Pancasila 1 Juni 1945

Tafsir otentik

Pada era reformasi saat ini, Pancasila hanya ditempatkan sebagai frasemologi politik dan tidak menjiwai praktik ketatanegaraan kita. Fakta-fakta yuridisnya dapat kita lihat dari produk- produk hukum yang bertentangan dengan Pancasila. Hal itu terjadi karena mayoritas pejabat yang berwenang membuat produk perundang-undangan telah kehilangan pedoman untuk memahami tafsir Pancasila sebagai sumber hukum sebagaimana diatur UU Nomor 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Di samping itu, terdapat pemahaman yang berbeda-beda atas tafsir otentik Pancasila. Selain pemahaman Pancasila 1 Juni 1945, Pancasila 22 Juni 1945, dan Pancasila 18 Agustus 1945, bahkan ada juga yang menganggap bahwa Pancasila itu hanyalah deretan kata-kata dalam sila-sila Pancasila yang makna dan penafsirannya bebas diterjemahkan menurut selera masing-masing.

Berbagai pemahaman tersebut seolah-olah menggambarkan pertentangan di antara versi-versi Pancasila di atas. Namun, jika kita telusuri dalam perspektif historis, seluruh tahapan pembahasan Pancasila sebagai dasar negara sejak rapat-rapat BPUPKI 29 Mei-1 Juni 1945, lahirnya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sampai pada saat penetapan Pancasila sebagai ideologi negara secara resmi pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merupakan keseluruhan proses politik dari kesatuan pemikiran, jiwa dan semangat serta kesadaran para Pendiri Bangsa sebagai perumus bersama Pancasila yang telah menjadi konsensus bangsa Indonesia.

Banyak fakta yang dapat dijadikan bukti bahwa Pancasila bersumber dari Pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Sebagai salah satu referensinya dapat kita pelajari dari Pidato Prof Mr Drs Notonagoro, pada promosi pemberian gelar Honoris Causa kepada Bung Karno di Universitas Gadjah Mada, 19 September 1951. Ia mengatakan, pengakuan terhadap Pancasila 1 Juni 1945 bukan terletak pada bentuk formal yang urut- urutannya berbeda dengan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, tetapi dalam asas dan pengertiannya yang tetap sebagai dasar filsafat negara.

Yang penting substansinya

Pengakuan Pancasila 1 Juni 1945 bukan pada sifat-sifat formalnya, tetapi pada bentuk material atau substansinya. Penjelasan tersebut telah memberikan penegasan bahwa Pancasila sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, tafsir otentiknya bersumber dari Pidato Bung Karno 1 Juni 1945.
Dengan demikian, jika kita memperingati hari lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945, bukan berarti akan mengganti sila-sila Pancasila sebagaimana yang termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 menjadi rumusan sila-sila seperti yang dipidatokan Bung Karno. Pengakuan Pemerintah dan bangsa Indonesia terhadap Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945 adalah dalam rangka pelurusan sejarah dan untuk memberikan ”roh” atau ”jiwa” bagi Pancasila bangsa Indonesia yang saat ini telah kehilangan makna substansialnya.
Maka, menjadi jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya Pancasila bangsa Indonesia hanya ada satu, yaitu Pancasila sebagaimana yang termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sesuai dengan jiwa dan semangat lahirnya tanggal 1 Juni 1945.
Atas dasar pemikiran itu, pemerintah sudah seharusnya melembagakan peringatan hari lahir Pancasila tanggal 1 Juni setiap tahunnya melalui sebuah Keputusan Presiden yang menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahirnya Pancasila untuk melengkapi Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2008 yang menetapkan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Hari Konstitusi.

Achmad Basarah Wakil Ketua Fraksi PDI-P MPR dan Wakil Sekjen DPP PDI-P

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda