Garuda di Kostum Timnas
Nah, bagaimana pula dengan bangsa kita, bangsa Indonesia ini? Ibarat hewan apakah dia?
Undang-Undang Dasar tak menyinggung-nyinggung nama hewan sepatah pun.
Tidak garuda, tidak pula banteng. Simbol hewan itu baru dianggap
memiliki sifat resmi oleh ketentuan sesudahnya. Garuda, kata Almarhum
Moch. Yamin, "sebenarnya merupakan lambang pembangun dan pemelihara".
Katanya pula, kitab Morawangsa dari Kerajaan Kedah dan Kerajaan Merina
di Madagaskar pun memandang hewan ini sebagai lambang pemelihara.
Bagaimana dengan banteng? Hewan itu bukan perlambang bangsa seperti
singa Inggris atau naga Cina, melainkan lambang demokrasi atau --
tepatnya -- "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan".
Kemudian, sempat muncul tafsiran bahwa banteng itu adalah lambang
semangat bangsa. Sabar, tak banyak cingcong, tapi bila diganggu bisa
menjadi begitu berang dan mengamuk. Akibat perubahan struktur politik
di masyarakat, arti penting banteng selaku lambang semangat itu menjadi
berantakan. Konsekuensinya pun terasa di sektor lain: empat patung
banteng dalam posisi siap menyeruduk, yang mulanya berdiri di tiap
sudut Monumen Nasional (Monas), pada suatu hari digotong orang tanpa
bilang "ba" atau "bu" dulu. Hotel Banteng, yang proses pembangunannya
belum rampung, diganti nama menjadi Hotel Borobudur. Hanya kondektur
bus kota Jakarta yang masih setia meneriakkan "banteng". Bukan lantaran
terpicu oleh gejolak rasa kebangsaan atau yang semacam itu, tetapi
semata-mata karena memang begitulah nama terminalnya.
Memang, di zaman yang sudah mengharuskan sikap realis dan pragmatis
ini, rada kikuk juga kalau kita masih menyama-nyamakan diri dengan
tabiat hewan. Karena, yang namanya binatang itu, termasuk simpanse
sekali pun, rata-rata sukar diharapkan bisa bersikap realis atau
pragmatis. Yang -- tampaknya -- lebih diperlukan di zaman seperti
sekarang adalah menjadi inovator, atau (kalau memiliki "nasib baik")
menjadi entrepreneur, dan bukannya menjunjung derajat hewan di atas
kepala. Toh orang Jepang, sama sekali tak punya hewan simbol -- malah
mereka yang kemudian dijuluki orang sebagai "binatang ekonomi".
Bagaimanapun, setiap persoalan memang harus didudukkan kembali pada
kursinya masing-masing. Pengkultusan yang lebay, baik terhadap hewan
maupun manusia, sudah bukan "barang layak jual" lagi. Egaliterianisme
pun sudah kian berkembang biak di tengah-tengah interaksi manusia
dengan hewan. Tak ada satu pasal pun dalam perundang-undangan di negeri
ini yang berniat bikin repot fenomena itu.
**
David L. Tobing mengatakan, sesuai dengan Pasal 51 dan 52 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan, lambang negara hanya dapat digunakan untuk cap atau
kop surat jabatan, cap dinas untuk kantor, kertas bermaterai serta
surat dan lencana gelar pahlawan, tanda jasa, dan kehormatan"
Demi objektivitas, kalau saya mengambil frase dari David L. Tobing yang
menggugat penggunaan simbol garuda di kostum Timnas Sepak Bola
Indonesia, saya pun akan menutup tulisan ini dengan mengambil lagi
frase dari isi UU No. 24 Tahun 2009. Bab IV, Bagian Kedua tentang
Penggunaan Lambang Negara, Pasal 52 huruf e menyebutkan, "Lambang
Negara dapat digunakan sebagai lencana atau atribut pejabat negara,
pejabat pemerintah atau warga negara Indonesia yang sedang mengemban
tugas negara di luar negeri. Pasal 54 ayat 3: Lambang negara sebagai
lencana atau atribut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf e
dipasang pada pakaian di dada sebelah kiri.***
Penulis, esais tinggal di Bandung.