Koalisi Politik Dua Kaki

Namun yang menjadi abnormal dalam logika koalisi pemerintah adalah jika posisi partai-partai mitra koalisi justru berseberangan dengan pemerintah. Mitra koalisi pemerintah--Golkar, PKS, dan PPP--justru memiliki kesamaan pandangan dengan partai-partai di kubu oposisi. Padahal partai-partai ini telah mendapatkan jatah posisi menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II.

Hal ini menunjukkan bahwa ketiga partai mitra koalisi pemerintah itu berdiri di dua kaki, berkoalisi dengan pemerintahan sekaligus menjalankan peran oposisi di DPR. Fenomena seperti ini juga kerap dijumpai selama lima tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.

Berangkat dari fenomena politik seperti ini memunculkan pertanyaan: mengapa politik dua kaki yang dijalankan partai-partai masih mendominasi model pemerintah kita? Paling tidak ada dua jawaban yang bisa diajukan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, implikasi dari sistem pemerintahan presidensial yang kita anut tidak kompatibel dengan sistem multipartai yang sedang tumbuh subur di Indonesia, menyebabkan adanya koalisi dalam pemerintahan. Kedua, ideologi partai-partai kita yang sangat lemah dan pragmatis menyebabkan karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin, amat oportunistik, dan pragmatis sehingga koalisi yang terbangun sangat rapuh dan cair.

Setengah hati 

Di beberapa negara di Amerika Latin, kombinasi presidensialisme dan multipartisme terbukti menimbulkan instabilitas politik dan kedudukan presiden yang lemah. Sebab, dalam sistem multipartai yang terfragmentasi akan sulit melahirkan satu partai mayoritas yang cukup kuat untuk membentuk satu pemerintahan sendiri (tanpa koalisi). Di tengah ketiadaan kekuatan partai mayoritas itulah, kemungkinan bagi terjadinya jalan buntu legislatif-eksekutif menjadi terbuka (Scott Mainwaring, 1993).

Mengacu pada studi Juan Linz dan Arturo Velenzuela (1994) di Amerika Latin, presidensialisme yang diterapkan di atas struktur politik multipartai juga diragukan dapat mendorong demokratisasi. Sebaliknya justru cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. Kekhawatiran ini terbukti di Indonesia. Kebijakan pemerintah kerap diinterpelasi oleh DPR. Hak angket dan ancaman penarikan dukungan, misalnya, selalu menjadi alat bagi partai politik untuk bernegosiasi dengan presiden. Implikasinya, kompromi-kompromi politik menjadi sulit dihindari.

Kemunculan kompromi inilah menyebabkan presidensialisme dijalankan secara setengah hati. Salah satu kompromi yang sulit dihindari--bahkan menjadi kebutuhan mendasar--dalam presidensialisme setengah hati adalah diperlukannya koalisi partai dalam membentuk pemerintahan. Koalisi yang tidak lazim dalam tradisi presidensialisme menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari dalam situasi multipartai. Koalisi ini menyebabkan sistem presidensial tampil dengan gaya parlementer dan pemerintah sering terserimpung oleh manuver partai-partai.

Ideologi pragmatis

Kondisi ini semakin problematik karena karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin dan oportunistik yang disebabkan oleh lemahnya ideologi partai. Implikasi dari ideologi partai-partai yang sangat lemah dan pragmatis ini, koalisi yang terbangun sangat rapuh dan cair. Koalisi yang terbentuk tidak akan pernah bersifat permanen. Jadi politik dua kaki yang dijalankan partai politik muncul akibat dari lemahnya ikatan koalisi yang terbangun.

Fenomena politik dua kaki ini terjadi karena koalisi dibangun di atas fondasi kepentingan-kepentingan pragmatisme politik kekuasaan, ketimbang berdasarkan kedekatan ideologi atau persamaan platform. Peta koalisi seperti ini akan selalu mengalami perubahan. Intensitas koalisi akan berjalan instan dan cepat. Jadi, walaupun kekuatan koalisi partai pendukung pemerintah di parlemen secara kuantitas besar, secara kualitas, soliditas koalisi yang terbangun sangat cair dan rapuh.

Kembali pada dinamika koalisi dalam kasus Centurygate, jika partai-partai mitra koalisi yang berseberangan dengan sikap pemerintah (Golkar, PKS, dan PPP) memiliki keyakinan kebenaran atas sikap politiknya dalam mengungkap skandal Bank Century--bahkan perlu diapresiasi jika itu memang demi mengungkap kebenaran--pilihan paling bijak dan elegan adalah menarik diri atau keluar dari koalisi serta menarik semua menterinya di kabinet. Sikap politik ini tidak perlu menunggu reshuffle kabinet.

Menurut saya, pilihan keluar dari koalisi pemerintah jauh lebih terhormat dan bermartabat ketimbang menerapkan politik dua kaki atau politik bermuka dua. Apalagi jika sikap politik itu hanya dijadikan untuk meningkatkan posisi tawar di hadapan Presiden atau akan dibarter dengan kasus lain. Semoga tidak. Sebab, jika itu yang terjadi, sikap politik ini sejatinya tidak patut diapresiasi dan tidak layak mengatasnamakan kepentingan rakyat.

panulis: Hanta Yuda A.R., analis politik dan peneliti The Indonesian Institute 

sumber gambar ilustrasi : eramuslim.com

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda