Pemerintahan RI 2009-2014 dan Tekad Polri Berantas Korupsi
Padahal, dalam standar internasional, melindungi kejahatan korupsi, termasuk bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Salah satu bentuk korupsi atau melindungi korupsi oleh polisi, adalah ketika oknum polisi menerima suap, tetapi mereka berpura-pura tidak tahu, bahwa suap terhadap dirinya, merupakan tindakan korupsi. Demikian juga ketika polisi berpura-pura tidak tahu terjadinya pemberian suap dari seseorang kepada orang lain, padahal (sebetulnya) sang polisi telah berhasil ‘menangkap tangan’ tindakan suap tadi.
Di saat seorang polisi, apalagi sejumlah polisi, mengetahui terjadinya korupsi, tetapi dia, atau mereka, berpura-pura tidak tahu, berarti mereka telah menganiaya profesi polisi, dan organisasi kepolisian tempat ia bekerja. Polisi macam itu telah bertindak tidak menghormati hak warga masyarakat untuk terbebas dari korupsi di tengah hidup dan kehidupan sosialnya, di negerinya sendiri.
Polisi yang menerima suap atau berpura-pura tidak tahu terjadinya korupsi (terutama dengan maksud agar dirinya juga dapat menerima suap), jelas-jelas melanggar hukum. Sikap demikian, tidak memberi contoh dan keteladanan guna memperkuat tekad Polri menyongsong pemerintahan bersih dari korupsi di Indonesia, di masa sekarang dan mendatang. Dengan sikap itu, polisi juga tidak akan mampu dipercayai, sekaligus tidak akan dicintai masyarakat.
Tidak ada pilihan
Tekad Polri untuk secara serius dan terus menerus mem-back up pemerintahan RI 2009-2014 (hasil Pilpres 2009) yang bersih, adalah pilihan satu-satunya. Polri tidak punya pilihan kecuali untuk secara sistematis, terus menerus (sustainable) dan terukur, mempelopori tindakan anti korupsi, baik ke dalam (internal Polri), maupun ke luar (sesuai kewenangannya). Tekad Polri ini mutlak direalisir terutama guna membangun kepercayaan masyarakat (public trust), sebagai target pertama Grand Strategy Polri 2005-2025.
Karenanya, keterlibatan langsung atau tidak langsung dalam urusan korupsi yang dilakukan polisi (anggota Polri), dapat mengakibatkan rusaknya integritas pribadi oknum polisi yang bersangkutan. Himpunan oknum polisi yang berperibadi tidak baik (akibat tindakan korupsi), pada gilirannya dapat mengakibatkan ‘rusaknya’ akuntabilitas internal dan eksternal organisasi kepolisian kita (Polri).
Di sini penting bench marking Polri dalam konteks pemberantasan korupsi di indonesia. Untuk itu, pimpinan Polri perlu menetapkan sejumlah indikator yang mampu memberi jaminan bahwa Polri telah, sedang, dan akan selalu bertekad, serta mengambil tindakan berdasar hukum, dan atau sesuai dengan kewenangannya, guna merealisasikan tekad Polri mem-back up pemerintahan bersih, pasca Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2009.
Penyusunan indikator Polri anti korupsi dalam pemerintahan RI 2009-2014, perlu dilandasi pemikiran, bahwa apapun bentuknya, dan berapapun besar kerugiannya, serta siapapun korbannya, setiap tindakan anggota Polri yang dapat ditafsirkan sebagai tindakan korupsi, perlu diposisikan sebagai bentuk kejahatan, sekaligus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), oleh oknum anggota Polri tersebut. Di samping dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap organ kepolisiannya (Polri), serta menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat, khususnya rusaknya sistem nilai masyarakat akibat lunturnya public trust terhadap Polri.
Dalam kaitan inilah mengapa sangat wajar jika masyarakat mengharap Kapolri dan seluruh pimpinan Polri sesuai hirarkinya ke bawah, dapat benar-benar menjadi suri tauladan dalam merealisir harapan masyarakat atas kepeloporan Polri memberntas korupsi, di negeri ini. Salah satu langkah efektif yang diharapkan dapat disosialisasikan mulai tingkat Mabes Polri, Polda, Polwil, Poltabes, Polres Polsek sampai Pospol di seluruh tempat terpencil di negeri ini, adalah dengan menyatakan korupsi yang dilakukan oleh anggota Polri, sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sosialisasi atas indikasi korupsi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan di lingkungan Polri, diharapkan dapat menumbuhkembangkan kesadaran seluruh personil Polri, dimanapun mereka bertugas, untuk menghindari segala bentuk tindakan tidak terpuji dimaksud. Kesadaran ini pada gilirannya diharapkan dapat menimbulkan sikap jera (fear-arousing) bagi seluruh anggota Polri untuk melakukan tindakan melanggar hukum tersebut.
Selain itu, pimpinan Polri di setiap jenjang hirarki, perlu menjatuhkan sanksi sesuai kewenangannya atas tindakan korupsi anggota Polri, di wilayah kewenangan masing-masing. Sekaligus mempublikasikan/mensosialisasikan sanksi atas anak buahnya yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Mereka juga perlu secara terus menerus memberikan peringatan dini (early warning) kepada diri sendiri, dan seluruh anggota Polri, untuk tidak menerima suap, membiarkan terjadinya suap, serta melakukan tindakan korupsi, maupun membiarkannya.
Di saat seorang polisi, apalagi sejumlah polisi, mengetahui terjadinya korupsi, tetapi dia, atau mereka, berpura-pura tidak tahu, berarti mereka telah menganiaya profesi polisi, dan organisasi kepolisian tempat ia bekerja. Polisi macam itu telah bertindak tidak menghormati hak warga masyarakat untuk terbebas dari korupsi di tengah hidup dan kehidupan sosialnya, di negerinya sendiri.
Polisi yang menerima suap atau berpura-pura tidak tahu terjadinya korupsi (terutama dengan maksud agar dirinya juga dapat menerima suap), jelas-jelas melanggar hukum. Sikap demikian, tidak memberi contoh dan keteladanan guna memperkuat tekad Polri menyongsong pemerintahan bersih dari korupsi di Indonesia, di masa sekarang dan mendatang. Dengan sikap itu, polisi juga tidak akan mampu dipercayai, sekaligus tidak akan dicintai masyarakat.
Tidak ada pilihan
Tekad Polri untuk secara serius dan terus menerus mem-back up pemerintahan RI 2009-2014 (hasil Pilpres 2009) yang bersih, adalah pilihan satu-satunya. Polri tidak punya pilihan kecuali untuk secara sistematis, terus menerus (sustainable) dan terukur, mempelopori tindakan anti korupsi, baik ke dalam (internal Polri), maupun ke luar (sesuai kewenangannya). Tekad Polri ini mutlak direalisir terutama guna membangun kepercayaan masyarakat (public trust), sebagai target pertama Grand Strategy Polri 2005-2025.
Karenanya, keterlibatan langsung atau tidak langsung dalam urusan korupsi yang dilakukan polisi (anggota Polri), dapat mengakibatkan rusaknya integritas pribadi oknum polisi yang bersangkutan. Himpunan oknum polisi yang berperibadi tidak baik (akibat tindakan korupsi), pada gilirannya dapat mengakibatkan ‘rusaknya’ akuntabilitas internal dan eksternal organisasi kepolisian kita (Polri).
Di sini penting bench marking Polri dalam konteks pemberantasan korupsi di indonesia. Untuk itu, pimpinan Polri perlu menetapkan sejumlah indikator yang mampu memberi jaminan bahwa Polri telah, sedang, dan akan selalu bertekad, serta mengambil tindakan berdasar hukum, dan atau sesuai dengan kewenangannya, guna merealisasikan tekad Polri mem-back up pemerintahan bersih, pasca Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2009.
Penyusunan indikator Polri anti korupsi dalam pemerintahan RI 2009-2014, perlu dilandasi pemikiran, bahwa apapun bentuknya, dan berapapun besar kerugiannya, serta siapapun korbannya, setiap tindakan anggota Polri yang dapat ditafsirkan sebagai tindakan korupsi, perlu diposisikan sebagai bentuk kejahatan, sekaligus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), oleh oknum anggota Polri tersebut. Di samping dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap organ kepolisiannya (Polri), serta menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat, khususnya rusaknya sistem nilai masyarakat akibat lunturnya public trust terhadap Polri.
Dalam kaitan inilah mengapa sangat wajar jika masyarakat mengharap Kapolri dan seluruh pimpinan Polri sesuai hirarkinya ke bawah, dapat benar-benar menjadi suri tauladan dalam merealisir harapan masyarakat atas kepeloporan Polri memberntas korupsi, di negeri ini. Salah satu langkah efektif yang diharapkan dapat disosialisasikan mulai tingkat Mabes Polri, Polda, Polwil, Poltabes, Polres Polsek sampai Pospol di seluruh tempat terpencil di negeri ini, adalah dengan menyatakan korupsi yang dilakukan oleh anggota Polri, sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sosialisasi atas indikasi korupsi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan di lingkungan Polri, diharapkan dapat menumbuhkembangkan kesadaran seluruh personil Polri, dimanapun mereka bertugas, untuk menghindari segala bentuk tindakan tidak terpuji dimaksud. Kesadaran ini pada gilirannya diharapkan dapat menimbulkan sikap jera (fear-arousing) bagi seluruh anggota Polri untuk melakukan tindakan melanggar hukum tersebut.
Selain itu, pimpinan Polri di setiap jenjang hirarki, perlu menjatuhkan sanksi sesuai kewenangannya atas tindakan korupsi anggota Polri, di wilayah kewenangan masing-masing. Sekaligus mempublikasikan/mensosialisasikan sanksi atas anak buahnya yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Mereka juga perlu secara terus menerus memberikan peringatan dini (early warning) kepada diri sendiri, dan seluruh anggota Polri, untuk tidak menerima suap, membiarkan terjadinya suap, serta melakukan tindakan korupsi, maupun membiarkannya.
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda