Nilai Kepemilikan Sumber Daya Alam bagi Negara Industri
Ada dua cara bagi sebuah negara untuk menopang pembangunan negaranya sebagai negara industri. Pertama, setelah Perang Dunia II, dalam teori-teori pembangunan 'klasik' (yang dipakai pada dekade limapuluhan-enampuluhan), negara-negara industri sering kali berupaya mempengaruhi negara-negara berkembang dalam proses pembangunannya. Model pembangunan yang dipakai di negara industri diekspor menuju negara-negara sedang berkembang dalam bentuk pinjaman modal yang ditopang oleh lembaga-lembaga perbankan internasional atau lembaga swasadaya masyarakat. Negara-negara industri itu berani melakukan hal demikian karena di balik modal yang mereka miliki ada tersirat kekhawatiran bahwa modalnya tidak bisa berkembang dan tersalurkan sehingga perkembangan ekonominya menjadi stagnan. Ini merupakan cikal bakal teori pembangunan yang berdimensi kapitalis. Maka, negara-negara maju ini berupaya mempengaruhi negara berkembang atau bekas jajahannya agar memakai model pembangunan 'sesuai dengan kehendak' negara industri. Negara sedang berkembang akan diberikan pinjaman modal, akan tetapi model pembangunan, sarana yang dibangun dan pemeliharaan bangunan diarahkan oleh pemberi pinjaman. Jadi, harus hati-hatilah dalam menerima bantuan, bagaimanapun lunaknya bantuan tersebut. Amat jarang, bahkan tidak pernah negara penerima bantuan akan mampu semaju negara peminjam. Sebagian besar negara-negara industri maju yang berbasis kapitalis mempunyai kegelisahan untuk mengekspor modalnya ke luar negeri. Tetapi satu faktor lain yang harus dilihat dari gaya negara seperti itu adalah kegelisahan dan modal percaya diri yang merasa sebagai negara superordinat. Kegelisahan itu bersumber pada keinginan untuk mengembangkan usaha, pengaruh dan jangakauan operasional modal. Kepercayaan diri muncul karena modal sudah besar ditopang oleh sumber daya yang terjamin untuk menggelembungkan modal. Jika pada wal-awalnya cara negara untuk menguasai negara lain dengan cara langsung menjajah dan menguras sumber daya alamnya secara langsung, rasa gelisah dan percaya diri itu kemudian mengubah orientasi bahwa untuk mempengaruhi negara lain harus dilakukan dengan cara kerjasama ekonomi. Jadi, teori pembangunan yang berkembang dalam bentuk bantuaan ekonomi, bisa dikatakan sebagai ”penjajahan” dalam bentuk lain dalam upaya mempengaruhi negara lain. Cara kedua, adalah dengan menguasai sumber daya alam negara yang bersangkutan. Ini adalah model 'kuno', yakni dengan melakukan penjajahan seperti yang dilakukan Belanda di Hindia Belanda atau Spanyol, Portugal di Amerika Latin, Inggris di Asia Selatan atau Italia dan Eropa lain di Afrika. Kegelisahan Malaysia Adakah Malaysia kini gelisah untuk berupaya mengembangkan sayapnya atau mereka cukup percaya diri karena merasa sebagai negara super ordinat di kawasan Asia Tenggara? Malaysia adalah negara yang paling tidak sejak paruh kedua pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Muhammad boleh dikatakan sebagai negara yang telah maju dan berhasil membangun perekonomiannya jauh melampaui apa yang mereka miliki pada deka de tujuhpuluhan. Kemajuan itu misalnya terlihat dari kemampuan mereka membangun menara kembang, membangun kompleks perkantoran di luar Kuala Lumpur, atau ikut serta dalam menggelar lomba balap mobil Formula 1. Indikator ini boleh dikatakan sebagai sebuah kemajuan. Para mahasiswa mereka juga telah banyak yang kembali ke negaranya setelah belajar di luar negeri (termasuk Indonesia) untuk membangun negara. Demi memperlihatkan identitas-identitas kemelayuannya, konon negara ini juga berani membeli naskah-naskah kuno Melayu dengan harga tinggi dari Indonesia. Keberhasilan Malaysia memenangkan gugatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan dalam perkaras dengan Indonesia di Mahkamah Internasional merupakan modal untuk mengembangkan usaha nasional mereka karena dua pulau itu merupakan pulau resor terbaik di dunia, khusunya untuk pemandangan bawah laut. Yang harus dilihat adalah bahwa negara itu kini sedang berada di tingkat kepercayaan diri yang tinggi karena telah menjadi negara industri. Industri memerlukan material sumber daya alam untuk menggerakkan, menghidupkan dan memeliharanya. Kalau dilihat dari dua teori di atas, Malaysia jelaslah tidak ingin menjajah Indonesia. Malaysia mungkin saja mampu memberikan pinjaman dana lunak kepada Indonesia, tetapi model seperti ini masih belum kelihatan. Maka cara-cara yang bisa dipakai untuk mampu mendapatkan sumber daya alam Indonesia itu adalah cara-cara yang sah, mungkin lewat upaya hukum, atau mempertahankan hal berdasarkan klaim hukum atau melalui perundingan-perundingan yang dianggap sah. Keberhasilan Malaysia mendapatkan Pulau Sipadan dan Ligitan (kaya modal wisata bahari) adalah melalui jalur internasional (Mahkamah Internasional). Ketika terjadi konflik dalam blok minyak Ambalat dengan Indonesia, mereka berani bertindak karena dipandang memang miliknya. Kini jika benar telah terjadi kesepakatan nota kesepahaman (memorandum of understanding) antara Indonesia dengan Malaysia yang membuat ribuan hektar wilayah Indonesia di Kabupaten sambas itu 'berpindah tangan', lagi-lagi Malaysia mendapatkan sumber daya alam dengan cara-cara yang mungkin menurut mereka sah. Mereka mendapatkannya melalui perundingan. Tetapi, yang penting dilihat untuk kasus ini, ada hal baru. Bahwa kelihaian dalam sebuah perundingan akan memungkinkan bagi suatu negara untuk mendapatkan sumber daya alam dari negara lain. Maka di zaman post modern ini, setiap negara harus lihai dalam berunding. Penulis, staf pengajar Sosiologi, Fisip Universitas Udayana