Kekerasan di Media Televisi

Ibaratkan restoran padang yang menyajikan aneka makanan untuk disajikan, begitu juga televisi menyajikan apa saja dan  memuntahkannya untuk ditonton. Mulai dari kekerasan, kehidupan yang bermewah-mewah, pemberitaan yang tidak berimbang, sinetron yang sarat dengan pembodohan dan menjual mimpi, tayangan menyesatkan, reality show kacangan hingga infotainment mengadu domba. Bahaya tontonan kekerasan pada pelajar Fakta yang menyebabkan penyebab kejadian diatas adalah terbiasanya pelajar/generasi muda disajikan dengan tontonan kekerasan pada media televisi. Terkadang menampilkan kekerasan sebagai salah satu jalan keluar dari penyelesaian dalam masalah. Maka, akan timbul pemikiran siapa yang kuat dialah yang menang. Televisi dalam penyampaiannya lebih menyorot pada kejadian yang anarkis, aksi yang brutal untuk di tampilkan di televisi, dengan beralibi ini adalah bagaian dari jurnalistik! Ada banyak cara yang bisa dipilih media, agar lebih santun dalam mempaikan suatu program. Penggalian akar dari suatu masalah disertai dengan solusinya. Pengaruh buruk tontonan TV pada pelajar, dimulai dari kebiasaan sedari kecil untuk mengkonsumsi TV, anak dibawah dua tahun yang dibiarkan orang tuanya menonton TV bisa mengakibatkan proses wiring, yaitu proses penyambungan antara sel-sel saraf dalam otak menjadi tidak sempurna (Wirodono, 2005). Padahal anak-anak yang menonton TV tidak selalu mempunyai pengalaman empiris sehingga gambar televisi mengeksploitasi kerja otak anak-anak karena virtualisasi televisi. JIka perilaku positif yang ditiru, tentunya ini tidak akan menjadi suatu masalah. Tetapi anehnya, perilaku negatif yang lebih menarik bagi anak-anak/pelajar. Contohnya adalah adegan anti sosial yang kadarnya lebih dari 35% berada dlm sebuah tontonan/film. Kekerasan biasanya akan disertai pornografi, kalau kita teliti maka kedua unsur tersebut memiliki porsi besar, apalagi dalam film laga (hero) yang menjual seputar kekerasan. Selain itu dapat juga dijumpai dalam film kertun, film lepas, serial dan sinetron. Tidak luput juga pada berita, khususnya berita kriminal. Sangat jelas dan vulgar dalam menampilkan korban kekerasan. Seperti menampilkan korban kekerasan secara close-up, darah-darah yang berceceran, lho kanapa seperti ini yang mesti tampilkan?.  Kenapa bukan penyebabnya, tindakan antisipasi dan tindak lanjut untuk mengatasi kekerasan itu yang menjadi fokus pemberitaan. Bisa dibayangkan jika anak-anak dan pelajar menonton tontonan ini. Bahaya Kekerasan pada tontonan seperti yang saya tuliskan diatas (memiliki sikap anti sosial) juga dapat akan menimbulkan perilaku agresif (agresor) pada anak-anak dan remaja meningkat. Sebuah survai pernah dilakukan Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 – 17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi. Tontonan dan Culture Proses dari sekedar menonton TV untuk dapat berubah menjadi suatu perilaku membutuhkan waktu yang cukup panjang/simultan. Menjadi permasalahan jika yang disajikan adalah padat dengan unsur kekerasan sepanjang hari, sehingga menjadi terbiasa. Bukankah biasa karna terbiasa?. Apalagi jika kondisi lingkungan mendukung. Saya ambil contoh jika kita sehari saja menonton film laga dan sinetron, yang durasinya + 3 jam. Seminggu menjadi 21 jam, sebulan 90 jam. Jika ini menjadi ‘makanan’ rutin, maka pola sikap penonton apakah “tidak apa-apa”?. Anak belajar untuk tidak menyukai dan memukul sebagai bentuk ia tidak menyukai, dan hal itu di jadikan hal yang biasa. Suka melanggar aturan, menjadi orang yang suka marah dan keinginan hidup bermewah-mewah. Solusi yang dapat ditawarkan disini adalah sangat menarik jika kebiasaan menonton TV disertai pengawasan dari orang tua. Pengawasan bisa dimulai dari mengenal teman-teman anak, bersama-sama menonton di depan TV sekaligus memberikan penjelasan pada tontonan yang ditonton, membatasi tontonan TV dengan membuat kesepakatan bersama anak dalam batasan menonton TV. Sangat percuma jika kita batasi di rumah saja, dimana ada orang tua yang mengawasi. Bukankah tontonan dapat diakses dari mana dan kapan saja, lewat hp atau gadget yang bertebaran dan murah untuk dimiliki. Sekali lagi kepercayaan yang dibangun atas kesepakatan bersama orang tua dan anak dalam menonton tontonan dibutuhkan. Ingat,bukankah kalau orang tua sudah membuat kesepakatan dengan anak, maka orang tuapun harus memberikan contoh yang sesuai?. Selain dari dalam diri penonton, akan lebih bijak dan arif bila lembaga penyiaran, menyiarkan program acara yang tidak saja mementingkan komersil belaka. Dengan kejadian kekerasan yang marak terjadi dikalangan pelajar, besar harapan saya lembaga penyiaran nasional dan Jambi (khususnya) dapat lebih kreatif untuk memproduksi siaran dengan memperhatikan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang merupakan turunan dari Undang-undang penyiaran. Lembaga penyiaran dapat membuat program yang memberikan wadah buat pelajar dan ruang informasi dan pendidikan yang bermutu buat generasi muda. Selain itu tak kalah penting adalah peran serta masyarakat dalam mengawasi siaran televisi, jika dalam siarannya terdapat tontonan yang merugikan dan meresahkan masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan melalui Komisi Penyiaran Indonesia. **** Jambi Express   Penulis Novi Ariyani, S.Pd Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jambi Koordinator Bidang Kelembagaan

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda