina
oleh fitnahan, penghianatan, penganiayaan, dan pembunuhan. Kami semua
difitnah, dan kamu semua dibunuh. Kalau fitnahan itu benar kami semua
bersedia mengikuti jejakmu”.
Dikatakan selanjutnya dalam masa 20 tahun penuh, kamu telah memberi
dharma bhaktimu untuk cita-cita yang tinggi. Biarpun dicemarkan difitnah
sebagai pengkhianat, tetapi kami tahu kamu telah berjuang di atas jalan
yang benar, kami tidak pernah ragu. Kami semua akan melanjutkan
perjuangan kamu. Demikian pesan Jenderal Nasution yang diucapkan dalam
nada menangis dan penuh haru.
Sumber segala kekuasaan
Kalau kita cermati pengumuman pemberontak G.30.S ketika mereka menguasai
RRI Pusat tanggal 1 Oktober pagi, jelas bahwa telah dibentuk Dewan
Revolusi baik untuk tingkat pusat maupun untuk tingkat daerah. Dewan
Revolusi merupakan sumber segala kakuasaan dalam Negara RI.
Menurut buku “Fakta-fakta Persoalan Sekitar Gerakan 30 September” yang
dikeluarkan oleh Pusat Penerangan Angkatan Darat dapat diketahui, bahwa
“Dewan Revolusi” untuk tingkat provinsi 25 orang, tingkat kabupaten 15
orang tingkat kecamatan 10 orang, dan tingkat desa 7 orang. Yang menjadi
“Dewan Revolusi” mulai tingkat provinsi hingga tingkat desa adalah
orang-orang sipil dan militer yang mendukung G.30.S tanpa reserve.
Dewan Revolusi daerah ini merupakan kekuasaan tertinggi untuk
daerahnya. Hal ini berarti Dewan Revolusi daerah tersebut dapat
melakukan apa saja terhadap rakyat di daerahnya termasuk pembunuhan
terhadap mereka yang menantang G.30.S. Hal ini ditandai, bahwa di masa
itu di samping rumah-rumah penduduk telah diperintahkan untuk menggali
lubang perlindungan katanya untuk menghindari serangan dari imperialis,
padahal untuk tempat menguburkan penduduk yang menantang Gerakan 30
September.
Tapi berkat bantuan Allah maksud mereka semua gagal, karena Allah tahu
maksud jahat mereka, yang hendak menguasai republik ini dan menggantikan
Pancasila sebagai dasar negara dengan idiologi komunis.
Dalam rangka mempersiapkan dan mematangkan maksud melakukan coup
berdarah, maka jauh sebelum itu, PKI mengusulkan kepada pemerintah agar
15 juta massa tani dan buruh dipersenjatai. Sementara berita lain dari
surat kabar pro PKI menyiarkan kebulatan tekad Pengurus Besar Front
Nasional agar sokoguru-sokoguru revolusi dilatih.
Selanjutnya juga dituntut kepada pemerintah agar dibentuk satuan-satuan
“Angkatan ke 5” di samping Angkatan Bersenjata yang telah ada. Untuk
mempersenjatai “Angkatan ke 5” itu PKI merencanakan menggunakan senjata
sebanyak 100.000 pucuk yang dujanjikan dan akan diberikan oleh PM RRC
Chow En Lai. Usulan untuk membentuk Angkatan ke 5 ditantang oleh Menteri
Pangad Letnan Jenderal A. Yani.
Melalui fakta-fakta tersebut jelas siapa sebenarnya yang melakukan
persiapan untuk perebutan kekuasaan. Karena Jenderal Yani dan para
jenderala lainnya menantang kainginan PKI, maka mereka dibunuh secara
keji, dengan alasan yang dicari-cari bahwa “Dewan-Dewan Jenderal”
katanya hendak melakukan coup. Padahal kenyataannya merekalah yang
melakukan kekejaman yang tidak bisa dilupakan oleh sejarah. Karena
kekejaman itu dan kekejaman-kekejaman sebelumnya menyebabkan rakyat
marah bangkit melakukan aksi pengganyangan terhadap mereka.
Maksud PKI hendak menggantikan Pancasila ada faktanya yaitu ucapan CC
PKI DN Aidit. Menurut Tribuana Said dan D.S Moeljanto dalam bukunya
“Perlawanan Pers Indonesia (BPS) Terhadap Gerakan PKI” (1983)
menyebutkan sebagai berikut : DN. Aidit di depan peserta kursus Kader
Revolusi di Jakarta 16 Oktober 1964 mengatakan. “Kalau kita telah
bersatu Pancasila tidak diperlukan, sebab Pancasila alat
pemersatu.Pancasila sebagai falsafah persatuan, masing-masing golongan
telah punya paham sendiri-sendiri”
Serangan pertama terhadap gembong PKI ini dilancarkan oleh surat kabar
“Revolusioner”. Kemudian surat-surat kabar Pancasilais lainnya seperti
“Merdeka”, “Berita Indonesia” , “Sementara”, “Warta Berita”, “Karyawan”,
menyerang Aidit karena ucapannya itu. Lawan dari harian tersebut
adalah Koran yang pro PKI seperti “Harian Rakyat”, “Bintang Timur”,
“Suluh Indonesia”, “Warta Bhakti”, dan “Ekonomi Nasional”. Dengan
demikian jelaslah mana surat kabar Pancasilais dan surat kabar yang
mendukung PKI.
Penutup
Gerakan 30 September yang didalangi oleh PKI adalah suatu pemberontakan
terhadap pemerintah yang sah. Hal ini ditandai pemberontak
mendemesionirkan kabinet Dwikora. Mereka membentuk “Dewan Revolusi”
merupakan sumber dari segala kekuasaan Negara RI baik untuk tingkat
pusat maupun untuk daerah dan desa-desa. Gerakan 30 September itu
menggunakan senjata fitnaf, memfitnah para Jenderal yang mereka culik
itu akan melakukan coup, kenyataannya merekalah yang melakukan coup
berdarah.
Apa yang terjadi tanggal 30 September itu identik dengan pemberontakan
Madiun 18 Desember 1948 yang dilakukan oleh PKI Muso/Front Demokrasi
Rakyat. Mereka juga melakukan pembunuhan terhadap pejabat pemerintah dan
tokoh-tokoh masyarakat yang anti PKI. PKI/ Muso mempoklamirkan “Negara
Sovyet Republik Indonesia” menaikkan benderah merah dan mengangkat
Letkol Jokosujono sebagai Gubernur Madiun. Pemberontakan PKI/Muso, dapat
ditumpas dalam waktu yang singkat.
Sasaran yang ingin dicapai baik oleh pemberontakan PKI/Muso maupun
pemberontakan G.30 S PKI adalah menggantikan Pancasila dengan idiologi
komunis. Kenyataannya Allah masih melindungi bangsa Indonesia.
sumber : http://pubianartikel.blogspot.com/2010/09/kesaktian-pancasila.html