Nikah Siri, Haruskah Negara Ikut Campur?

Hubungan
Konteks hubungan antara laki-laki dengan perempuan dalam perspektif asmara sebenarnya banyak jenis. Mulai dari pacaran, tunangan, istri simpanan, perselingkuhan, jajan atau prostitusi, nikah siri, nikah mut’ah (kawin kontrak), dan pernikahan.

Dari berbagai ‘jenis’ hubungan itu, hanya ‘pernikahan’ yang memiliki legalitas dan karenanya memiliki konsekuensi hukum bagi pasangan nikah itu dan bagi anak-anak mereka. Lainnya, bisa dikatakan hubungan ‘di bahah tangan’.

Semua hubungan di bawah tangan itu memiliki konsekuansi yang hampir sama dengan nikah siri, dalam arti bisa menghasilkan anak dari hubungan tersebut. Lebih dari itu, juga bisa menimbulkan komplikasi hubungan individual sampai relasi sosial yang melingkupinya.

Padahal, diakui atau tidak, semua jenis hubungan di bawah tangan itu eksis di masyarakat kita. Bahkan, masyarakat yang semakin individualis saat ini cenderung permisif menyikapi perilaku tersebut. Bisa jadi, nilai-nilai individualistik yang makin meluas yang melahirkan sikap permisif tersebut sehingga masyarakat tidak ambil pusing dengan fenomena yang ada di sekelilingnya.

Dalam perspektif hukum, hubungan tanpa perlindungan hukum itu bisa menimbulkan permasalahan sosial dan kriminalitas. Misalnya, memunculkanpraktik aborsi dan pembunuhan bayi yang lahir tanpa ikatan pernikahan.

Karena itu, jika memang diperlukan pengaturan, maka ruang lingkupnya mestinya tidak terbatas pada nikah siri semata, tapi semua hubungan di bawah tangan yang memiliki konsekuansi sosiologis tersebut.

Memang, hukum akan tidak mudah menjangkaunya. Hanya nikah siri yang bisa dijangkau karena ‘pelembagaanya’ relatif bisa dikenali. Sedangkan hubungan lainnya semisal istri simpanan tidak dapat dijangkau oleh hukum kecuali efek-efeknya yang menimbulkan konsekuensi hukum, misalnya penganiayaan.

Sementara itu, prostitusi sebenarnya relatif bisa dikenali sosoknya. Namun, tetap saja hukum sulit menjangkaunya. Sebut saja, ketika Pemda Tangerang menerapkan Parda Antipelacuran, tidak sedikit pihak yang menetangnya. Bahkan, di antara mereka melabeli aturan itu dengan sebutan ‘perda syariah’.

Labih dari itu, negara juga terkesan permisif terhadap praktik prostitusi. Praktik prostitusi saat ini bisa dibilang meluas. Tapi, pemerintah cenderung tidak bereaksi secara tepat. Di sisi lain, masyarakat cenderung menutup mata terhadap praktik-praktik seperti itu.

Pertanyaannya, kalau negara menerapkan sanksi tegas terhadap nikah siri, mengapa itu tidak dikenakan terhadap praktik prostitusi dan semua jenis hubungan di bawah tangan lainnya?

Tanggungjawab
Dalam perpektif kebebasan warga negara, sesungguhnya negara harus meminimalisir campurtangannya dalam kehidupan individu warganegaranya. Warga negara dipandang sebagai individu bebas yang memiliki hak penuh atas kebebasannya, sekaligus secara sadar harus mempertanggungjawabkan apa yang dikerjakannya.

Dari sudut pandang ini, hubungan nikah siri sesungguhnya merupakan hak warga negara dengan segala konsekuansinya. Pelaku, sepanjang tidak di bawah umur, juga dipahami sebagai individu yang atas kesadarannya bertanggungjawab atas apa yang dilakukan.

Jika patokan ini diambil, maka nikah siri yang disebut-sebut lebih merugikan perempuan ketimbang laki-laki menjadi tidak relevan. Sebab, perempuan juga dipandang sebagai individu yang memiliki tanggungjawab atas apa yang dilakukannya.

Di masyarakat sekuler, hubungan pacaran kerapkali memiliki kemiripan dengan hubungan pernikahan. Mereka bebas tinggal bersama, memiliki anak bersama, dan mengasuh secara bertanggungjawab anak-anak mereka.

Jika suatu ketika mereka berpisah karena sudah tidak ada kecocokan lagi atau karena aspek tanggungjawab yang kecil dari satu pihak, maka dengan kesadaran dan kebebasannya sebagai warga negara, mereka menerima konsekuesi logis dari tindakannya itu.

Bedanya, di negara-negara sekuler, anak hasil hubungan pacaran tetap diakui secara legal. Sedangkan di Indonesia, anak hasil hubungan nikah siri tidak diakui negara. Apalagi, anak hasil hubungan gelap lainnya.

Paralel dengan itu, negara lantas ingin mengatur di tingkat hulunya sebelum menimbulkan masalah di tingkat hilirnya. Dalam konteks inilah, Kementerian Agama lantas melarang pernikahan siri dalam sebuah undang-undang dengan segala sanksi pidananya.

Tapi, benturan antarmazhab pemikiran pun tak terelakkan. Silang pendapat antara Mahfud MD dengan Ifdhal Kasim menggambarkan pertentangan antara perspektif perlindungan terhadap warga negara vesus penolakan terhadap intervensi negara dalam kehidupan privat.

Sementara, dari sudut agama (Islam) juga ada gugatan. Mengapa nikah yang jelas-jelas menghalalkan hubungan antarlawan jenis dipidanakan, sementara praktik perzinaan yang meluas tidak dipidanakan?

Masalah ini akan tetap menjadi kontroversi hingga pembahasan di DPR nantinya. Mungkin, RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan ini nantinya tidak kalah heboh dengan pembahasan RUU Antipornografi beberapa waktu lalu.

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda