Melindungi Hak Anak dari Kekerasan
Dari
faktor kultural, misalnya, adanya pandangan bahwa anak adalah harta
kekayaan orang tua atau pandangan bahwa anak harus patuh kepada orang
tua seolah-olah menjadi alat pembenaran atas tindak kekerasan terhadap
anak. Bila si anak dianggap lalai, rewel, tidak patuh, dan menentang
kehendak orang tua, dia akan memperoleh sanksi atau hukuman, yang
kemudian dapat berubah menjadi kekerasan.
Faktor struktural diakibatkan adanya hubungan yang tidak seimbang (asimetris), baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Di sini, anak berada dalam posisi lebih lemah, lebih rendah karena secara fisik, mereka memang lebih lemah daripada orang dewasa dan masih bergantung pada orang-orang dewasa di sekitarnya.
Akibatnya, pendiskreditan dan pendistorsian anak secara struktural sering terjadi, baik secara sadar maupun tidak. Karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama, khususnya para orang tua, untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Paradigma bahwa anak adalah milik orang tua harus segera diubah. Untuk itu, diperlukan peran serta pemerintah dan kepedulian masyarakat..
Anggapan bahwa anak adalah milik orang tua sehingga orang tua berhak melakukan apa pun terhadap anak jelas tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Sebab pada prinsipnya, anak adalah titipan Tuhan kepada para orang tua untuk dicintai, dijaga, dan dibesarkan.
Dengan paradigma bahwa anak adalah milik orang tua, ketika orang tua depresi atau stres karena menghadapi persoalan hidup, anak pun menjadi pelampiasan kekecewaan.
Selain itu, kecekatan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi diharapkan dapat membantu menekan angka kekerasan anak. Karena itu, pemerintah harus menjadikan masalah kemiskinan dan penyediaan lapangan pekerjaan sebagai prioritas utama.
Lebih penting lagi, kesadaran masyarakat untuk ikut membantu mengawasi dan melindungi anak-anak juga perlu ditingkatkan. Kalau ada tetangga yang memukul anaknya, kita harus berani menegur dan mencegahnya. Sebab, anak-anak dilindungi undang-undang..
Secara yuridis formal, pemerintah telah memiliki Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Meski demikian, realitas kesejahteraan anak masih jauh dari harapan. Busung lapar yang hingga kini masih dialami sejumlah balita di beberapa daerah menegaskan buruknya kondisi anak di Indonesia.
Belum lagi, persoalan kekerasan terhadap anak, baik yang dipekerjakan di sektor pekerjaan terburuk, diperdagangkan, maupun korban eksploitasi seksual. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan, di Indonesia terdapat 4.201.452 anak (berusia di bawah 18 tahun) terlibat dalam pekerjaan berbahaya, lebih dari 1,5 juta orang di antaranya anak perempuan.
Bahkan, data IPEC/ILO memperkirakan, terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia dan sedikitnya 34,83 persen tergolong anak. Sekitar 93 persen anak perempuan (Kompas, 2/7/05). PRT anak perempuan berada dalam posisi rentan, mulai situasi kerja buruk, eksploitasi, hingga kekerasan seksual.
Di pedesaan, kemiskinan, pernikahan dini, minimnya pendidikan, dan kondisi kesehatan yang buruk mendorong anak perempuan terjerembap dalam prostitusi dan masuk dalam jerat perdagangan manusia.
Karena itu, untuk menanggulangi persoalan tersebut, perlu ada penegakan hukum maksimal. Sebab, bukan tidak mungkin fakta-fakta tentang kesengsaraan dan kesusahan hidup anak akan mengakibatkan persoalan yang sangat pelik di masa mendatang.
Adapun langkah nyata yang harus dilakukan adalah mengampanyekan penghapusan kekerasan terhadap anak, seperti pemasangan stiker, pelatihan kepada ibu-ibu, dan permintaan dukungan dari pemerintah daerah agar hak-hak anak perlu dilindungi.
* Niken Indar Mastri, mahasiswi Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta
Faktor struktural diakibatkan adanya hubungan yang tidak seimbang (asimetris), baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Di sini, anak berada dalam posisi lebih lemah, lebih rendah karena secara fisik, mereka memang lebih lemah daripada orang dewasa dan masih bergantung pada orang-orang dewasa di sekitarnya.
Akibatnya, pendiskreditan dan pendistorsian anak secara struktural sering terjadi, baik secara sadar maupun tidak. Karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama, khususnya para orang tua, untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Paradigma bahwa anak adalah milik orang tua harus segera diubah. Untuk itu, diperlukan peran serta pemerintah dan kepedulian masyarakat..
Anggapan bahwa anak adalah milik orang tua sehingga orang tua berhak melakukan apa pun terhadap anak jelas tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Sebab pada prinsipnya, anak adalah titipan Tuhan kepada para orang tua untuk dicintai, dijaga, dan dibesarkan.
Dengan paradigma bahwa anak adalah milik orang tua, ketika orang tua depresi atau stres karena menghadapi persoalan hidup, anak pun menjadi pelampiasan kekecewaan.
Selain itu, kecekatan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi diharapkan dapat membantu menekan angka kekerasan anak. Karena itu, pemerintah harus menjadikan masalah kemiskinan dan penyediaan lapangan pekerjaan sebagai prioritas utama.
Lebih penting lagi, kesadaran masyarakat untuk ikut membantu mengawasi dan melindungi anak-anak juga perlu ditingkatkan. Kalau ada tetangga yang memukul anaknya, kita harus berani menegur dan mencegahnya. Sebab, anak-anak dilindungi undang-undang..
Secara yuridis formal, pemerintah telah memiliki Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Meski demikian, realitas kesejahteraan anak masih jauh dari harapan. Busung lapar yang hingga kini masih dialami sejumlah balita di beberapa daerah menegaskan buruknya kondisi anak di Indonesia.
Belum lagi, persoalan kekerasan terhadap anak, baik yang dipekerjakan di sektor pekerjaan terburuk, diperdagangkan, maupun korban eksploitasi seksual. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan, di Indonesia terdapat 4.201.452 anak (berusia di bawah 18 tahun) terlibat dalam pekerjaan berbahaya, lebih dari 1,5 juta orang di antaranya anak perempuan.
Bahkan, data IPEC/ILO memperkirakan, terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia dan sedikitnya 34,83 persen tergolong anak. Sekitar 93 persen anak perempuan (Kompas, 2/7/05). PRT anak perempuan berada dalam posisi rentan, mulai situasi kerja buruk, eksploitasi, hingga kekerasan seksual.
Di pedesaan, kemiskinan, pernikahan dini, minimnya pendidikan, dan kondisi kesehatan yang buruk mendorong anak perempuan terjerembap dalam prostitusi dan masuk dalam jerat perdagangan manusia.
Karena itu, untuk menanggulangi persoalan tersebut, perlu ada penegakan hukum maksimal. Sebab, bukan tidak mungkin fakta-fakta tentang kesengsaraan dan kesusahan hidup anak akan mengakibatkan persoalan yang sangat pelik di masa mendatang.
Adapun langkah nyata yang harus dilakukan adalah mengampanyekan penghapusan kekerasan terhadap anak, seperti pemasangan stiker, pelatihan kepada ibu-ibu, dan permintaan dukungan dari pemerintah daerah agar hak-hak anak perlu dilindungi.
* Niken Indar Mastri, mahasiswi Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda