Kesejahteraan Buruh dalam Belenggu Sistem Outsourcing

Belenggu Outsourcing Entah mengapa sistem outsourcing muncul dan legal dalam dunia tenaga kerja. Sistem yang digadang untuk memaksimalkan kualitas seleksi penerimaan pekerja dan kualitas pekerja yang ingin bekerja di suatu perusahaan malah menjadi ladang pemerasan terhadap pekerja/buruh. Saya sendiri sudah sangat gerah dengan sistem ini karena juga membelenggu adik saya. Dari apa yang telah dialami adik saya, saya menyimpulkan bahwa outsourcing tak ada ubahnya seperti calo tenaga kerja (preman pabrik berdasi) hanya saja cara ini lebih dianggap resmi. Oleh karena sistem ini, ada beberapa konsekuensi yang dirasakan langsung oleh adik saya diantaranya: adanya pungutan liar (di awal atau perbulannya), kontrak kerja tidak panjang dan sewaktu-waktu bisa di rumahkan, memiliki dua tuan, susah menjadi pekerja tetap, serta kurang diberikan tunjangan-tunjangan yang seharusnya didapatkan sebagai pekerja. Akhirnya, keberadaan outsourcing menjadi akar pahit dalam dunia ketenagakerjaan. Bagaimana mungkin para pekerja puas dengan penghasilan yang didapatkannya jika penghasilannya tersebut harus dikurangi beberapa persen kepada lembaga outsourcing. Akhirnya, buruh kehilangan mental dan semangat untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Keadaan ini juga sangat mungkin diturunkan kepada anak dan cucunya. Akibatnya, kemiskinan yang ada tak pernah usai. Lantas, apa arti keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia jika secara ekonomi nasib para buruh ditindas? Apa arti kemanusiaan yang adil jika outsourcing menjadi ‘benalu’ bagi buruh? Tak lain dan tak bukan, kematian orang miskin akan sangat menyakitkan karena mati di tengah Negara yang subur dan punya potensi industri yang besar. Sejahterakan Buruh Sejahterakan buruh! Itu menjadi seruan kita semua di tengah kondisi perburuhan kita yang amburadul. Sepertinya para buruh hanya dianggap sebagai budak yang harus melayani dengan bekerja. Sepertinya buruh dianggap rendah dalam tingkatan pekerjaan. Sepertinya buruh hanya layak digaji rendah. Kiranya persepsi ini bisa dihapuskan untuk mewujudkan buruh yang sejahtera. Setahu saya, Kota Batam adalah Kota industri yang memiliki jumlah pekerja/buruh yang besar. Akan tetapi hingga hari ini, saya sangat jarang mendengar bahwa pekerja/buruh di Batam mengeluh atau berdemonstrasi. Bisa kita simpulkan bahwa pekerja/buruh di Batam memperoleh kesejahteraan dari tempatnya bekerja. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan kondisi buruh yang ada di pulau Jawa yang hampir tiap hari melakukan demonstrasi menuntut kesejahteraan. Semua masih mungkin saja terjadi misalkan penghapusan outsourcing dan pengupahan buruh yang memberi kesejahteraan. Tentu para buruh juga sadar apa yang dilakukannya untuk perusahaan tidak harus dihargai lebih besar dari seorang manajer atau kepala bagian. Akan tetapi, para buruh juga sadar nilai yang pantas untuk jasa yang diberikan. Oleh karena itu, ada baiknya penetapan upah minimum mendengar suara buruh dan transparansi keuangan perusahaan. Jangan sampai perusahaan bangkrut karena ‘lebih besar pasak daripada tiang’. Hal ini perlu dilakukan sehingga semua pihak bisa membaca situasi dan menempatkan dirinya untuk keberlanjutan hidup yang lebih panjang. Buruh bergaji rendah lebih baik daripada perusahaan bangkrut dan mem-PHK para pekerjanya. Namun, lebih baik lagi, perusahaan tetap berjalan dengan gaji buruh yang mensejahterakan. Nilainya? Biarlah pihak-pihak yang bersangkutan memikirkannya dengan hati yang tidak serakah. Buruh juga manusia yang butuh hidup sejahtera. Sejahterakan buruh atau kemiskinan struktural akan semakin besar. Jangan sampai kelak orang miskin lebih serakah daripada orang kaya.

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda