Gula, Jangan Kurang dan Jangan Berlebih

Sampai saat ini, sebagian besar bahan pemanis yang digunakan adalah yang berasal dari gula. Misalnya, sukrosa (gula pasir, gula yang diperoleh dari tanaman tebu) yang banyak dipakai dalam pembuatan convectionary (makanan bergula seperti permen), kue, cokelat, aneka minuman, dan sebagainya.

Gula memang tidak mengandung zat gizi lain, seperti protein, vitamin atau mineral, juga tidak mengandung serat. Tapi, sebagai bagian dari karbohidrat, gula adalah sumber kalori penghasil energi (sebagai pemberi tenaga) untuk aktivitas dan menjaga proses metabolisme tubuh, serta pertumbuhan sel-sel tubuh.

Lalu, sejak kapan anak boleh diberi gula? Sebenarnya boleh saja gula diberikan sejak anak telah berusia 6 bulan, yaitu dimana anak mulai mengonsumsi MP-ASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu) setelah pemberian ASI eksklusif. Anda bisa menambahkan gula sedikit saja saat membuat bubur tepung beras. Ingat sedikit saja, lho... dan jangan sering-sering.

Selanjutnya, pemberian gula pada makanan anak juga sebaiknya dibatasi. Mengapa? Untuk menjadi kalori, gula di dalam tubuh akan mengalami proses pemecahan. Proses tersebut memerlukan vitamin B1. Jadi, bila kita banyak makan gula, atau karbohidrat, tentu akan semakin banyak vitamin B1 yang dibutuhkan.

Jika tidak diimbangi dengan asupan yang cukup dari makanan yang kita makan, maka tubuh akan kekurangan vitamin B1. Akibatnya, timbul gangguan pada fungsi sistem saraf yang akan menimbulkan gejala-gejala kelelahan, kurang konsentrasi, menjadi lebih peka dan sebagainya. Sumber vitamin B1 antara lain kacang-kacangan dan biji-bijian.

Ada efek samping. Menurut dr. Alan Greene, pengasuh rubrik kesehatan anak dalam situs www.drgreene.com, pada tahun 1800, rata-rata orang Amerika (pria, wanita dan anak-anak) mengonsumsi 12 pound (6 kg) gula per tahunnya. Tahun 1975, setelah terjadi keberhasilan dalam industri refined-food, jumlah itu telah melompat menjadi 118 pound (59 kg) per tahunnya, dan meningkat lagi menjadi 137,5 pound (± 68 kg) pada tahun 1990.

Nah, efek samping yang merugikan terhadap kesehatan bila anak terlalu banyak mengonsumsi gula adalah:

  • Kerusakan pada gigi. Bila setelah mengonsumsi makanan bergula, anak tidak segera membersihkan (menyikat) gigi, maka akan mengakibatkan kerusakan pada gigi, seperti gigi berlubang (karies). Karies timbul karena karbohidrat yang sudah terurai oleh enzim pada air liur akan difermentasi oleh bakteri dalam mulut dan menghasilkan asam. Asam inilah  yang dapat merusak lapisan email gigi, sehingga  timbul karies.
  • Kegemukan atau obesitas. Setiap kelebihan kalori dari yang dibutuhkan tubuh sehari-hari akan disimpan dalam bentuk lemak. Karena itu, konsumsi makanan, termasuk gula, yang berlebihan, bila tidak disertai peningkatan aktivitas fisik, dapat mengakibatkan penambahan berat badan. Akhirnya, menjadi kegemukan atau obesitas dengan berbagai komplikasi dan dampaknya di masa datang. 
Adakah efek gula terhadap perilaku anak-anak? Sampai sekarang masih menjadi perdebatan hangat di kalangan dokter anak. Sebagian ahli berpendapat bahwa konsumsi gula dapat mempengaruhi perilaku anak, yaitu membuat mereka hiperaktif. Namun, sampai kini belum terbukti adanya hubungan langsung antara konsumsi gula dan perilaku hiperaktif, sehingga hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Jadi, silakan mengonsumsi makanan atau minuman manis, asal jangan berlebihan. Jadi secukupnya saja. Soalnya, anak juga perlu diperkenalkan pada rasa manis agar ia mengenali semua rasa makanan yang ada. 

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda