Kuasa Media dalam Mempengaruhi Gaya Hidup dan Pola Pikir Masyarakat (1)
Iklan pun juga turut andil dalam mempengaruhi dan merubha gya hidup dan pola pikir masyarakat. Iklan telah menjadi suatu bentu propaganda. Tetapi sekarang anak-anak muda yang lebih muda dan jauh menjadi lebih muda lagi menjadi targetnya. Deragulasi berarti bahwa tidak ada kontrol pda sejumlah iklan yang menjadikan anak sebagai subjeknya. Banyak kartun anak-anak di sepanjang acara yang sebenarnya hanya berisi iklan saja untuk mempromosikan produk tertentu. Iklan Ice Cream Paddle Pop merupakan sebuah contoh yang dapat kita renungka bersama.Televisi, film, suratkabar, majalah, hadpone, internet, laptop, dan MP3 adalah produk budaya. Produk budaya berbeda dengan produk-produk lain seperti blender dan kompor. Produk budaya mengndung makna nilai, ide, dan merupakan suatu bentuk komunikasi. Tetapi sama seperti blender dan kompor, produk-produk media juga diproduksi secara massif dan dipasarkan sebagai barang konsumen. Seperti contoh program-program televisi yang disaksikan oleh puluhan bahkan ratusan juta orang. Seperti produksi-produksi industri lain, mereka yang “memuat” atau membutuhkan inovasi dan kreasi secara terus- menerus yang kemudian dijual semurah mungkin supaya mendapat keuntunagn relatif besar.
Filem dalam kusa media juga mempunyai posisi penting. Ratusan bahkan ribuan film menarik telah diproduksi agar dapat disaksikan oleh masyarakat luas. Jenis-jenis film pun juga disesuaikan dengan selera masyarakat mulai dari jenis drama, action, kartun, horror, thriller hingga film porno pun disajikan di kemas dengan figur artis dan alur cerita yang sangat menarik.
Masyarakat tidak menyadari bahwa film juga dapat merubah gaya hidup dan merubah gaya hidup dan pola pikir meraka. Hal ini dibuktikan banyaknya kasus kriminal berupa pencabulan dan pemerkosaan akibat setelah menonton film porno atau yang sering lebih di istilahkan sebagai film biru. Bahkan tak dapat terelakan lagi banyaknya kasus pembunuhan secara tidak langsung juga terkait campur tangan dari film yang berjenis theriller.
Pada film yang berjenis horror adalah film yang berisi tentang katakutan dan kengerian yang bertujuan untuk menakut-nakuti penonton. Ketika menyaksikan film, semakin baguslah film horror tersebut. Namun, ketakutan yang ditimbulkan tersebut bisa berefek secara psikologis selama betahun-tahun, terutam anak-anak. Artis dalam film pun juga ikut adil dalam mempengaruhi masyarakat. Gaya hidup artis yang digemari lebih banyak di ikuti oleh sebagian masyarakat dari gaya berpakaian sampai gaya rambut. Dalam posisi film yang sedemikian penting tersebut, iklan juga tak kalah gencarnya hadir bergelirya dalam mempromosikan segala produknya. Kini, film menjual produknya tidak hanya lewat bioskop atau layar tancap, tetapi juga hadir lewat rental atau penyewaan VCD/DVD film yang sydah dikomersialkan
Film adalah sumber hiburan yang paling dikenal luas. Industri film adalah konglomerat kapital global, sekaligus merupakan kebudayaan dan kekuasaan yang berpengaruh. Tetapi film bukan hanya sekedar hiburan yang dapat mempengaruhi masyarakat luas. Film sekali lagi adalah “ teks” denagn makna terkodekan yang dapat dibaca.
Mereka menggunakan perangkat indeksikal, ikonik, dan simbolik, yang dengan mudah dapat diidentifikasikan oleh audiens. Memang, sinema menggunakan penanda sebagai jalan pintas untuk membantu memnggerakkan aliran narasi. Jadi, contohnya, dalam Don’t Look Now (1973) warna merah adalah penanda konstan yang mengkonotasikan hasrat, kematian, bahaya, dan tekanan tersembunyi. Warna merah menjadi motif utama dalam film tersebut.
Dalam Maltese Falcon (1931), patung burung elang adalah penanda ikonik. Sorotan White House, menandakan pemerintah Amerika, atau patung Liberty dan menara Eiffel, mewakili tempat-tempat geografis atau menggunakan narasi tentang tempat, umum digunakan dalam film sebagai penanda metonimik.
Tanda-tanda simbolik, seperti bayangan hitam, latar salju, dan gotik digunakan untuk mendenotasikan api, usaha atau wadah. Film juga bergantung pada intertekstualitas. Dengan demikian, satu film mungkin memiliki rujukan kepada film lain, baik secara eksplisit dengan dialog atau secara implisit dengan mencuri sekuens.
Film-film nasioanal yang banyak memberi pesan moral malah tidak ada peminatnya sama sekali. Tetapi sebenarnya, kebanyakan menonton film tidak akan membuat kita menjadi ada apa-apa. Adanya film malah, kalau menjalani hidup kita adanya kita hanya menyamakan jalannya kehidupan kita itu dengan yang ada di film. Tidak baik juga kita melihat suatu yang tidak nyata atau yang Cuma dibuat-buat (fiktif). Kalau kita tidak pintar menyeleksi tayangan film, kita juga dapat terjebak dalam kesesatan.
Representasi perempuan pun juga ikut andil dalam media. Perempuan dalam media selalu di gambarkan sebagai objek tatapan pria . pada model yang nyaris telanjang pada sampul majalah pria adalah pemandangan biasa. Perempuan telanjang dada menghinakan asi kebanyakan suratkabar dan cover tabloid. Para presenter program televisi populer dipilih berdasarkan wajah mereka bukannya bakat yang sesungguhnya lebih substansial.
Bahkan, model perempuan iklan dalam majalah-majalah yang berkisar tentang diet, dan produk-produk kecantikan menjadi iklan utama untuk memikat konsumen yang berjenis kelamin perempuan agar mereka membeli produk iklan untuk mendapatkan kecantikan yang sama dengan model iklan tersebut. Majalah wanita yang berkilau memanipulasi pembacanya dengan cara yang sangat canggih. Lihatlah contohnya, dengan manipulasi digital dan dengan sedikit make-up dapat merubah pupil mata model agar tampak membesar, iris mata di buat menjadi biru, dan tentunya bibirnya di buat menjadi lebih merah agar dapat memikat konsumen media.
Tidak heran jika perempuan tidak merasa cukup baik dan memiliki kepercayaan diri yang rendah. Bahkan ketika seorang perempuan menyandang gelar “supermodel.” Ia membutuhkan begitu banyak modifikasi buatan, lalu adakah harapan kepada diri perempuan yang biasa-biasa saja?
Sumber Ilustrasi gambar :2.bp.blogspot.com
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda