Pengaruh Budaya terhadap Perdamaian
Di dalam kehidupan bermasyarakat yang serba majemuk ini, terdapat dua potensi yang telah berakar/menyatu dan saling bertolak belakang antara satu dengan yang lain bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan yang sewaktu-waktu dapat muncul silih berganti yaitu; potensi konflik dan potensi damai. Potensi konflik akan muncul apabila manusia lebih mengutamakan kepentingan pribadi/individu sehingga terjadi persaingan dalam mencapai tujuan. Sebaliknya, potensi damai akan lebih dominan apabila manusia lebih mengutamakan kepentingan kelompok yang dilandasi oleh nilai-nilai dan norma sosial yang pada gilirannya akan menciptakan suatu kedamaian.
Ditinjau dari definisi budaya itu sendiri tersirat tujuan yang sangat mulia, sehingga tidak dapat mengkambing hitamkan budaya secara langsung sebagai salah satu faktor penyebab munculnya konflik atau tidak adanya kedamaian, terlebih dengan melihat unsur-unsur budaya itu sendiri; 1. System religi atau upacara keagamaan sebagai homoreligius dimana manusia mempunyai kecerdasan, perasaan luhur dan anggapan bahwa ada kekuatan lain yang maha besar yang dapat menghitam putihkan kehidupannya. 2. System organisasi kemasyarakatan sebagai homosocius dimana manusia sadar akan kelemahannya dan dengan akalnya menyusun kekuatan dengan membuat organisasi kemasyarakatan sebagai wadah untuk bekerja sama mencapai tujuan, yaitu meningkatkan kesejahteraan hidupnya. 3. System mata pencaharian sebagai homoeconomicus dimana manusia menjadikan tingkat kehidupannya secara umum terus meningkat.
Menurut Kontjoraningrat mengatakan bahwa, sedikitnya ada empat macam sumber konflik dalam masyarakat majemuk, yaitu: 1. Adanya persiangan antara kelompok etnik dalam memperoleh sumber kehidupan. 2. Ada kelompok etnik yang memaksakan kebudayaan kepada kelompok etnik lain. 3. Ada golongan agama yang memaksakan ajarannya kepada golongan agama lain. 4. Adanya potensi konflik yang telah mengakar dalam masyarakat. Jika keempat sumber ini dapat dibendung maka akan tercipta kedamaian.
Pengaruh budaya sangat alami dan otomatis, sehingga pengaruhnya terhadap perilaku sering diterima begitu saja. Ketika kita ditanya mengapa kita melakukan sesuatu, maka kita akan menjawab secara spontanitas, “ya karena memang sudah seharusnya begitu”. Jawaban ini berupa jawaban otomatis yang menunjukkan atas pengaruh budaya dalam perilaku sehari-hari. Ketika kita berhadapan dengan masyarakat yang memiliki budaya, nilai dan kepercayaan yang berbeda dengan kita, barulah menyadari bagaimana budaya tersebut telah membentuk perilaku. Kemudian akan muncul apresiasi terhadap budaya sendiri di saat berhadapan dengan budaya yang berbeda.
Budaya ada untuk memuaskan kebutuhan masyarakat. Budaya memberikan petunjuk dan pedoman dalam menyelesaikan masalah dengan menyediakan metode “tried and true” dalam memuaskan kebutuhan fisiologis, personal dan social. Misalnya, budaya memberikan peraturan dan standar mengenai kapan waktu berkunjung dan tata cara berkunjung.
Budaya merupakan sarana untuk mencapai perdamaian dengan cara mengenali dan menghormati budaya tersebut, sebagaimana yang diutarakan oleh Dr. Bukhari Daud, M.Ed., pada seminar di Domus Academica Auditorium, Univ Oslo, Norwegia. Atau dengan cara mempelajari dan mengamalkannya dengan baik. Para ahli Antropologi telah menemukan tiga cara yang berbeda dari cultural learning :
- Formal learning; orang dewasa dan teman bermain yang lebih tua mengajarkan anggota keluarga yang lebih muda tentang bagaimana tata cara berperilaku yang baik.
- Informal learning; seorang anak akan belajar dengan meniru perilaku keluarga, teman atau pahlawan yang ditonton di TV atau film
- Technical learning; sekolah mengajarkan apa yang harus dilakukan, kenapa hal itu dilakukan, dan bagaimana cara melakukannya.
Rumah tangga sebagai bagian terkecil dalam masyarakat adalah merupakan lingkungan social yang sangat menentukan tumbuhnya potensi damai ataupun konflik. Apabila dalam sebuah rumah tangga menerapkan system pendidikana yang otoriter maka akan terbentuk manusia yang memiliki keperibadian labil, misalnya egois, meremehkan orang lain, saling membenci dan lain-lain yang diwujudkan melalui berbagai perilaku yang berpotensi konflik. Sebaliknya, jika system pendidikan yang diterapkan bersifat demokrasi dan penuh kasih maka akan terbentuk manusia yang berkeperibadian dan berperilaku yang bijak yang berpotensi damai.
Mengutip pernyataan Albert Einstein, damai bukanlah sekedar absennya perang, melainkan adanya keadilan, hukum, dan ketertiban, pendek kata adanya pemerintahan yang efektif. Dilihat dari perspektif perdamaian yang sejati dimana indicator umumnya keadilan sosial, kemiskinan dan kesenjangan sosial menjadi faktor utama pendorong konflik dan tidak adanya perdamaian.
Damai bukanlah semata-mata ketiadaan perang. Damai yang sejati adalah damai yang dinamis, partisipatif dan berjangka panjang. Ia dapat terwujud manakala nilai-nilai kemanusiaan (budaya) universal yang telah mengakar dan menjalar di segala lini kehidupan praktis; keluarga, sekolah, komunitas, masyarakat dan Negara.
Budaya sebagai aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dimiliki oleh manusia akan sangat berperan dan berpengaruh dalam mengelola pergeseran fikiran di antara keragaman budaya masyarakat yang ada dalam menciptakan perdamaian abadi dengan menanamkan pada benak masyarakat – terutama kaum muda – nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap orang lain, menghilangkan kecurigaan dan permusuhan. Dengan kata lain, membudayakan budaya yang ada menuju budaya damai dan saling percaya serta merubah pola pikir dan pola tindak yang diharapkan datang dari segenap elemen masyarakat.
by. Gadysa & Gelbina